BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Angka penyakit menular
seksual (PMS) di Inggris mengalami peningkatan drastis sejak 1995, dan kasus
baru yang ditemukan diklinik GUM saat ini berjumlah lebih dari satu juta kasus
per tahun. Angka PMS tertinggi terjadi pada wanita, pria gay, remaja, dewasa
muda, dan kelompok etnik kulit hitam serta minoritas (DoH 2001). Sebagian besar
wanita tersebut menderita klamidia tanpa komplikasi dan serangan herpes yang
pertama, dan pada pria, kebanyakan mereka mengalami kasus sifilis primer dan
sekunder serta gonore tanpa komplikasi. Jumlah kasus serangan pertama virus
kutil sedikit lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita (PHLS 2001).
Sebelum tahun 1995,
jumlah diagnosis PMS akut masih stabil atau rendah (PHLS et al 2000). Hal
tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan perilaku seksual akibat adanya
epidemik HIV. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka PMS saat ini
adalah deteksi penyakit yang lebih baik, kontrol infeksi yang buruk,
peningkatan praktik seksual yang tidak aman, perubahan perilaku seksual, dan
menurunnya kewaspadaan terhadap HIV dan AIDS dikalangan kaum muda. Namun
demikian, terdapat kemungkinan bahwa seperti halnya peningkatan penularan,
faktor-faktor seperti layanan klinik GUM yang lebih baik yang disertai dengan
kesadaran masyarakat dan kesadaran profesional yang lebih besar juga berperan
dalam meningkatnya diagnosis PMS akut (PHLS et al 2000).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian tentang Gonore?
2.
Bagaimana
pengertian tentang Infeksi
Traktusunarius?
3.
Bagaimana
pengertian tentang Hepatitis B?
4.
Bagaimana
pengertian tentang HIV/AIDS?
5.
Bagaimana
pengertian tentang Typus Abdominalis?
C.
Tujuan
1.
Mengerti dan
memahami tentang Gonore
2.
Mengerti dan
memahami tentang Infeksi Traktusunarius.
3.
Mengerti dan
memahami tentang Hepatitis B.
4.
Mengerti dan
memahani tentang HIV/AIDS.
5.
Mengerti dan
memahami tentang Typus Abdominalis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Gonore
1.
Definisi
Gonore adalah semua
infeksi yang disebabkan oleh Neisseria
Gonorrhoeae.N.Gonorrhoeae dibawah mikroskop cahaya tampak sebagai
diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 µm dan bersifat tahan asam.
Kuman ini bersifat gram negatif, tampak diluar dan di dilam leukosit
polimorfnuklear, tidak dapat bertahan lama di udara bebas, cepat mati pada
keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 39o C, dan tidak tahan
zat desinfektan.
Gonore disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang merupakan
diplokokus gram negatif. Penyakit ini ditularkan melalui kontak seksual.
Organisme ini melekata pada membran mukosa dan lebih menyukai epitelium
kolumnar daripada epitelium skuamosa. Oleh karena itu, area primer infeksi ini
adalah membran mukosa uretra, endoserviks, rektum, farings, dan konjungtiva.
Gonore dapat terjadi bersamaan dengan patogen mukosa genital lainnya terutama
T.vaginalis, C.albicans dan C.trachomatis. hingga 80% kasus PID pada wanita
yang berusia kurang dari 26 tahun disebabkan oleh N.Gonorrhoeae dan/atempuan.
Gonore au C.trachomatis (Westrom 2000). Sekuela PID meliputi infertilitas, kehamilan
ektopik, dan nyeri pelvik kronis. Meskipun jarang terjadi, gonore dapat juga
menyebabkan penyakit sistemik diseminata dan artritis.
2.
Gambaran klinik
Gambaran klinik dan
perjalanan penyakit pada perempuan berbeda dari pria. Hal ini disebabkan
perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria dan perempuan. Gonore pada
perempuan kebanyakan asimptomaatik sehingga sulit untuk menentukan masa
inkubasinya.
Infeksi pada uretra
dapat bersifat simptomatik ataupun asimptomatik, tetapi umumnya jarang terjadi
tanpa infeksi pada serviks, kecuali pada perempuan yang telah dihisterektomi.
3.
Tanda dan gejala
·
Peningkatan atau
perubahan rabas vagina
·
Nyeri abdomen
bagian bawah
·
Disuria
·
Perdarahan
uterus intermenstrual
·
Menoragia
·
Bertambahnya duh
tubuh genital
·
Disuria yang kadang-kadang
disertai poliuria
·
Pada pemeriksaan
serviks tampak hiperemis dengan erosi dan sekret mukopurulen.
·
Kencing sakit,
air kencing bernanah
·
Flour albus
bernanah yang kadang-kadang luar biasa banyaknya hingga menimbulkan condylomata
acuminata.
4.
Komplikasi
Komplikasi sangat erat
hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia. Infeksi pada serviks
dapat menimbulkan komplikasi salpingitis atau penyakit radang panggul (PRP).PRP
yang simtomatik ataupuan asimptomatik dapat mengakibatkan jaringan parut tuba
sehingga menyebabkan infertilitas atau kehamilan ektopik.
N.gonorrhoeae dapat
ditularkan dari saluran genital ibu ke bayi baru lahir pada saat persalinan,
atau terkadang in utero jika ketuban pecah terlalu lama. Risiko penularan dari
ibu yang terinfeksi adalah antara 30 dan 47% dan biasanya muncul sebagai
oftalmia gonokokus neonatorum, suatu kondisi yang harus dilaporkan. Rabas
purulen yang berjumlah banyak biasanya muncul selama beberapa hari setelah
kelahiran. Kondisi ini dapat didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopik dan
kultur swab mata. Mata dapat dibersihkan dengan salin, tetapi antibiotik
sistemik tetap diperlukan,. Jika dibiarkan tanpa diobati, keadaan ini akhirnya
dapat menyebabkan kebutaan, dan terkadang neonatus dapat mengalami infeksi lebih
lanjut misalnya artritis gonokokus.
Persalinan kurang
bulan, ketuban pecah, kurang bulan,korioamnionitis dan infeksi pascapartum.
