Jumat, 04 April 2014

Penyakit Menular Seksual (PMS)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Angka penyakit menular seksual (PMS) di Inggris mengalami peningkatan drastis sejak 1995, dan kasus baru yang ditemukan diklinik GUM saat ini berjumlah lebih dari satu juta kasus per tahun. Angka PMS tertinggi terjadi pada wanita, pria gay, remaja, dewasa muda, dan kelompok etnik kulit hitam serta minoritas (DoH 2001). Sebagian besar wanita tersebut menderita klamidia tanpa komplikasi dan serangan herpes yang pertama, dan pada pria, kebanyakan mereka mengalami kasus sifilis primer dan sekunder serta gonore tanpa komplikasi. Jumlah kasus serangan pertama virus kutil sedikit lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita (PHLS 2001).
Sebelum tahun 1995, jumlah diagnosis PMS akut masih stabil atau rendah (PHLS et al 2000). Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan perilaku seksual akibat adanya epidemik HIV. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka PMS saat ini adalah deteksi penyakit yang lebih baik, kontrol infeksi yang buruk, peningkatan praktik seksual yang tidak aman, perubahan perilaku seksual, dan menurunnya kewaspadaan terhadap HIV dan AIDS dikalangan kaum muda. Namun demikian, terdapat kemungkinan bahwa seperti halnya peningkatan penularan, faktor-faktor seperti layanan klinik GUM yang lebih baik yang disertai dengan kesadaran masyarakat dan kesadaran profesional yang lebih besar juga berperan dalam meningkatnya diagnosis PMS akut (PHLS et al 2000).
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian tentang Gonore?
2.      Bagaimana pengertian tentang  Infeksi Traktusunarius?
3.      Bagaimana pengertian tentang Hepatitis B?
4.      Bagaimana pengertian tentang HIV/AIDS?
5.      Bagaimana pengertian tentang Typus Abdominalis?
C.    Tujuan
1.      Mengerti dan memahami tentang Gonore
2.      Mengerti dan memahami tentang Infeksi Traktusunarius.
3.      Mengerti dan memahami tentang Hepatitis B.
4.      Mengerti dan memahani tentang HIV/AIDS.
5.      Mengerti dan memahami tentang Typus Abdominalis.





















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Gonore
1.      Definisi
Gonore adalah semua infeksi yang disebabkan oleh Neisseria Gonorrhoeae.N.Gonorrhoeae dibawah mikroskop cahaya tampak sebagai diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 µm dan bersifat tahan asam. Kuman ini bersifat gram negatif, tampak diluar dan di dilam leukosit polimorfnuklear, tidak dapat bertahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 39o C, dan tidak tahan zat desinfektan.
Gonore disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang merupakan diplokokus gram negatif. Penyakit ini ditularkan melalui kontak seksual. Organisme ini melekata pada membran mukosa dan lebih menyukai epitelium kolumnar daripada epitelium skuamosa. Oleh karena itu, area primer infeksi ini adalah membran mukosa uretra, endoserviks, rektum, farings, dan konjungtiva. Gonore dapat terjadi bersamaan dengan patogen mukosa genital lainnya terutama T.vaginalis, C.albicans dan C.trachomatis. hingga 80% kasus PID pada wanita yang berusia kurang dari 26 tahun disebabkan oleh N.Gonorrhoeae dan/atempuan. Gonore au C.trachomatis (Westrom 2000). Sekuela PID meliputi infertilitas, kehamilan ektopik, dan nyeri pelvik kronis. Meskipun jarang terjadi, gonore dapat juga menyebabkan penyakit sistemik diseminata dan artritis.
2.      Gambaran klinik
Gambaran klinik dan perjalanan penyakit pada perempuan berbeda dari pria. Hal ini disebabkan perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria dan perempuan. Gonore pada perempuan kebanyakan asimptomaatik sehingga sulit untuk menentukan masa inkubasinya.
Infeksi pada uretra dapat bersifat simptomatik ataupun asimptomatik, tetapi umumnya jarang terjadi tanpa infeksi pada serviks, kecuali pada perempuan yang telah dihisterektomi.
3.      Tanda dan gejala
·         Peningkatan atau perubahan rabas vagina
·         Nyeri abdomen bagian bawah
·         Disuria
·         Perdarahan uterus intermenstrual
·         Menoragia
·         Bertambahnya duh tubuh genital
·         Disuria yang kadang-kadang disertai poliuria
·         Pada pemeriksaan serviks tampak hiperemis dengan erosi dan sekret mukopurulen.
·         Kencing sakit, air kencing bernanah
·         Flour albus bernanah yang kadang-kadang luar biasa banyaknya hingga menimbulkan condylomata acuminata.
4.      Komplikasi
Komplikasi sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia. Infeksi pada serviks dapat menimbulkan komplikasi salpingitis atau penyakit radang panggul (PRP).PRP yang simtomatik ataupuan asimptomatik dapat mengakibatkan jaringan parut tuba sehingga menyebabkan infertilitas atau kehamilan ektopik.
N.gonorrhoeae dapat ditularkan dari saluran genital ibu ke bayi baru lahir pada saat persalinan, atau terkadang in utero jika ketuban pecah terlalu lama. Risiko penularan dari ibu yang terinfeksi adalah antara 30 dan 47% dan biasanya muncul sebagai oftalmia gonokokus neonatorum, suatu kondisi yang harus dilaporkan. Rabas purulen yang berjumlah banyak biasanya muncul selama beberapa hari setelah kelahiran. Kondisi ini dapat didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopik dan kultur swab mata. Mata dapat dibersihkan dengan salin, tetapi antibiotik sistemik tetap diperlukan,. Jika dibiarkan tanpa diobati, keadaan ini akhirnya dapat menyebabkan kebutaan, dan terkadang neonatus dapat mengalami infeksi lebih lanjut misalnya artritis gonokokus.
