Kamis, 13 Maret 2014

Abortus, dll..

BAB I
PENDAUHUAN
A.    Latar Belakang
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika dan Amerika Latin dibandingkan dengan Negara-negara barat. Di negara-negara barat dilaporkan 1 : 200 atau 2000 kehamilan. Di Negara-negara berkembang: 100 atau 600 kehamilan. Soejoenoes dkk (1967) melaporkan 1 : 85 kehamilan; RS Dr. Cipto Mangunkusomo Jakarta 1 : 31 persalinan dan 1 : 9 kehamilan ; Luat A. Siregar (Medan) tahun 1982 : 11-16 per 1000 kehamilan; Soetomo (Surabaya) 1:80 persalinan; Djamhoe Martaadisoebrata (Bandung); 9-12 per 1000 kehamilan. Biasanya dijumpai lebih seringpada umur reproduktif (14-45 tahun) dan multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita mola akan lebih besar.
Pemeriksaan USG janin dan histopatologis selanjutnya menunjukkan bahwa  pada 70% kasus, ovum yang telah dibuahi gagal untuk berkembang atau terjadi  malformasi pada tubuh janin. Pada 40% kasus, diketahui bahwa latar belakang  kejadian abortus adalah  kelainan chromosomal.  Pada 20% kasus, terbukti adanya  kegagalan trofoblast untuk melakukan implantasi dengan adekuat
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian tentang Abortus?
2.      Bagaimana pengertian tentang Molahidatosa?
3.      Bagaimana Pengertian Tentang KET?
4.      Bagaimana pengertian tentang Kuretase?
5.      Bagaimana Pengertian tentang Digital?
C.     Tujuan
1.      Mengertian dan mengetahui tentang Abortus
2.      Mengerti dan mengetahui tentang Molahidatosa.
3.      Mengerti dan mengetahui tentang KET.
4.      Mengerti dan mengetahui tentang kuretase.
5.      Mengerti dan mengetahui tentang digital.