Idak Biasanya gonococcus tidak dapat menjalar ke atas karena terhalang oleh
lendir kental dalam cervix. Pada persalinan lendir ini lenyap dan ostium
terbuka hingga gonococcus ada kesempatan untuk menjalar ke atas berturut-turut
menyebabkan endometritis dan salpingitis. Salpingitis selanjutnya dapat
menimbulkan kemandulan, hingga ibu dengan gonorrhoea sering kali hanya beranak
seorang (kemandulan anak seorang). Dapat juga menjadi sebab kehamilan ektopik.
Anak yang melalui jalan
lahir dapt kemasukan gonococcus ke dalam matanya dan menderita conjunctivitis
gonorrhoica (blennorrhoea neonatorum).
5.
Diagnosis dan pengobatan
Diagnosis Gonore dapat
dipastikan dengan menemukan N.gonorrhoeae sebagai penyebab, baik secara
mikroskopik maupun kultur (biakan). Sensitivitas dan spesifisitas dengan
pewarnaan gram dari sediaan serviks hanya berkisar antara 45-65&, 90-99%
sedangkan sensitivas dan spesifitas dengan kultur sebesar 85-85%,>99%. Oleh
karena itu, untuk menegakkan diagnosis gonore pada perempuan perlu dilakukan
kultur. Secara epidemiologis pengobatan yang dianjurkan untuk infeksi gonore
tanpa koplikasi adalah pengobatan dosis tunggal. Pilihan terapi yang
direkomendasi oleh CDC adalah sefiksim 400 mg per oral, seftriakson 250 mg
intramuskular, siprofloksasin 500 mg per oral, ofloksasin 400 mg per oral,
levofloksasin 250 mg per oral atau spektinomisin 2 g dosis tunggal
intramuskular.
Infeksi gonore selama
kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic inframmatory disease (PID). Infeksi
ini sering ditemukan pada trimester pertama sebelum korion berfusi dengan
decidua dan mengisi kavum uteri. Pada tahp lanjut , Neisseria gonorrhoeae
diasosiasikan dengan ruptur membran yang prematur, kelahiran prematur,
korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan. Konjungtivitis gonokokal
(ophthalmia neonatus), manifestasi tersering dari infeksi perinatal, umunya
ditransmisikan selama proses persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini dapat
mengarah pada perforasi kornea dan panoftalmitis. Infeksi neonatal lainnya yang
lebih jarang termasuk meningitis sepsis diseminata dengan artritis, serta
infeksi genital dan rektal,
Oleh karena itu, untuk
perempuan hamil dengan risiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining
terhadap infeksi gonore pada saat datag untuk pertama kali antenatal dan juga
pada trrimester ketiga kehamilan. Dosis dan obat-obatan yang diberikan tidak
berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akan tetapi, perlu diingatkan pemberian
golongan kuinolon pada perempuan hamil tidak dianjurkan.
Bila terjadi
konjungtivitis gonore pada neonatus, pengobatan yang dianjurkan adalah
pemberian seftriakson 50-100 mg/kg BB, intramuskular, dosis tunggal dengan
dosis maksimum 125 mg.
Kultur media berisi
antibiotik sudah sejak lama dianggap sebagai ‘standar emas’ untuk mendeteksi
N.gonorrhoeae. sensitivitasnya hampir 100% pada klinik spesialis, tetapi angka
isolasinya lebih rendah pada klinik non-specialis. Metode lain meliputi EIA,
imunofluoresens dan pemeriksaan DNA (Barlow 2000).
Tinjauan sistematis
acaochrane terhadap pengobatan gonore pada kehamilan menyimpulkan bahwa program
pengobatan yang baik dengan antibiotik penisilin dan probenisid masih tetap
efektif. Sediaan dosis tunggal oral saat ini paling sering diberikan. Pada
kasus alergi penisilin atau organisme yang resisten terhadap penisilin,
spektinomisin atau seftriakson juga efektif untuk digunakan (Brocklehurst
2001).
Diagnosa dibuat dengan
pemeriksaan getah urethra dan vulva. Pengobatan ialah dengan suntikan 1000.000
S depot penicilline sehari selama 6-7 hari. Kalau ada resistensi terhadap
penicilline atau kedua ada alergi terhadap penicilline diberi chloromphenicol 1
gr i.v atau i.m sehari selama 3 hari atau terramycin 4x250 mg sehari selama 5
hari. Penjagaan anak terhadap conjunctivitis gonorrhoica ialah dengan profilaks
crede atau penetesan penicilin kedalam mata anak.
B.
Infeksi Traktusunarius
1.
Sistitis dan Uretritis
Infeksi saluran
kemih bawah selama kehamilan dapat terjadi tanpa didahului oleh bakteriuria
tersamar (Harris dan Gilstrap, 1981). Sistitis ditandai oleh disuria, urgensi
dan peningkatan frekuensi berkemih, tetapi jarang disertai oleh gejala
sistemik. Biasanya dijumpai piuria dan bakteriuria. Hematuria mikroskopik
sering ditemukan dan kadang terjadi hematuria makroskopik karena sistitis
hemoragik (Fakhoury, dkk., 1994). Meskipun sistitis biasanya tidak menimbulkan
penyulit, saluran kemih dapat mengalami
infeksi asendens. Sekitar 40% wanita hamil dengan pielonefritis akut
sebelumnya mengalami gejala-gejala infeksi saluran kemih bawah (Gilstrap
dkk.,1981a).
Terapi,
wanita dengan sistitis berespons baik terhadap berbagai regimen pengobatan.
Sebagian besar dari regimen tiga hari biasanya efektif 90% (Fih,2003). Terapi
dosis tunggal kurang efektif, dan jika digunakan maka pielonefritis harus
benar-benar telah disingkirkan, Gejala saluran kemih bawah disertai piuria,
tetapi dengan biakan urin steril, mungkin disebabkan uretritis akibat chlamydia trachomatis. Biasanya juga
terdapat sevitis mukopurulen, dan terapi eritromisin biasanya efektif.
Cystitis
terutama terjadi dalam nifas. Sebabnya ialah trauma kandung kencing karena
persalinan kurang sensitipnya kandung kencing hingga ada urine sisa, semuanya
memudahkan infeksi.
Gejalanya ialah
sakit waktu kencing, sering kencing, nyeri di atas symphyse dan kadang-kadang
ada demam sedikit.
Terapi
pencegahan trauma pada kandung kencing, menghindarkan urine sisa dengan
kateterisasi setiap 8 jam atau dengan pemasangan kateter menetap dan pemberian
antibiotica.
C.
Hepatitis B
1.