Persalinan kurang bulan, ketuban pecah, kurang bulan,korioamnionitis dan infeksi pascapartum. Idak Biasanya gonococcus tidak dapat menjalar ke atas karena terhalang oleh lendir kental dalam cervix. Pada persalinan lendir ini lenyap dan ostium terbuka hingga gonococcus ada kesempatan untuk menjalar ke atas berturut-turut menyebabkan endometritis dan salpingitis. Salpingitis selanjutnya dapat menimbulkan kemandulan, hingga ibu dengan gonorrhoea sering kali hanya beranak seorang (kemandulan anak seorang). Dapat juga menjadi sebab kehamilan ektopik.
Anak yang melalui jalan lahir dapt kemasukan gonococcus ke dalam matanya dan menderita conjunctivitis gonorrhoica (blennorrhoea neonatorum).
5.      Diagnosis dan pengobatan
Diagnosis Gonore dapat dipastikan dengan menemukan N.gonorrhoeae sebagai penyebab, baik secara mikroskopik maupun kultur (biakan). Sensitivitas dan spesifisitas dengan pewarnaan gram dari sediaan serviks hanya berkisar antara 45-65&, 90-99% sedangkan sensitivas dan spesifitas dengan kultur sebesar 85-85%,>99%. Oleh karena itu, untuk menegakkan diagnosis gonore pada perempuan perlu dilakukan kultur. Secara epidemiologis pengobatan yang dianjurkan untuk infeksi gonore tanpa koplikasi adalah pengobatan dosis tunggal. Pilihan terapi yang direkomendasi oleh CDC adalah sefiksim 400 mg per oral, seftriakson 250 mg intramuskular, siprofloksasin 500 mg per oral, ofloksasin 400 mg per oral, levofloksasin 250 mg per oral atau spektinomisin 2 g dosis tunggal intramuskular.
Infeksi gonore selama kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic inframmatory disease (PID). Infeksi ini sering ditemukan pada trimester pertama sebelum korion berfusi dengan decidua dan mengisi kavum uteri. Pada tahp lanjut , Neisseria gonorrhoeae diasosiasikan dengan ruptur membran yang prematur, kelahiran prematur, korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan. Konjungtivitis gonokokal (ophthalmia neonatus), manifestasi tersering dari infeksi perinatal, umunya ditransmisikan selama proses persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini dapat mengarah pada perforasi kornea dan panoftalmitis. Infeksi neonatal lainnya yang lebih jarang termasuk meningitis sepsis diseminata dengan artritis, serta infeksi genital dan rektal,
Oleh karena itu, untuk perempuan hamil dengan risiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining terhadap infeksi gonore pada saat datag untuk pertama kali antenatal dan juga pada trrimester ketiga kehamilan. Dosis dan obat-obatan yang diberikan tidak berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akan tetapi, perlu diingatkan pemberian golongan kuinolon pada perempuan hamil tidak dianjurkan.
Bila terjadi konjungtivitis gonore pada neonatus, pengobatan yang dianjurkan adalah pemberian seftriakson 50-100 mg/kg BB, intramuskular, dosis tunggal dengan dosis maksimum 125 mg.
Kultur media berisi antibiotik sudah sejak lama dianggap sebagai ‘standar emas’ untuk mendeteksi N.gonorrhoeae. sensitivitasnya hampir 100% pada klinik spesialis, tetapi angka isolasinya lebih rendah pada klinik non-specialis. Metode lain meliputi EIA, imunofluoresens dan pemeriksaan DNA (Barlow 2000).
Tinjauan sistematis acaochrane terhadap pengobatan gonore pada kehamilan menyimpulkan bahwa program pengobatan yang baik dengan antibiotik penisilin dan probenisid masih tetap efektif. Sediaan dosis tunggal oral saat ini paling sering diberikan. Pada kasus alergi penisilin atau organisme yang resisten terhadap penisilin, spektinomisin atau seftriakson juga efektif untuk digunakan (Brocklehurst 2001).
Diagnosa dibuat dengan pemeriksaan getah urethra dan vulva. Pengobatan ialah dengan suntikan 1000.000 S depot penicilline sehari selama 6-7 hari. Kalau ada resistensi terhadap penicilline atau kedua ada alergi terhadap penicilline diberi chloromphenicol 1 gr i.v atau i.m sehari selama 3 hari atau terramycin 4x250 mg sehari selama 5 hari. Penjagaan anak terhadap conjunctivitis gonorrhoica ialah dengan profilaks crede atau penetesan penicilin kedalam mata anak.

B.     Infeksi Traktusunarius
1.      Sistitis dan Uretritis
Infeksi saluran kemih bawah selama kehamilan dapat terjadi tanpa didahului oleh bakteriuria tersamar (Harris dan Gilstrap, 1981). Sistitis ditandai oleh disuria, urgensi dan peningkatan frekuensi berkemih, tetapi jarang disertai oleh gejala sistemik. Biasanya dijumpai piuria dan bakteriuria. Hematuria mikroskopik sering ditemukan dan kadang terjadi hematuria makroskopik karena sistitis hemoragik (Fakhoury, dkk., 1994). Meskipun sistitis biasanya tidak menimbulkan penyulit, saluran kemih dapat mengalami  infeksi asendens. Sekitar 40% wanita hamil dengan pielonefritis akut sebelumnya mengalami gejala-gejala infeksi saluran kemih bawah (Gilstrap dkk.,1981a).
Terapi, wanita dengan sistitis berespons baik terhadap berbagai regimen pengobatan. Sebagian besar dari regimen tiga hari biasanya efektif 90% (Fih,2003). Terapi dosis tunggal kurang efektif, dan jika digunakan maka pielonefritis harus benar-benar telah disingkirkan, Gejala saluran kemih bawah disertai piuria, tetapi dengan biakan urin steril, mungkin disebabkan uretritis akibat chlamydia trachomatis. Biasanya juga terdapat sevitis mukopurulen, dan terapi eritromisin biasanya efektif.
Cystitis terutama terjadi dalam nifas. Sebabnya ialah trauma kandung kencing karena persalinan kurang sensitipnya kandung kencing hingga ada urine sisa, semuanya memudahkan infeksi.