Definisi
Infeksi virus hepatitis
B merupakan masalah kesehtana masyarakat yang utama di seluruh dunia dan
merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas akibat infeksi akut dan
sekuela kronis yang meliputi hepatitis aktif kronis, sirosis dan kanker hati
primer (Zuckerman & Zuckerman 2000). Virus hepatitis B dapat ditularkan
secara seksual atau secara parenteral melalui darah atau produk darah yang
terinfeksi. Cairan tubuh seperti saliva, menstruasi dan rabas vagina, eksudat
serosa, cairan semen dan ASI, dikaitkan denfan penyebaran infeksi tetapi
infektivitas sangat berkaitan dengan darah dan cairan tubuh yang terkontaminasi
oleh darah. Virus ini dapat ditularkan melalui alat yang tidak steril, seperti yang
mungkin terjadi pada penggunaan obat suntik yang menggunakan jarum dan suntikan
bersama, tato atau akupuntur atau akibat tertusuk jarum pada petugas kesehatan
(Brook 2001). Penularan vertikal merupakan cara penularan yang paling sering
terjadi pada masa perinatal. Infeksi virus hepatitis B akut selama kehamilan
berhubungan dengan peningkatan angka aborsi spontan dan persalinan prematur
(Medhat et al 1993).
2.
Prevalensi
Prevalensi pengidap
Virus Hepatitis b (VHB) pada ibu hamil di Indonesia berkisar antara 1-5% dimana
keadaan ini bergantung pada prevalensi VHB di populasi.
3.
Tanda dan gejala
Biasanya terdapat dua
fase gejala: fase prodromal ditandai dengan gejala seperti flu, diikuti dengan
fase ikterik yang ditandai dengan adanya iketerik, anoreksia, mual dan
keletihan. Infeksi dapat bersifat asimptomatik pada 10-50% orang dewasa pada
fase akut serta pada bayi dan anak-anak. Jika terjadi infeksi kronis, sering
kali tidak terdapat tanda-tanda fisik, tetapi terdapat tanda=tanda penyakit
hati kronis.
4.
Faktor predisposisi
Beberapa faktor
predisposisi terjadinya penularan vertikal antara lain titer DNA-VHB tinggi
pada ibu (makin tinggi titer makin tinggi kemungkinan bayi tertular),
terjadinya infeksi akut pada kehamilan trimester ketiga, persalinan lama dan
mutasi VHB. Kegagalan vaksinasi yang menyebabkan bayi tertular 10-20%
disebabkan oleh mutasi VHB.
5.
Komplikasi
Kehamilan sendiri tidak
akan memperberat infeksi virus hepatitis, akan tetapi jika terjadi infeksi akut
pada kehamilan bisa mengakibatkan terjadinya hepatitis fulminan yang dapat
menimbulkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi.
Pada ibu dapat
menimbulkan abortus dan terjadinya perdarahan pascapersalinan karena adanya
gangguan pembekuan darah akibat gangguan fungsi hati.
Pada bayi masalah yang
serius umumnya tidak terjadi pada masa neonatus, tetapi pada masa dewasa. Jika
terjadi penularan vertikal VHB,60-90% akan menjadi pengidap kronik VHB dan 30%
kemungkinan akan menderita kanker hati atau sirosis hati sekitar 40 tahun
kemudian.
6.
Pencegahan
·
Kewaspadaan
universal (universal precaution)\
Hindari
hubungan seksual dan pemakaian alat atau bahan dari pengidap. Vaksinasi HB bagi
seluruh tenaga kesehtan sangat penting, terutama yang sering terpapar dengan
darah.
·
Skrining HbsAg
pada ibu hamil
Terutama
didaerah di mana terdapat prevalensi tinggi.
·
Imunisasi
Penularan
dari ibu ke bayi sebagian besar dapt dicegah dengan imunisasi. Pemerintah telah
menaruh perhatian besar terhadappenularan vertikal VHB dengan membuat program
pemberian vaksinasi HB bagi semua bayi yang lahri di fasilitas pemerintah
dengan dosis 5 mikrogram pada hari ke 0, umur 1 dan 6 bulan, tanpa mengetahui
bayi tersebut lahir dari ibu dengan HbsAg positif atau tidak.
7.
Pengobatan
Semua ibu hamil harus
menjalani skrining antenatal virus hepatitis B, dan bayi yang lahir dari ibu
yang terinfeksi virus hepatitis B harus divaksinasi (NHS Exesutive 1998).
Vaksinasi harus diberikan pada saat lahir dan pada saat bayi berusia 1 dan 6
bulan. Selain itu, bayi dari ibu yang terinfeksi virus hepatitis B pada
kehamilan dan bayi yang tidak memiliki antibodi Hbe harus menerima
imunoglobulin spesifik hepatitis B (HBIg) ada saat lahir. HBIg ini harus
diinjeksikan pada area yang berbeda dengan area penyuntikan vaksin (area yang
paling dipilih pada bayi adalah anterolateral paha). Imunoglobulin ini akan
memberikan imunitas lagsung dan mengurangi penularan vertikal sebesar 90%. Ibu
yang terinfeksi virus hepatitis B harus terus menyusui karena tidak terdapat
risiko penularan melalui pemberian ASI (Brook 2001).
8.
Penanganan kehamilan dan persalinan pada ibu
pengidap VHB
·
Pada infeksi
akut VHB dan adanya hepatitis fulminan persalinan pervaginam usahakan dengan
trauma sekecil mungkin dan rawat bersama dengan spesialis penyakit dalam
(spesialis hepatologi). Gejala hepatitis fulminan antara ain sangat ikterik,
nyeri perut kanan atas, kesadaran menurun dan hasil periksaan urin, warna
seperti teh pekat, urobilin dan bilirubin positif, pada pemeriksaan darah
selain urobilin dan bilirubin positif SGOT dan SGPT sangat tinggi biasanya
diatas 1.000
·
Pada ibu hamil
dengan viral load tinggi dapt dipertimbangkan pemberian HBIG atau lumivudin
pada 1-2 bulan sebelum persalinan. Mengenail hal ini masih ada beberapa
pendapat yang menyatakan lamivudin tidak ada pengaruh pada bayi, tetapi ada
yang masih mengkhawatirkan pengaruh teratogenik obat tersebut.