Gejalanya ialah sakit waktu kencing, sering kencing, nyeri di atas symphyse dan kadang-kadang ada demam sedikit.
Terapi pencegahan trauma pada kandung kencing, menghindarkan urine sisa dengan kateterisasi setiap 8 jam atau dengan pemasangan kateter menetap dan pemberian antibiotica.
C.    Hepatitis B
1.      Definisi
Infeksi virus hepatitis B merupakan masalah kesehtana masyarakat yang utama di seluruh dunia dan merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas akibat infeksi akut dan sekuela kronis yang meliputi hepatitis aktif kronis, sirosis dan kanker hati primer (Zuckerman & Zuckerman 2000). Virus hepatitis B dapat ditularkan secara seksual atau secara parenteral melalui darah atau produk darah yang terinfeksi. Cairan tubuh seperti saliva, menstruasi dan rabas vagina, eksudat serosa, cairan semen dan ASI, dikaitkan denfan penyebaran infeksi tetapi infektivitas sangat berkaitan dengan darah dan cairan tubuh yang terkontaminasi oleh darah. Virus ini dapat ditularkan melalui alat yang tidak steril, seperti yang mungkin terjadi pada penggunaan obat suntik yang menggunakan jarum dan suntikan bersama, tato atau akupuntur atau akibat tertusuk jarum pada petugas kesehatan (Brook 2001). Penularan vertikal merupakan cara penularan yang paling sering terjadi pada masa perinatal. Infeksi virus hepatitis B akut selama kehamilan berhubungan dengan peningkatan angka aborsi spontan dan persalinan prematur (Medhat et al 1993).
2.      Prevalensi
Prevalensi pengidap Virus Hepatitis b (VHB) pada ibu hamil di Indonesia berkisar antara 1-5% dimana keadaan ini bergantung pada prevalensi VHB di populasi.

3.      Tanda dan gejala
Biasanya terdapat dua fase gejala: fase prodromal ditandai dengan gejala seperti flu, diikuti dengan fase ikterik yang ditandai dengan adanya iketerik, anoreksia, mual dan keletihan. Infeksi dapat bersifat asimptomatik pada 10-50% orang dewasa pada fase akut serta pada bayi dan anak-anak. Jika terjadi infeksi kronis, sering kali tidak terdapat tanda-tanda fisik, tetapi terdapat tanda=tanda penyakit hati kronis.
4.      Faktor predisposisi
Beberapa faktor predisposisi terjadinya penularan vertikal antara lain titer DNA-VHB tinggi pada ibu (makin tinggi titer makin tinggi kemungkinan bayi tertular), terjadinya infeksi akut pada kehamilan trimester ketiga, persalinan lama dan mutasi VHB. Kegagalan vaksinasi yang menyebabkan bayi tertular 10-20% disebabkan oleh mutasi VHB.
5.      Komplikasi
Kehamilan sendiri tidak akan memperberat infeksi virus hepatitis, akan tetapi jika terjadi infeksi akut pada kehamilan bisa mengakibatkan terjadinya hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi.
Pada ibu dapat menimbulkan abortus dan terjadinya perdarahan pascapersalinan karena adanya gangguan pembekuan darah akibat gangguan fungsi hati.
Pada bayi masalah yang serius umumnya tidak terjadi pada masa neonatus, tetapi pada masa dewasa. Jika terjadi penularan vertikal VHB,60-90% akan menjadi pengidap kronik VHB dan 30% kemungkinan akan menderita kanker hati atau sirosis hati sekitar 40 tahun kemudian.
6.      Pencegahan
·         Kewaspadaan universal (universal precaution)\
Hindari hubungan seksual dan pemakaian alat atau bahan dari pengidap. Vaksinasi HB bagi seluruh tenaga kesehtan sangat penting, terutama yang sering terpapar dengan darah.
·         Skrining HbsAg pada ibu hamil
Terutama didaerah di mana terdapat prevalensi tinggi.
·         Imunisasi
Penularan dari ibu ke bayi sebagian besar dapt dicegah dengan imunisasi. Pemerintah telah menaruh perhatian besar terhadappenularan vertikal VHB dengan membuat program pemberian vaksinasi HB bagi semua bayi yang lahri di fasilitas pemerintah dengan dosis 5 mikrogram pada hari ke 0, umur 1 dan 6 bulan, tanpa mengetahui bayi tersebut lahir dari ibu dengan HbsAg positif atau tidak.
7.      Pengobatan
Semua ibu hamil harus menjalani skrining antenatal virus hepatitis B, dan bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus hepatitis B harus divaksinasi (NHS Exesutive 1998). Vaksinasi harus diberikan pada saat lahir dan pada saat bayi berusia 1 dan 6 bulan. Selain itu, bayi dari ibu yang terinfeksi virus hepatitis B pada kehamilan dan bayi yang tidak memiliki antibodi Hbe harus menerima imunoglobulin spesifik hepatitis B (HBIg) ada saat lahir. HBIg ini harus diinjeksikan pada area yang berbeda dengan area penyuntikan vaksin (area yang paling dipilih pada bayi adalah anterolateral paha). Imunoglobulin ini akan memberikan imunitas lagsung dan mengurangi penularan vertikal sebesar 90%. Ibu yang terinfeksi virus hepatitis B harus terus menyusui karena tidak terdapat risiko penularan melalui pemberian ASI (Brook 2001).
8.      Penanganan kehamilan dan persalinan pada ibu pengidap VHB
·         Pada infeksi akut VHB dan adanya hepatitis fulminan persalinan pervaginam usahakan dengan trauma sekecil mungkin dan rawat bersama dengan spesialis penyakit dalam (spesialis hepatologi). Gejala hepatitis fulminan antara ain sangat ikterik, nyeri perut kanan atas, kesadaran menurun dan hasil periksaan urin, warna seperti teh pekat, urobilin dan bilirubin positif, pada pemeriksaan darah selain urobilin dan bilirubin positif SGOT dan SGPT sangat tinggi biasanya diatas 1.000
·         Pada ibu hamil dengan viral load tinggi dapt dipertimbangkan pemberian HBIG atau lumivudin pada 1-2 bulan sebelum persalinan. Mengenail hal ini masih ada beberapa pendapat yang menyatakan lamivudin tidak ada pengaruh pada bayi, tetapi ada yang masih mengkhawatirkan pengaruh teratogenik obat tersebut.