·
Persalinan
sebaiknya jangan dibiarkan berlangsung lama, khususnya pada ibu dengan HbsAg
positif. Wong menyatakan persalinan berlangsung lebih dari 9 jam, sedangkan
surya menyatakan persalinan berlangsung lebih drai 16 jam, sudah meningkatkan
kemungkinan penularan VHB intrauterin. Persalinan pada ibi hmail dengan titer
VHB tinggi (3,5 pg/ml) atau HbsAg positif, lebih baik seksio sesarea. Demikian
juga jika persalinan yang lebih dari 16 jam pada pasien pengidap HbsAg positif.
·
Menyusui bayi,
tidak merupakan masalah. Pada penelitian telah dibuktikan bahwa penularan
melalui saluran cerna membutuhkan tuter virus yang jauh lebih tinggi daripada
penularan parenteral.
D.
Infeksi karena virus HIV/AIDS
1.
Definisi
HIV adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan
tubuh, dan AID adalah gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan
tubuh yang dibentuk setelah lahir (Sarwono Ilmu Kebidanan).
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Acquired artinya didapat, jadi
bukan merupakan penyakit keturunan, immuno berarti sistem kekebalan tubuh,
Deficiency artinya kekurangan sdeangkan syndrome adalah kumpulan gejala.
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang
merusak kekebalan tubuh, sehingga tubuh mudah diserang oleh penyakit-penyakit
lain yang dapat berakibat fatal. Padahal penyakit-penyakit tersebut misalnya
berbagai virus, cacing, jamur, protozoa, dan basil tidak menyebabkan gangguan
yang berarti pada orang yang sistem kekebalannya normal. Selain penyakit
infeksi, penderita AIDS juga mudah terkena kanker. Dengan demikian gejala AIDS
amat bervariasi. (Sumber: Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Virus yang menyebabkan penyakit ini adalah virus HIV
(Humman Immuno-deficiency Virus).
Dewasa ini dikenal juga dua tipe HIV yaitu HIV 1 dan HIV 2. Sebagian besar
disebabkan oleh HIV 1, sedangkan infeksi oleh HIV 2 didapatkan di Afrika Barat.
Infeksi HIV 1 memberi gambaran klinis yang hampir sama. Hanya infeksi HIV 1
lebih mudah ditularkan dan masa sejak mulai infeksi (masuknya virus ketubuh)
sampai timbulnya penyakit lebih pendek. (Sumber: Lembaran Informasi Spiritia
LI610).
Tiga prinsip penularan HIV adalah melalui darah atau
produk darah, kontak seksual, dan dari ibu ke anak.
2.
Stadium HIV
Infeksi HIV
memiliki 4 stadium sampai nantinya menjadi AIDS. Yakni: stadium 1 ibu
dengan HIV positif tidak akan menunjukkan gejala klinis yang berarti sehingga
ibu akan tampak sehat seperti orang normal dan mampu melakukan aktivitasnya
seperti biasa.. Stadium II, sudah mulai menunjukkan gejala yang ringan seperti
terjadi penurunan berat badan kurang dari 10%, infeksi yang berulang pada
saluran nafas dan kulit.
Stadium III, ibu dengan HIV sudah tampak lemah,
gejala dan infeksi sudah mulai bermunculan dan ibu akan mengalami penurunan
berat badan yang lebih berat, diare yang tidak kunjung sembuh, demam yang
hilang timbul dan mulai mengalami infeksi jamur pada rongga mulut bahkan
infeksi sudah menjalar sampai ke paru-paru. Stadium IV, pasien akan menjadi
AIDS aktivitas akan banyak dilakukan di tempat tidur karena kondisi dan
keadaanya sudah mulai lemah, serta infeksi mulai bermunculan di mana-mana dan
cenderung berat.
3.
Etiologi
Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya bisa
diketahui penularan HIV terjadi kalau ada cairan tubuh yang mengandung HIV,
sepeti hubungan seks dengan pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik, dan
alat-alat penusuk (tato, penindik dan cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil
yang mengidap HIV (+). (http://www.odhaindonesia.org/trackback/43). Bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular. Walaupun janin dalam
kandungan dapat terinfeksi, sebagian besar penularan terjadi waktu melahirkan
atau menyusui, bayi yang lebih mungkin
tertular jika persalinan berlanjut lama. Selama proses persalinan, bayi lebih
mungkin tertular jika persalinan berlanjut lama. Selama proses persalinan, bayi
dalam keadaan berisiko tertular oleh darah ibu. Air Susu Ibu (ASI) dari ibu
yang terinfeksi HIV juga mengandung virus itu. Jadi jika bayi disusui oleh ibu
HIV (+), bayi bisa tertular.
4.
Patofisiologis
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang
hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Virus ini “senang” hidup dan
berkembangbiak pada sel darah putih manusia. HIV akan ada pada cairan tubuh
yang mengandung sel darah putih, seperti darah, cairan plasenta, air mani atau
cairan sperma, cairan sumsum tulang, cairan vagina, air susu ibu atau cairan
otak (Ditulis oleh: Dr.Edi Patmini SS.Desember,2000).
HIV memegang salah satu jenis dari sel-sel darah
putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk
limfosit yang disebut “sel T-4” atau disebut juga “sel CD-4”. (Sumber:Lembaran
Informasi Spiritia LI610).
Setelah terinfeksi HIV, 50-70% penderita akan
mengalami gejala yang disebut sindrom HIV akut. Gejala ini serpua dengan gejala
infeksi virus pada umumnya yaitu berupa demam, sakit kepala, sakit
tenggorokkan, miagia (pegal-pegal diekstremitas bawah) pembesaran kelenjarndan
rasa lemah. Pada sebagian orang, infeksi berat dapat disertai kesadaran
menurun. Sindrom ini biasanya akan menghilang dalam beberapa minggu. Dalam
waktu 3-6 bulan kemudian, tes serologi baru akan positif, karena telah
terbentuk anti body. Masa 3-6 bulan ini disebut Window Periode, dimana
penderita dapat menularkan namun secara labolaturium hasil tes HIV-nya masih
negatif. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
5.
Komplikasi
Risiko
lahir mati, persalianan prematur dan retardasi pertumbuhan intrauterus
(Blocklehurst & French 1998)
6.