·         Persalinan sebaiknya jangan dibiarkan berlangsung lama, khususnya pada ibu dengan HbsAg positif. Wong menyatakan persalinan berlangsung lebih dari 9 jam, sedangkan surya menyatakan persalinan berlangsung lebih drai 16 jam, sudah meningkatkan kemungkinan penularan VHB intrauterin. Persalinan pada ibi hmail dengan titer VHB tinggi (3,5 pg/ml) atau HbsAg positif, lebih baik seksio sesarea. Demikian juga jika persalinan yang lebih dari 16 jam pada pasien pengidap HbsAg positif.
·         Menyusui bayi, tidak merupakan masalah. Pada penelitian telah dibuktikan bahwa penularan melalui saluran cerna membutuhkan tuter virus yang jauh lebih tinggi daripada penularan parenteral.

D.    Infeksi karena virus HIV/AIDS
1.      Definisi
HIV adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh, dan AID adalah gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir (Sarwono Ilmu Kebidanan).
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Acquired artinya didapat, jadi bukan merupakan penyakit keturunan, immuno berarti sistem kekebalan tubuh, Deficiency artinya kekurangan sdeangkan syndrome adalah kumpulan gejala.
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak kekebalan tubuh, sehingga tubuh mudah diserang oleh penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat fatal. Padahal penyakit-penyakit tersebut misalnya berbagai virus, cacing, jamur, protozoa, dan basil tidak menyebabkan gangguan yang berarti pada orang yang sistem kekebalannya normal. Selain penyakit infeksi, penderita AIDS juga mudah terkena kanker. Dengan demikian gejala AIDS amat bervariasi. (Sumber: Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Virus yang menyebabkan penyakit ini adalah virus HIV (Humman Immuno-deficiency Virus). Dewasa ini dikenal juga dua tipe HIV yaitu HIV 1 dan HIV 2. Sebagian besar disebabkan oleh HIV 1, sedangkan infeksi oleh HIV 2 didapatkan di Afrika Barat. Infeksi HIV 1 memberi gambaran klinis yang hampir sama. Hanya infeksi HIV 1 lebih mudah ditularkan dan masa sejak mulai infeksi (masuknya virus ketubuh) sampai timbulnya penyakit lebih pendek. (Sumber: Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Tiga prinsip penularan HIV adalah melalui darah atau produk darah, kontak seksual, dan dari ibu ke anak.
2.      Stadium HIV
Infeksi HIV  memiliki 4 stadium sampai nantinya menjadi AIDS. Yakni: stadium 1 ibu dengan HIV positif tidak akan menunjukkan gejala klinis yang berarti sehingga ibu akan tampak sehat seperti orang normal dan mampu melakukan aktivitasnya seperti biasa.. Stadium II, sudah mulai menunjukkan gejala yang ringan seperti terjadi penurunan berat badan kurang dari 10%, infeksi yang berulang pada saluran nafas dan kulit.
Stadium III, ibu dengan HIV sudah tampak lemah, gejala dan infeksi sudah mulai bermunculan dan ibu akan mengalami penurunan berat badan yang lebih berat, diare yang tidak kunjung sembuh, demam yang hilang timbul dan mulai mengalami infeksi jamur pada rongga mulut bahkan infeksi sudah menjalar sampai ke paru-paru. Stadium IV, pasien akan menjadi AIDS aktivitas akan banyak dilakukan di tempat tidur karena kondisi dan keadaanya sudah mulai lemah, serta infeksi mulai bermunculan di mana-mana dan cenderung berat.
3.      Etiologi
Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya bisa diketahui penularan HIV terjadi kalau ada cairan tubuh yang mengandung HIV, sepeti hubungan seks dengan pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik, dan alat-alat penusuk (tato, penindik dan cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV (+). (http://www.odhaindonesia.org/trackback/43). Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular. Walaupun janin dalam kandungan dapat terinfeksi, sebagian besar penularan terjadi waktu melahirkan atau  menyusui, bayi yang lebih mungkin tertular jika persalinan berlanjut lama. Selama proses persalinan, bayi lebih mungkin tertular jika persalinan berlanjut lama. Selama proses persalinan, bayi dalam keadaan berisiko tertular oleh darah ibu. Air Susu Ibu (ASI) dari ibu yang terinfeksi HIV juga mengandung virus itu. Jadi jika bayi disusui oleh ibu HIV (+), bayi bisa tertular.
4.      Patofisiologis
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Virus ini “senang” hidup dan berkembangbiak pada sel darah putih manusia. HIV akan ada pada cairan tubuh yang mengandung sel darah putih, seperti darah, cairan plasenta, air mani atau cairan sperma, cairan sumsum tulang, cairan vagina, air susu ibu atau cairan otak (Ditulis oleh: Dr.Edi Patmini SS.Desember,2000).