Penularan
Efek yang paling serius dari infeksi HIV-1 selama
kehamilan adalah penularan vertikal. Hal ini dapat terjadi selama kehamilan,
periode intrapartum atau periode pascanatal (Newell et al 1997). Pada bayi yang
tidak mendapatkan ASI, hingga 75% penularan diperkirakan terjadi diakhir
kehamilan, serta periode persalinan dan pelahiran. Penularan dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Jumlah virus dalam plasma maternal merupakan faktor yang
terpenting. Hubungan yang kuat antar jumlah virus dan risiko penularan
observasi di Thailand, baik untuk penularan in utero maupun intrapartum
(Shaffer et al 1999). Banyaknya virus yang meluruh pada sekresi serviks dan
vagina juga dapat menjadi faktor penyebab penularan HIV-1 pada masa perinatal
DNA HIV-1 terdapat pada SI sehingga penularan ini
pertama kali terjadi selama menyusui. Jenis penularan ini pertama kali terjadi
pada wanita yang baru terinfeksi setelah persalinan melalui transfusi darah
atau pajanan heteroseksual (Ziegler et al 1995). Anak yang mendapatkan ASI berisiko lebih besar mengalami penularan dari
ibu ke anak dibanding dari anak yang tidak pernah mendapatkan ASI, dan tindak
lanjut prospektif terhadap anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1
menunjukkan bahwa sebagian dari bayi tersebut terinfeksi ada masa pascanatal
setelah kehilangan antibodi maternal (Datta et al 1992, Lepage et al 1992).
Oleh karena itu ibu yang terinfeksi HIV-1 dianjurkan
untuk tidak menyusui jika terdapat alternatif lain yang aman dan terjangkau.
Namun demikian, diberbagai negara berkembang,tingginya biaya dan angka
morbiditas dan mortalitas bayi berhubungan dengan metode pemberian makan
alternatif yang bertujuan mengurangi penularan vertikal. Meskipun menyusui
diperkirakan dapat meningkatkan risiko penularan vertikal dua kali lebih besar,
risiko yang pastinya dan kapan penularan itu terjadi pada saat menyusui masih
belum jelas (Dunn et al 1992)
7.
Prognosis
Pemaparan terhadap HIV tidak selalu mengakibatkan
penularan, beberapa orang yang terpapar HIV selama bertahun-tahun bisa tidak
terinfeksi. Disisi lain seseorang yang terinfeksi bisa tidak menampakkan gejala
selama lebih dari 10 tahun. Tanpa pengobatan, infeksi HIV mempunyai risiko 1-2%
untuk menjadi AIDS pada beberapa tahun pertama. Risiko ini meningkat 5% pada
setiap tahun berikutnya. Tehnik penghitungan jumlah virus HIV (plasma RNA)
dalam darah seperti polymerase chain
reaction (PCR) dan branched deoxyribo
nucleid acid (Bdna) test membantu dokter untuk memonitor efek pengobatan
dan membantu penilaian prognosis ppenderita. Kadar virus ini akan bervariasi
mulai kurang darai bebrapa ratus sampai lebih dari sejuta virus RNA/Ml plasma.
Dengan HIV, antibodinya dihasilkan dalam jangka
waktu 3-8 minggu. Tahap berikutnya sebelum antibodi tersebut dapat diteksi
dikenal sebagai “tahap jendela”.(window period). Pengujian dapat dilakukan
dengan menggunakan sampel darah, air liur atau air kencing. Pengujian yang
cepat ada dan menyediakan suatu hasil diantara 10-20 menit. Suatu hasil positif
biasanya menuntut suatu tes konfirmatori lebih lanjut. Pengujian HIV harus
dilakukan sejalan dengan bimbingan sebelum selama dan sesudahnya.
Jumlah normal dari sel-sel CD4+T pada seseorang yang
sehat adalah 800-1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang
sel-sel CD4+T-nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang
oleh infeksi-infeksi oportunistik.
8.
Pencegahan
Ada cara mencegah penularan HIV dari ibu kepada
bayi. Caranya dengan melakukan screening yang baik. Cara lainnya dengan
pemberian obat antiretroviral pada ibu positif. Selain itu, dengan melakukan
persalinan yang aman pada saat kehamilan, selama perslinan dan setelah
persalinan. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Dihampir setiap kunungan ke layanan kesehatan untuk
memeriksakan kandungannya, para ibu tersebut biasanya mendapatkan penyuluhan
mengenai kesehatan dan perawatan kehamilan, nutrisi dan keluarga berencana dari
petugas kesehtana. Informasi mengenai HIV/AIDS dan penularan HIV dari ibu ke
anak sebetulnya sangat tepat disisipkan di dalam kunjungan pemeriksaan
kehamilan tersebut. Setelah mendapat penyuluhan dan konseliing, tes HIV
sukarela juga dapat disertakan atas persetujuan si ibu di dalam paket periksa darah
lainnya di laboratorium. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Pencegahan penularan HIV dari ibu kepada bayinya
dilakukan dengan cara memberikan obat anti-HIV. Kepada ibu hamil yang diketahui
terinfeksi HIV, pada trimester kedua dan ketiga (6 bulan terakhir) diberikan
AZT per-oral (melalui mulut),sedangkan pada saat persalinan diberikan AZT
melalui infus.
Kepada bayi baru lahir diberikan AZT selama 6
minggu. Tindakan tersebut telah berhasil menurunkan angka penularan HIV dari
ibu kepada bayinya, dari 25% menjadi 8%. Pada persalinan normal, kemungkinan
penularan HIV lebih besar, karena itu pada ibu hamil yang terinfeksi HIV kadang
dianjurkan untuk menjalani operasi sesar.
Manajemen ibu hamil penderita AID apakah ibu hail
seropositif tanpa gejala atau dengan gejala. Sebaiknya setiap ibu hamil
mendapatkan langkah-langkah pelaksanaan sebagai berikut: Identifikasi risiko
tinggi, yaitu pemakai narkotika intravena, pasangan seksualnya memakai
narkotika intravena, biseksual dengan HIV
positif, penderita PHS, pekerja WTS; dilakukan pemeriksaan darahterhadap
HIV; Diberikan peningkatan pengetahuan tentang AID; Konseling masalah AIDS;
Pencegahan sumber infeksi (Prawirohardjo,2005).
Ada beberapa strategi yang penting dalam mencegah
penularan HIV/AIDS ibu ke bayi. Pertama, dengan pemberian obat antiretroviral.
Obat ini bekerja langsung menghambat replikasi dan perkembangan virus HIV.