HIV memegang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut “sel T-4” atau disebut juga “sel CD-4”. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Setelah terinfeksi HIV, 50-70% penderita akan mengalami gejala yang disebut sindrom HIV akut. Gejala ini serpua dengan gejala infeksi virus pada umumnya yaitu berupa demam, sakit kepala, sakit tenggorokkan, miagia (pegal-pegal diekstremitas bawah) pembesaran kelenjarndan rasa lemah. Pada sebagian orang, infeksi berat dapat disertai kesadaran menurun. Sindrom ini biasanya akan menghilang dalam beberapa minggu. Dalam waktu 3-6 bulan kemudian, tes serologi baru akan positif, karena telah terbentuk anti body. Masa 3-6 bulan ini disebut Window Periode, dimana penderita dapat menularkan namun secara labolaturium hasil tes HIV-nya masih negatif. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
5.      Komplikasi
Risiko lahir mati, persalianan prematur dan retardasi pertumbuhan intrauterus (Blocklehurst & French 1998)
6.      Penularan
Efek yang paling serius dari infeksi HIV-1 selama kehamilan adalah penularan vertikal. Hal ini dapat terjadi selama kehamilan, periode intrapartum atau periode pascanatal (Newell et al 1997). Pada bayi yang tidak mendapatkan ASI, hingga 75% penularan diperkirakan terjadi diakhir kehamilan, serta periode persalinan dan pelahiran. Penularan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Jumlah virus dalam plasma maternal merupakan faktor yang terpenting. Hubungan yang kuat antar jumlah virus dan risiko penularan observasi di Thailand, baik untuk penularan in utero maupun intrapartum (Shaffer et al 1999). Banyaknya virus yang meluruh pada sekresi serviks dan vagina juga dapat menjadi faktor penyebab penularan HIV-1 pada masa perinatal
DNA HIV-1 terdapat pada SI sehingga penularan ini pertama kali terjadi selama menyusui. Jenis penularan ini pertama kali terjadi pada wanita yang baru terinfeksi setelah persalinan melalui transfusi darah atau pajanan heteroseksual (Ziegler et al 1995). Anak yang mendapatkan ASI  berisiko lebih besar mengalami penularan dari ibu ke anak dibanding dari anak yang tidak pernah mendapatkan ASI, dan tindak lanjut prospektif terhadap anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1 menunjukkan bahwa sebagian dari bayi tersebut terinfeksi ada masa pascanatal setelah kehilangan antibodi maternal (Datta et al 1992, Lepage et al 1992).
Oleh karena itu ibu yang terinfeksi HIV-1 dianjurkan untuk tidak menyusui jika terdapat alternatif lain yang aman dan terjangkau. Namun demikian, diberbagai negara berkembang,tingginya biaya dan angka morbiditas dan mortalitas bayi berhubungan dengan metode pemberian makan alternatif yang bertujuan mengurangi penularan vertikal. Meskipun menyusui diperkirakan dapat meningkatkan risiko penularan vertikal dua kali lebih besar, risiko yang pastinya dan kapan penularan itu terjadi pada saat menyusui masih belum jelas (Dunn et al 1992)
7.      Prognosis
Pemaparan terhadap HIV tidak selalu mengakibatkan penularan, beberapa orang yang terpapar HIV selama bertahun-tahun bisa tidak terinfeksi. Disisi lain seseorang yang terinfeksi bisa tidak menampakkan gejala selama lebih dari 10 tahun. Tanpa pengobatan, infeksi HIV mempunyai risiko 1-2% untuk menjadi AIDS pada beberapa tahun pertama. Risiko ini meningkat 5% pada setiap tahun berikutnya. Tehnik penghitungan jumlah virus HIV (plasma RNA) dalam darah seperti polymerase chain reaction (PCR) dan branched deoxyribo nucleid acid (Bdna) test membantu dokter untuk memonitor efek pengobatan dan membantu penilaian prognosis ppenderita. Kadar virus ini akan bervariasi mulai kurang darai bebrapa ratus sampai lebih dari sejuta virus RNA/Ml plasma.
Dengan HIV, antibodinya dihasilkan dalam jangka waktu 3-8 minggu. Tahap berikutnya sebelum antibodi tersebut dapat diteksi dikenal sebagai “tahap jendela”.(window period). Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan sampel darah, air liur atau air kencing. Pengujian yang cepat ada dan menyediakan suatu hasil diantara 10-20 menit. Suatu hasil positif biasanya menuntut suatu tes konfirmatori lebih lanjut. Pengujian HIV harus dilakukan sejalan dengan bimbingan sebelum selama dan sesudahnya.
Jumlah normal dari sel-sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800-1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel-sel CD4+T-nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi-infeksi oportunistik.
8.      Pencegahan
Ada cara mencegah penularan HIV dari ibu kepada bayi. Caranya dengan melakukan screening yang baik. Cara lainnya dengan pemberian obat antiretroviral pada ibu positif. Selain itu, dengan melakukan persalinan yang aman pada saat kehamilan, selama perslinan dan setelah persalinan. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Dihampir setiap kunungan ke layanan kesehatan untuk memeriksakan kandungannya, para ibu tersebut biasanya mendapatkan penyuluhan mengenai kesehatan dan perawatan kehamilan, nutrisi dan keluarga berencana dari petugas kesehtana. Informasi mengenai HIV/AIDS dan penularan HIV dari ibu ke anak sebetulnya sangat tepat disisipkan di dalam kunjungan pemeriksaan kehamilan tersebut. Setelah mendapat penyuluhan dan konseliing, tes HIV sukarela juga dapat disertakan atas persetujuan si ibu di dalam paket periksa darah lainnya di laboratorium. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Pencegahan penularan HIV dari ibu kepada bayinya dilakukan dengan cara memberikan obat anti-HIV. Kepada ibu hamil yang diketahui terinfeksi HIV, pada trimester kedua dan ketiga (6 bulan terakhir) diberikan AZT per-oral (melalui mulut),sedangkan pada saat persalinan diberikan AZT melalui infus.
Kepada bayi baru lahir diberikan AZT selama 6 minggu. Tindakan tersebut telah berhasil menurunkan angka penularan HIV dari ibu kepada bayinya, dari 25% menjadi 8%. Pada persalinan normal, kemungkinan penularan HIV lebih besar, karena itu pada ibu hamil yang terinfeksi HIV kadang dianjurkan untuk menjalani operasi sesar.
Manajemen ibu hamil penderita AID apakah ibu hail seropositif tanpa gejala atau dengan gejala. Sebaiknya setiap ibu hamil mendapatkan langkah-langkah pelaksanaan sebagai berikut: Identifikasi risiko tinggi, yaitu pemakai narkotika intravena, pasangan seksualnya memakai narkotika intravena, biseksual dengan HIV  positif, penderita PHS, pekerja WTS; dilakukan pemeriksaan darahterhadap HIV; Diberikan peningkatan pengetahuan tentang AID; Konseling masalah AIDS; Pencegahan sumber infeksi (Prawirohardjo,2005).