Kedua, melakukan persalinan yang aman pada saat kehamilan, selama persalinan,
dan setelah persalinan. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Cara persalinan yang diperkenankan pada ibudengan
HIV positif adalah dengan operasi, penularan HIV dari ibu ke anak dapat ditekan
sampai 50% dibandingkan dengan persalinan normal. Setelah anak dilahirkan, ada
beberapa hal yang juga harus diperhatikan terutama saat menyusui si bayi.
Disarankan, ibu yang melahirkan anak dengan HIV positif sebaiknya tidak
menyusui karena dapat terjadi penularan HIV dari ibu ke bayi antara 10-20%,
terlebih jika payudara
ibu mengalami perlukaan lecet ataupun radang. (Sumber:Lembaran Informasi
Spiritia LI610).
Imuniasi juga
harus diperhatikan pada anak yang terlahir dari ibu dengan HIV (+).WHO dan
UNICEF menganjurkan agar semua bayi dengan infeksi HIV simptomatik diberikan
imuniasai dasar menurut program nasional (BCG,DPT,OPV,Campak). Pada ibu yang
telah bersalin, diharapkan dalam waktu kurang dari 4 minggu harus sudah
menggunkan alat kotrasepsi dan tidak diperkenankan menggunakan alat kontrasepsi
dalam rahim seperti IUD karena kekebalan ibu sudah menurun dan akan memperbesar
risiko infeksi yang terjadi pada rahim akibat adanya benda asing di dalam
tubuh. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Infeksi HIV sampai saat ini beum ditemukan obatnya
sehingga disarankan bagi mereka yang menderita HIV untuk tidak melakukan
hubungan badan tanpa menggunakan alat kontrasepsi (menggunakan kondom). Pada
ibu dengan HIV/AIDS sangat rentan timbulnya masalah sosial seperti diskriminasi
dan isolasi. Hal ini merupakan tanggungjawab kita bersama untuk menghentikan
segala bentu stigmatisasi dan diskriminasi kepada mereka terutama ibu-ibu
dengan HIV Positif. Pemberian AZT
(Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta
beratnya infeksi opportunistic dalam kehamilan merupakan masalah, karena obat
belum diketahui dampak buruknya terhadap kahamilan. (Penulis: dr.Ryan Saktika
Mulyana).
Yang perlu ditekankan di sini adalah, sejak pertama
kali seorang perempuan mengetahui dirinya hamil dan mulai mengunjungi bidan,
puskesmas, klinik bersalin, bagian kebidanan rumah sakit, maupun dokter
kandungan untuk memeriksakan kandungannya (Antenatal care), maka di saat itulah
dimulainya peran konselor, petugas kesehatan dan para penolong persalinan untuk
memberikan informasi dan pendidikan HIV/AID. (Penulis: dr. Ryan Saktika
Mulyana)
HIV akan segera membentuk resistensi terhadap
obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif
adalah kombinasi anatar 2 obat atau lebih, kombinasi obat bisa memperlambat
timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup.
Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan
anemia.dll,ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer, dll bisa merusak
pankreas.
Dalam kelompok nucleoside, 3 TC tampaknya mempunyai
efek samping yang paling ringan. Ketiga protease inditor menyebabkan efek
samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut. Indinavir menyebabkan
kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan
gejala, jyga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa
dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal. Ritonavir dengan pengaruhnya pada
hati menyebabkan naik atau turunya kadar obat lain dalam darah. Kelompok
protease inhibutor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti
peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak
tubuh (protease paunch). Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah
infeksi ooportunistik. Penderita dengan kadar limposit CD4+ kurang dari 200
sel/Ml darah mendapatkan kombinasi
trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan
infeksi toksoplasma ke otak.
Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100
sel/Ml darah mendapatkan azitromisin
seminggu sekali atau klaritromisin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah
infeksi Mycobacterium avium.
Penderita yang bisa sembuh dari meningitis
kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang.
Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan
asiklovir jangka panjang.
Seorang ibu hamil sebaiknya mempertimbangkan semua
masalah yang mungkin terjadi terkait ART:Jangan memakai ddl bersama dengan d4T
dalam ART-nya karena kombinasi ini dapat menimbulkan asidosis laktik dengan
angka tinggi; jangan memakai efavirenz atau indinavir selama kehamilan; bila
CD4-nya lebih dari 250, jangan mulai memakai nnevirapine.
Beberapa dokter mengusulkan perempuan berhenti
pengobatannya pada triwulan pertama kehamilan. Ada dua alsan; Risiko dosis
dilewatkan akibat mual dan muntah selama awal kehamilan, dengan risiko
mengembangkan resistensi terhadap obat yang dipakai; risiko obat mengakibatkan
anak cacat lahir, yang tertinggi pada triwulan pertama. Tidak ada bukti terjadi
cacat lahir, selain dengan efavirenz; para ahli tidak sepakat apakah penggunaan
ART menimbulkan risiko lebih tinggi tehadap lahir dini atau bayi lahir dengan
berat badan renadah.
Jika kita HIV-positif dan hamil, atai ingin jadi
hamil, sebaiknya kita biacara dengan dokter tentang pilihan menjagakan kesehatan
sendiri, dan mengurangi risiko bayi kita terinfeksi HIV atau cacar lahir.
Bedah caesar direkomendasikan untuk mengurangi
penularan HIV pranatal. Suatu meta analisis terhadap 15 studi kohort prospektif
oleh internasional perinatal HIV Group (1999) yang melibatkan 8533 pasangan ibu
neonatus mendapatkan bahwa penularan HIV vertikal berkurang sekitar separuh
pada bedah caesar dibandingkan dengan persalinan per vagina.
9.
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi
Ibu HIV-Positif dapat mengurangi risiko bayinya tertular
dengan mengonsumsi obat antiretroviral (ARV), menjaga proses kelahiran tetap
singkat waktunya, hindari menyusui penggunaan ARV: Risiko penularan sangat
rendah bila terapi ARV (ART) dipakai. Angka penularan hanya 1-2 persen bila ibu
memakai ART. Angka ini kurang lebih 4% bila ibu memakai ART selama enam bulan
terakhir kehamilannya dan bayinya diberikan AZT selama enam minggu pertama
hidupnya. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai
melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini: AZT dan
3TC dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu
setelah lahir, satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan,
kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2-3 hari setelah lahir.
Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan
mengurangi penularan menjadi hanya 2%. Namun, resistensi terhadap nevirapine
dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet waktu
hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu.
Resistensi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu,
terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang. (Sumber:Lembaran
Informasi Spiritia LI610).
Menghindari menyusui artinya kurang lebih 14% bayi
terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat dihindari jika
bayinya diberi pengganti ASI (PASI, atau
formula). Namun jika PASI tidak diberi secara benar, risiko lain pada bayinya
menjadi semakin tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air bersih atau
masalah biaya dapat menyebabkan jumlah formula yang diberikan tidak cukup,
lebih baik bayi disusui. Yang terburuk adalh campuran ASI dan PASI. Mungkin
cara paling cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah menyusui secara
eksklusif (tidak campur dengan PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian diganti
dengan formula secara eksklufif (tidak campur deengan ASI). (Sumber:Lembaran
Informasi Spiritia LI610).
10.
Gejala klinis dan keterkaitannya dengan gangguan gizi
Diare :
Adanya diare pada HIV/AIDS akan menyebabkan hilangnya zat gizi dalam tubuh
seperti vitamin dan mineral, sehingga harus diberikan asupan gizi yang tepat,
terutama yang mengandung larutan zat gizi mikro, untuk mengganti cairan tubuh
yang hilang. Dianjurkan utuk mengonsumsi buah-buahan yang rendah serat dan
tinggi kalium dan magnesium seperti jus pisang, jus alpukat.
Sesak Napas :
Dianjurkan makanan tinggi lemak dan rendah karbohidrat untuk mengurangi CO2,
dengan porsi kecil tetapi sering. Bila asupan makanan dalam sehari tidak
mencukupi kebutuhan kalori sehingga dapat menyebabkan pasien menjadi lemah,
perlu diberikan makanan tambahan dalam bentuk formula (makanan suplemen).
Pemberian makanan dapt dilakukan pada pasien dalm posisi setengah duduk agar
aliran O2 ke paru lebih optimal.
Gangguan penyerapan lemak (malabsorbsi lemak): pasien dengan gangguan penyerapan lemak diberikan
diet rendah lemak. Dianjurkan menggunakan sumber lemak/minyak nabati yang
mengandung asam lemak tak jenuh, seperti minyak kedelai,minyak jagung, minyak
sawit,. Perlu tambahan vitamin yang larut dalam lemak (A,D.E,dan K).
Demam :
pada pasien yang demam akan terjadi peningkatan emakaian kalori dan kehilangan
cairan. Untuk itu diberikan makanan lunak dalm porsi kecil tapi sering dengan
jumlah lebih dari biasanya dan dianjurkan minum lebih dari 2 liter atau 8
gelas/hari.
Penurunan berat badan : pasien yang berat badannya menurun secara drastis
harus dicari penyebabnya. Pastikan apakah ada infeksi oprtunistik yang tidak
terdiagnosis. Bila pasien tidak dapat makan secara oral maka diberikan secara
perenteral.makanan yang dianjurkan adalah tinggi kalori tinggi protein secara
bertahap dengan porsi kecil tapi seing serta padat kalori dan rendah serat.
Kebutuhan
kalori Odha sekitar 2000-3000 Kkcal/hari dan protein 1,5-2 gram/kgBB/hari.
Untuk mencukupi kebutuhan kalori dan protein sehari diberikan dengan memberikan
makanan lengkap 3 kali ditambah makanan selingan 3 kali sehari.
Selain
penurunan berat badan, odha sangat rentam terhadap kekurangan zat gizi mikro,
oleh karena itu perlu suplemen multizat gizi mikro terutama yang mengandung
vitamin B12,B6,A,E, dan mineral Zn, Se DAN Cu. Pemberian Fe dianjurkan infeksi
oportunistik, pemberian fe dilakukan 2 minggu setelah pengobatan infeksi.
Mereka dianjurkan untuk mengonsumsi 1 tablet multivitamin dan mineral setiap
hari.
Pemberian
suplemen vitamin dan mineral dalm jumlah besar (megadosis) agar berkonsultasi
ke dokter karena pemberian yang berlebihan justru akan menurunkan imunitas
tubuh.
Kebutuhan
air perlu diperhatikan dan mereka dianjurkan untuk mengkonsumsi paling sedikit
8 gelas cairan sehari untuk memperlancar metabolisme terutama pada penderita
yang demam. Dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi minuman atau makanan yang
mengandung kafein dan alkohol serta zat lainnya yang dapt meningkatkan
pengeluuaran air kencing. Diare kronis, mual dan muntah, keringat malam dan
demam berkepanjangan memerlukan penambhan cairan sehingga minum perlu
diperbanyak untuk mengganti kehilangan cairan tersebut.
Dua hingga enam minggu setelah terpajan
HIV, 50-70% mereka yang terinfeksi akan mengalami menjadi penyakit non-spesifik
transien (terkadang disebut penyakit serokonversi) yang disertai demam,
mialgia,malaise, limfadenopati dan faringitis (Luzzi et al 2000). Lebih dari
50% mengalami ruam. Ulkus oral dan genital juga terjadi. Penyakit terjadi
secara tiba-tiba dan biasanya berlangsung selama 1-2 minggu, tetapi dapat juga
terjadi lebih lama.. serokonversi biasanya diikuti dengan periode asimptomatik
yang berlangsung selama rata-rata 10 tahun tanpa terapi antiretrovirus.
Meskipun infeksi secara klinis bersifat laten, terdapat pergantian virus dan
limfosit yang intensif dengan memburuknya imunodefisiensi. Sekitar sepertiga
pasien akan mengalami limfadenopati umum yang persisten. Rata-rata terjadinya
HIV menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun.
11.
Konseling pra dan pasca tes HIV
Konseling pra dan pasca tes bagi perempuan hamil
menyangkut beberapa hal dibawah ini: Konseling pra tes: Informasi mengenai
penularan HIV melalui hubungan seksual dan bagaimana cara mencegahnya;
informasi mengenai penularan HIV dari ibu ke anak dan bagaimana
penanggulangannya; informasi mengenai proses dan prosedur tes HIV; Jaminan
kerahasiaan dan bagaimana mendiskusikan kerahasiaan dan kemungkinan adanya konseling
bagi pasangan; Implikasi dari tes negatif, termasuk promosi menyusi bayi dengan
ASI; Implikasi dari tes positif: keuntungan dan kerugiannya, intervensi yang
dipilh, serta kemungkinan adanya stigma, konseling yang menggali dan mengarah
pada penilaian risiko.