Ada beberapa strategi yang penting dalam mencegah penularan HIV/AIDS ibu ke bayi. Pertama, dengan pemberian obat antiretroviral. Obat ini bekerja langsung menghambat replikasi dan perkembangan virus HIV. Kedua, melakukan persalinan yang aman pada saat kehamilan, selama persalinan, dan setelah persalinan. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Cara persalinan yang diperkenankan pada ibudengan HIV positif adalah dengan operasi, penularan HIV dari ibu ke anak dapat ditekan sampai 50% dibandingkan dengan persalinan normal. Setelah anak dilahirkan, ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan terutama saat menyusui si bayi. Disarankan, ibu yang melahirkan anak dengan HIV positif sebaiknya tidak menyusui karena dapat terjadi penularan HIV dari ibu ke bayi antara 10-20%, terlebih jika payudara                     ibu mengalami perlukaan lecet ataupun radang. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).

Imuniasi  juga harus diperhatikan pada anak yang terlahir dari ibu dengan HIV (+).WHO dan UNICEF menganjurkan agar semua bayi dengan infeksi HIV simptomatik diberikan imuniasai dasar menurut program nasional (BCG,DPT,OPV,Campak). Pada ibu yang telah bersalin, diharapkan dalam waktu kurang dari 4 minggu harus sudah menggunkan alat kotrasepsi dan tidak diperkenankan menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim seperti IUD karena kekebalan ibu sudah menurun dan akan memperbesar risiko infeksi yang terjadi pada rahim akibat adanya benda asing di dalam tubuh. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).

Infeksi HIV sampai saat ini beum ditemukan obatnya sehingga disarankan bagi mereka yang menderita HIV untuk tidak melakukan hubungan badan tanpa menggunakan alat kontrasepsi (menggunakan kondom). Pada ibu dengan HIV/AIDS sangat rentan timbulnya masalah sosial seperti diskriminasi dan isolasi. Hal ini merupakan tanggungjawab kita bersama untuk menghentikan segala bentu stigmatisasi dan diskriminasi kepada mereka terutama ibu-ibu dengan  HIV Positif. Pemberian AZT (Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta beratnya infeksi opportunistic dalam kehamilan merupakan masalah, karena obat belum diketahui dampak buruknya terhadap kahamilan. (Penulis: dr.Ryan Saktika Mulyana).
Yang perlu ditekankan di sini adalah, sejak pertama kali seorang perempuan mengetahui dirinya hamil dan mulai mengunjungi bidan, puskesmas, klinik bersalin, bagian kebidanan rumah sakit, maupun dokter kandungan untuk memeriksakan kandungannya (Antenatal care), maka di saat itulah dimulainya peran konselor, petugas kesehatan dan para penolong persalinan untuk memberikan informasi dan pendidikan HIV/AID. (Penulis: dr. Ryan Saktika Mulyana)
HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi anatar 2 obat atau lebih, kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup. Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia.dll,ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer, dll bisa merusak pankreas.
Dalam kelompok nucleoside, 3 TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan. Ketiga protease inditor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut. Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, jyga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal. Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunya kadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibutor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch). Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi ooportunistik. Penderita dengan kadar limposit CD4+ kurang dari 200 sel/Ml darah  mendapatkan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak.
Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/Ml  darah mendapatkan azitromisin seminggu sekali atau klaritromisin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah infeksi Mycobacterium avium.
Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang. Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan asiklovir jangka panjang.
Seorang ibu hamil sebaiknya mempertimbangkan semua masalah yang mungkin terjadi terkait ART:Jangan memakai ddl bersama dengan d4T dalam ART-nya karena kombinasi ini dapat menimbulkan asidosis laktik dengan angka tinggi; jangan memakai efavirenz atau indinavir selama kehamilan; bila CD4-nya lebih dari 250, jangan mulai memakai nnevirapine.
Beberapa dokter mengusulkan perempuan berhenti pengobatannya pada triwulan pertama kehamilan. Ada dua alsan; Risiko dosis dilewatkan akibat mual dan muntah selama awal kehamilan, dengan risiko mengembangkan resistensi terhadap obat yang dipakai; risiko obat mengakibatkan anak cacat lahir, yang tertinggi pada triwulan pertama. Tidak ada bukti terjadi cacat lahir, selain dengan efavirenz; para ahli tidak sepakat apakah penggunaan ART menimbulkan risiko lebih tinggi tehadap lahir dini atau bayi lahir dengan berat badan renadah.
Jika kita HIV-positif dan hamil, atai ingin jadi hamil, sebaiknya kita biacara dengan dokter tentang pilihan menjagakan kesehatan sendiri, dan mengurangi risiko bayi kita terinfeksi HIV atau cacar lahir.
Bedah caesar direkomendasikan untuk mengurangi penularan HIV pranatal. Suatu meta analisis terhadap 15 studi kohort prospektif oleh internasional perinatal HIV Group (1999) yang melibatkan 8533 pasangan ibu neonatus mendapatkan bahwa penularan HIV vertikal berkurang sekitar separuh pada bedah caesar dibandingkan dengan persalinan per vagina.
9.      Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi
Ibu HIV-Positif dapat mengurangi risiko bayinya tertular dengan mengonsumsi obat antiretroviral (ARV), menjaga proses kelahiran tetap singkat waktunya, hindari menyusui penggunaan ARV: Risiko penularan sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai. Angka penularan hanya 1-2 persen bila ibu memakai ART. Angka ini kurang lebih 4% bila ibu memakai ART selama enam bulan terakhir kehamilannya dan bayinya diberikan AZT selama enam minggu pertama hidupnya. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).

Jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini: AZT dan 3TC dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir, satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2-3 hari setelah lahir.
Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2%. Namun, resistensi terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistensi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang. (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
Menghindari menyusui artinya kurang lebih 14% bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat dihindari jika bayinya diberi pengganti ASI (PASI,  atau formula). Namun jika PASI tidak diberi secara benar, risiko lain pada bayinya menjadi semakin tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air bersih atau masalah biaya dapat menyebabkan jumlah formula yang diberikan tidak cukup, lebih baik bayi disusui. Yang terburuk adalh campuran ASI dan PASI. Mungkin cara paling cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak campur dengan PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklufif (tidak campur deengan ASI). (Sumber:Lembaran Informasi Spiritia LI610).
10.  Gejala klinis dan keterkaitannya dengan gangguan gizi
Diare : Adanya diare pada HIV/AIDS akan menyebabkan hilangnya zat gizi dalam tubuh seperti vitamin dan mineral, sehingga harus diberikan asupan gizi yang tepat, terutama yang mengandung larutan zat gizi mikro, untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Dianjurkan utuk mengonsumsi buah-buahan yang rendah serat dan tinggi kalium dan magnesium seperti jus pisang, jus alpukat.
Sesak Napas : Dianjurkan makanan tinggi lemak dan rendah karbohidrat untuk mengurangi CO2, dengan porsi kecil tetapi sering. Bila asupan makanan dalam sehari tidak mencukupi kebutuhan kalori sehingga dapat menyebabkan pasien menjadi lemah, perlu diberikan makanan tambahan dalam bentuk formula (makanan suplemen). Pemberian makanan dapt dilakukan pada pasien dalm posisi setengah duduk agar aliran O2 ke paru lebih optimal.
Gangguan penyerapan lemak (malabsorbsi lemak): pasien dengan gangguan penyerapan lemak diberikan diet rendah lemak. Dianjurkan menggunakan sumber lemak/minyak nabati yang mengandung asam lemak tak jenuh, seperti minyak kedelai,minyak jagung, minyak sawit,. Perlu tambahan vitamin yang larut dalam lemak (A,D.E,dan K).
Demam : pada pasien yang demam akan terjadi peningkatan emakaian kalori dan kehilangan cairan. Untuk itu diberikan makanan lunak dalm porsi kecil tapi sering dengan jumlah lebih dari biasanya dan dianjurkan minum lebih dari 2 liter atau 8 gelas/hari.
Penurunan berat badan : pasien yang berat badannya menurun secara drastis harus dicari penyebabnya. Pastikan apakah ada infeksi oprtunistik yang tidak terdiagnosis. Bila pasien tidak dapat makan secara oral maka diberikan secara perenteral.makanan yang dianjurkan adalah tinggi kalori tinggi protein secara bertahap dengan porsi kecil tapi seing serta padat kalori dan rendah serat.
Kebutuhan kalori Odha sekitar 2000-3000 Kkcal/hari dan protein 1,5-2 gram/kgBB/hari. Untuk mencukupi kebutuhan kalori dan protein sehari diberikan dengan memberikan makanan lengkap 3 kali ditambah makanan selingan 3 kali sehari.
Selain penurunan berat badan, odha sangat rentam terhadap kekurangan zat gizi mikro, oleh karena itu perlu suplemen multizat gizi mikro terutama yang mengandung vitamin B12,B6,A,E, dan mineral Zn, Se DAN Cu. Pemberian Fe dianjurkan infeksi oportunistik, pemberian fe dilakukan 2 minggu setelah pengobatan infeksi. Mereka dianjurkan untuk mengonsumsi 1 tablet multivitamin dan mineral setiap hari.
Pemberian suplemen vitamin dan mineral dalm jumlah besar (megadosis) agar berkonsultasi ke dokter karena pemberian yang berlebihan justru akan menurunkan imunitas tubuh.
Kebutuhan air perlu diperhatikan dan mereka dianjurkan untuk mengkonsumsi paling sedikit 8 gelas cairan sehari untuk memperlancar metabolisme terutama pada penderita yang demam. Dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi minuman atau makanan yang mengandung kafein dan alkohol serta zat lainnya yang dapt meningkatkan pengeluuaran air kencing. Diare kronis, mual dan muntah, keringat malam dan demam berkepanjangan memerlukan penambhan cairan sehingga minum perlu diperbanyak untuk mengganti kehilangan cairan tersebut.
      Dua hingga enam minggu setelah terpajan HIV, 50-70% mereka yang terinfeksi akan mengalami menjadi penyakit non-spesifik transien (terkadang disebut penyakit serokonversi) yang disertai demam, mialgia,malaise, limfadenopati dan faringitis (Luzzi et al 2000). Lebih dari 50% mengalami ruam. Ulkus oral dan genital juga terjadi. Penyakit terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berlangsung selama 1-2 minggu, tetapi dapat juga terjadi lebih lama.. serokonversi biasanya diikuti dengan periode asimptomatik yang berlangsung selama rata-rata 10 tahun tanpa terapi antiretrovirus. Meskipun infeksi secara klinis bersifat laten, terdapat pergantian virus dan limfosit yang intensif dengan memburuknya imunodefisiensi. Sekitar sepertiga pasien akan mengalami limfadenopati umum yang persisten. Rata-rata terjadinya HIV menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun.
11.  Konseling pra dan pasca tes HIV
Konseling pra dan pasca tes bagi perempuan hamil menyangkut beberapa hal dibawah ini: Konseling pra tes: Informasi mengenai penularan HIV melalui hubungan seksual dan bagaimana cara mencegahnya; informasi mengenai penularan HIV dari ibu ke anak dan bagaimana penanggulangannya; informasi mengenai proses dan prosedur tes HIV; Jaminan kerahasiaan dan bagaimana mendiskusikan kerahasiaan dan kemungkinan adanya konseling bagi pasangan; Implikasi dari tes negatif, termasuk promosi menyusi bayi dengan ASI; Implikasi dari tes positif: keuntungan dan kerugiannya, intervensi yang dipilh, serta kemungkinan adanya stigma, konseling yang menggali dan mengarah pada penilaian risiko.
Konseling pasca tes jika hasil Negatif Informasi yang diberikan mengenai pencegahan penularan dimasa depan, jika masih dalam “masa Jendela” (Window Period), maka dianjrkan untuk melakukan tes kembali, Promosi ASI eksklusif kepada ibu hamil yang tidak terditeksi HIV.