Konseling pasca tes jika hasil Negatif Informasi
yang diberikan mengenai pencegahan penularan dimasa depan, jika masih dalam
“masa Jendela” (Window Period), maka dianjrkan untuk melakukan tes kembali,
Promosi ASI eksklusif kepada ibu hamil yang tidak terditeksi HIV.
12.
Penatalaksanaan selama kehamilan
·
Survei
laboratorium pranatal baku yang mencakup kreatinin serum, hemogram, dan
penapisan bakteriuria.
·
Kuantifikasi RNA
HIV plasma-‘viral load’ dan hitung limfosit T.CD4+serta uji resistensi
antiretrovirus
·
Kadar
transaminase hari serum
·
Penapisan untuk
HIV-1 dan 2, sitomegalovirus, toxsoplasmosis dan hepatitis C
·
Foto toraks
basal
·
Uji kulit
tuberkulosis (PPD)
·
Evaluasi
kebutuhan untuk vaksin pneumokokus, hepatitis B dan influenza
·
Evaluasi
sonografik untuk memastikan usia gestasi.
·
Antepartum : 100
mg per oral lima kali sehari, dimulai pada 14-34 minggu dan dilanjutkan
sepanjang kehamilan
·
Intrapartum :
selama persalinan, zidovudin intravena dengan dosis awal 2 mg/kg dalam 1 jam
diikuti oleh infus kontinyu 1 mg/kg/jam sampai pelahiran
·
Neonatus :
dimulai pada 8-12 jam setelah lahir, dan berikan sirup dengandosis 2 mg/kg
setiap 6 jam selama 6 minggu.
E.
Typus Abdominalis (demam tifoid)
1.
Definisi
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehtan
masyarakat terutama di daerah yang sedang berkembang karena erta hubungan
dengan kemiskinan, pengetahuan yang rendah, higiene dan sanitasi jelek.
Penyebabnya adalah salmonella typhi dengan masa inkubasi antara 3-60 hari. Di
indonesia rat-rata terdapat 900.000 kasus, 91% pada umur 3-19 tahun dengan
20.000 kematian setiap tahun.
2.
Tanda dan gejala
Penyakit ini ditandai dengan panas tinggi dan
persisten 7-10 hari, disertai sakit kepala, malaise, gangguan defakasi
(obstipasi atau diare). Pada daerah endemik gejala klinik sering terjadi multi
drug resistant sehingga pasien akan kelihatan lebih toksik dengan gangguan
kesadaran hepatomegali, DIC, dan komplikasi lainnya.
3.
Komplikasi
Pengaruh pada kehamilan terjadi karena panas yang
lama dan tinggi disamping keadaan umum yang jelek sehingga menyebabkan
keguguran, persalinan prematur, dan kematian janin intrauterin terutama kalau
terjadi infeksi pada trimester pertama dan kedua. Morbiditas dan mortalitas
bisa terjadi lebih tinggi pada kehamilan.
4.
Penanganan
·
Pencegahan
dengan perbaikan sanitasi dan higiene akan sangat bermanfaat
·
Antibiotika
Kloramfenikol
dan Tiamfenikol merupakan obat yang cukup manjur, tetapi hati-hati terhadap
penekanan fungsi sumsum tulang dengan segla akibatnya. Fluorokuinolon dikatakan
merupakan obat yang paling efektif dan kepada ibu hamil dapt diberikan juga
sefalosporin generasi ketiga secara intravena dan azittromisin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gonore adalah semua
infeksi yang disebabkan oleh Neisseria
Gonorrhoeae.N.Gonorrhoeae dibawah mikroskop cahaya tampak sebagai
diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 µm dan bersifat tahan asam.
Kuman ini bersifat gram negatif, tampak diluar dan di dilam leukosit
polimorfnuklear, tidak dapat bertahan lama di udara bebas, cepat mati pada
keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 39o C, dan tidak tahan
zat desinfektan.
Infeksi saluran
kemih bawah selama kehamilan dapat terjadi tanpa didahului oleh bakteriuria
tersamar (Harris dan Gilstrap, 1981). Sistitis ditandai oleh disuria, urgensi
dan peningkatan frekuensi berkemih, tetapi jarang disertai oleh gejala
sistemik. Biasanya dijumpai piuria dan bakteriuria. Hematuria mikroskopik
sering ditemukan dan kadang terjadi hematuria makroskopik karena sistitis
hemoragik (Fakhoury, dkk., 1994). Meskipun sistitis biasanya tidak menimbulkan
penyulit, saluran kemih dapat mengalami
infeksi asendens. Sekitar 40% wanita hamil dengan pielonefritis akut
sebelumnya mengalami gejala-gejala infeksi saluran kemih bawah (Gilstrap
dkk.,1981a).
Infeksi virus
hepatitis B merupakan masalah kesehtana masyarakat yang utama di seluruh dunia
dan merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas akibat infeksi akut
dan sekuela kronis yang meliputi hepatitis aktif kronis, sirosis dan kanker
hati primer (Zuckerman & Zuckerman 2000).
HIV adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan
tubuh, dan AID adalah gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan
tubuh yang dibentuk setelah lahir (Sarwono Ilmu Kebidanan).
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Acquired artinya didapat, jadi
bukan merupakan penyakit keturunan, immuno berarti sistem kekebalan tubuh,
Deficiency artinya kekurangan sdeangkan syndrome adalah kumpulan gejala.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehtan
masyarakat terutama di daerah yang sedang berkembang karena erta hubungan
dengan kemiskinan, pengetahuan yang rendah, higiene dan sanitasi jelek.
Penyebabnya adalah salmonella typhi dengan masa inkubasi antara 3-60 hari. Di
indonesia rat-rata terdapat 900.000 kasus, 91% pada umur 3-19 tahun dengan
20.000 kematian setiap tahun.
Daftar Pustaka
MMK,Ai yeyeh Rukiyah,S.Si.T.MMK,Lia
Yulianti,Am.keb.2010.Asuhan Kebidanan 4
(Patologi).Jakarta:Trans Info Media
Gunggingham,F.Gary.2012.Obstetri Williams edisi 23.Jakarta:EGC
Fraser,Diane M.Cooper,Margaret A.2009.Buku Ajar Bidan Myles.Jakarta:EGC
Sarwono Prawirohardjo.2010.Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Sastrawinata,Prof.R.Sulaeman.1981.Obstetri Patologi FKUNPAD.Bandung:Elstar
Offset
Tidak ada komentar:
Posting Komentar