12.  Penatalaksanaan selama kehamilan
·         Survei laboratorium pranatal baku yang mencakup kreatinin serum, hemogram, dan penapisan bakteriuria.
·         Kuantifikasi RNA HIV plasma-‘viral load’ dan hitung limfosit T.CD4+serta uji resistensi antiretrovirus
·         Kadar transaminase hari serum
·         Penapisan untuk HIV-1 dan 2, sitomegalovirus, toxsoplasmosis dan hepatitis C
·         Foto toraks basal
·         Uji kulit tuberkulosis (PPD)
·         Evaluasi kebutuhan untuk vaksin pneumokokus, hepatitis B dan influenza
·         Evaluasi sonografik untuk memastikan usia gestasi.
·         Antepartum : 100 mg per oral lima kali sehari, dimulai pada 14-34 minggu dan dilanjutkan sepanjang kehamilan
·         Intrapartum : selama persalinan, zidovudin intravena dengan dosis awal 2 mg/kg dalam 1 jam diikuti oleh infus kontinyu 1 mg/kg/jam sampai pelahiran
·         Neonatus : dimulai pada 8-12 jam setelah lahir, dan berikan sirup dengandosis 2 mg/kg setiap 6 jam selama 6 minggu.

E.     Typus Abdominalis (demam tifoid)
1.      Definisi
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehtan masyarakat terutama di daerah yang sedang berkembang karena erta hubungan dengan kemiskinan, pengetahuan yang rendah, higiene dan sanitasi jelek. Penyebabnya adalah salmonella typhi dengan masa inkubasi antara 3-60 hari. Di indonesia rat-rata terdapat 900.000 kasus, 91% pada umur 3-19 tahun dengan 20.000 kematian setiap tahun.
2.      Tanda dan gejala
Penyakit ini ditandai dengan panas tinggi dan persisten 7-10 hari, disertai sakit kepala, malaise, gangguan defakasi (obstipasi atau diare). Pada daerah endemik gejala klinik sering terjadi multi drug resistant sehingga pasien akan kelihatan lebih toksik dengan gangguan kesadaran hepatomegali, DIC, dan komplikasi lainnya.
3.      Komplikasi
Pengaruh pada kehamilan terjadi karena panas yang lama dan tinggi disamping keadaan umum yang jelek sehingga menyebabkan keguguran, persalinan prematur, dan kematian janin intrauterin terutama kalau terjadi infeksi pada trimester pertama dan kedua. Morbiditas dan mortalitas bisa terjadi lebih tinggi pada kehamilan.
4.      Penanganan
·         Pencegahan dengan perbaikan sanitasi dan higiene akan sangat bermanfaat
·         Antibiotika
Kloramfenikol dan Tiamfenikol merupakan obat yang cukup manjur, tetapi hati-hati terhadap penekanan fungsi sumsum tulang dengan segla akibatnya. Fluorokuinolon dikatakan merupakan obat yang paling efektif dan kepada ibu hamil dapt diberikan juga sefalosporin generasi ketiga secara intravena dan azittromisin.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Gonore adalah semua infeksi yang disebabkan oleh Neisseria Gonorrhoeae.N.Gonorrhoeae dibawah mikroskop cahaya tampak sebagai diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 µm dan bersifat tahan asam. Kuman ini bersifat gram negatif, tampak diluar dan di dilam leukosit polimorfnuklear, tidak dapat bertahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 39o C, dan tidak tahan zat desinfektan.
Infeksi saluran kemih bawah selama kehamilan dapat terjadi tanpa didahului oleh bakteriuria tersamar (Harris dan Gilstrap, 1981). Sistitis ditandai oleh disuria, urgensi dan peningkatan frekuensi berkemih, tetapi jarang disertai oleh gejala sistemik. Biasanya dijumpai piuria dan bakteriuria. Hematuria mikroskopik sering ditemukan dan kadang terjadi hematuria makroskopik karena sistitis hemoragik (Fakhoury, dkk., 1994). Meskipun sistitis biasanya tidak menimbulkan penyulit, saluran kemih dapat mengalami  infeksi asendens. Sekitar 40% wanita hamil dengan pielonefritis akut sebelumnya mengalami gejala-gejala infeksi saluran kemih bawah (Gilstrap dkk.,1981a).
Infeksi virus hepatitis B merupakan masalah kesehtana masyarakat yang utama di seluruh dunia dan merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas akibat infeksi akut dan sekuela kronis yang meliputi hepatitis aktif kronis, sirosis dan kanker hati primer (Zuckerman & Zuckerman 2000).
HIV adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh, dan AID adalah gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir (Sarwono Ilmu Kebidanan).
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Acquired artinya didapat, jadi bukan merupakan penyakit keturunan, immuno berarti sistem kekebalan tubuh, Deficiency artinya kekurangan sdeangkan syndrome adalah kumpulan gejala.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehtan masyarakat terutama di daerah yang sedang berkembang karena erta hubungan dengan kemiskinan, pengetahuan yang rendah, higiene dan sanitasi jelek. Penyebabnya adalah salmonella typhi dengan masa inkubasi antara 3-60 hari. Di indonesia rat-rata terdapat 900.000 kasus, 91% pada umur 3-19 tahun dengan 20.000 kematian setiap tahun.























Daftar Pustaka
MMK,Ai yeyeh Rukiyah,S.Si.T.MMK,Lia Yulianti,Am.keb.2010.Asuhan Kebidanan 4 (Patologi).Jakarta:Trans Info Media
Gunggingham,F.Gary.2012.Obstetri Williams edisi 23.Jakarta:EGC
Fraser,Diane M.Cooper,Margaret A.2009.Buku Ajar Bidan Myles.Jakarta:EGC
Sarwono Prawirohardjo.2010.Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Sastrawinata,Prof.R.Sulaeman.1981.Obstetri Patologi FKUNPAD.Bandung:Elstar Offset

Tidak ada komentar:

Posting Komentar