BAB II
TINJAUN PUSTAKA
A.    Abortus
1.      Definisi
Abortus didefinisikan sebagai keluarnya hasil konsepsi  sebelum mampu hidup diluar kandungan dengan berat badan kurang dari 1000 gr atau umur kehamilan kurang dari 28 minggu (Manuaba,1998: 214).
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup diluar kandungan (Sarwono,2006).
Abortus atau keguguran adalah terhentinya kehamilan sebelum janin dapat bertahan hidup, yaitu sebelum kehamilan berusia 22 minggu atau berat janin belum mencapai 500 gram. Abortus biasanya ditandai dengan terjadinya perdarahan pada wanita yang sedang hamil, dengan adanya peralatan USG, sekarang dapat diketahui bahwa abortus dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yang pertama adalah abortus karena kegagalan perkembangan janin dimana gambaran USG menunjukkan kantong kehamilan yang kosong, sedangkan jenis yang kedua adalah abortus karena kematian janin, dimana janin tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan seperti denyut jantung atau pergerakan yang sesuai dengan usia kehamilan (obstetric patologi FK UNPAD)
Sampai saat ini janin yang terkecil yang dilaporkan dapat hidup diluar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir, akan tetapi, karena janin yang dilahirkan dengan berat badan dibawah 500 gram dapat hidup terus maka difinisi abortus yaitu: berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada waktu sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu hidup di luar kandungan (Ilmu Kebidanan,2006)
2.      Patofisiologis
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis, diikuti nerloisi jaringan yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Sehingga menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Apabila pada kehamilan kurang 8 minggu, nilai khorialis belum menembus decidua serta mendalam sehingga hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Apabila kehamilan 8-14 minggu villi khorialis sudah menembus terlalu dalam hingga plasenta tidak dapat dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan daripada plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta lengkap. Peristiwa ini menyerupai persalinan dalam bentuk miniatur.
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk, ada kalanya kantung amnion kosong atau tampak didalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas (bleghted ovum), mungkin pula janin telah mati lama (mised aborted). Apabila mudigah yang matii tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka ia dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah. Ini uterus dinamakan mola krenta. Bentuk ini menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap dalam sisinya terjadi organisasi, sehingga semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain adalah mola tuberosa dalam hal ini amnion tampak berbenjol-benjol karena terjadi hematoma antara amnion dan khorion.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi peroses modifikasi janin mengering dan karena cairan amnion menjadi kurang oleh sebab diserap. Ia menjadi agak gepeng (fetus kompresus). Dalam tingkat lebih lanjut ia menjadi tipis seperti kertas pigmenperkamen.
Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan ialah terjadinya maserasi, kulterklapas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar karena terasa cairan dan seluruh janin berwarna kemerah-merahan (Sarwono 2006).
3.      Klasifikasi beserta tanda-tandanya
Abortus dapat dibagi menjadi :
a.       Abortus spontan, adalah abortus yang terjadi tidak didahului faktor-faktor mekanik ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah (20% dari semua abortus).
b.      Abortus provokatus, yakni abortus yang disengaja, baik dengan obat-obatan maupun alat-alat abortus.
c.       Abortus Medisianalis (Abortus Theruaoeutica): abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan dapat membahayajan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis)
d.      Abortus Kriminalis, merupakan abortus yang disengaja karena tindakan-tindaka yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
e.       Unsafe, Abortion, adalah upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksanaan tindakan tersebut tidak mempunyai cukup kehamilan dan prosedur standar yang aman sehingga membahayakan keselamatan jiwa pasien.
f.       Abortus Imminens, yaitu terjadi perdarahan bercak yang menunjuk ancaman terhadap kelangsungan suatu kehamilan. Dalam kondisi seperti ini kehamilan masih mugkin berlanjut atau dipertahankan, ditandai dengan perdarahan bercak hingga sedang, serviks tertutup (karena pada saat pemeriksaan dalam belum ada pembukaan), uterus sesuai usia gestasi, kram perut bawah, nyeri memilin karena kontraksi tidak ada atau sedikit sekali, tidak ditemukan kelainan pada serviks.
g.      Abortus Insipiens, terjadi perdarahan ringan hingga sedang pada kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih berada dalam kavum uteri. Kondisi ini menunjukkan proses abortus sedang berlangsung dan akan berlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit, dengan tanda-tanda perdarahan sedang hingga masih/ banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah, serviks terbuka, uterus sesuai masa kehamilan, kram perut nyeri perut bawah karena kontraksi rahim kuat, akibat kontraksi uterus terjadi pembukaan, belum terjadi eksplusi hasil konsepsi.
h.      Abortus Inkomplit, perdarahan pada kehamilan muda dimana sebagian dari hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri melalui kanalis serviks yang tertinggal pada desidua atau plasenta ditandai perdarahan sedang, hingga masih/banyak dan setelah terjadi abortus dengan pengeluaran jaringan perdarahan berlangsung terus, serviks terbuka, karena masih ada benda di dalam uterus yang dianggap orpus alliem maka uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi tetapi kalau keadaan ini dibiarkan lama, serviks akan menutup kembali; uterus sesuai usia kehamilan; kram atau nyeri perut bagian bawah dan terasa mules-mules, ekspulsi sebagai hasil konsepsi.
i.        Abortus Komplit, yakni perdarahan pada kehamilan muda dimana seluruh dari hasil konsep telah dikeluarkan dari kavum uteri, ditandai dengan perdarahan bercak hingga sedang, serviks tertutup/terbuka, uterus lebih kecil dari usia gestasi, sedikit atau tanpa nyeri oerut bawah dari riwayyat hasil konsepsi, pada abortus konplit perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali, karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai. Dan jika dalam 10 hari setelah abortus masih ada perdahan juga, maka abortus inkomplit atau edometrosis post partum harus dipikirkan.
j.        Missed Abortus, Perdarahan pada kehamilan muda, disertai retensi konsepsi yang telah mati, hingga 8 minggu lebih,dengan gejala dijumpai amenore, perdarahan sedikit yang berulang pada permulaanya serta selama observasi fundus tidak bertambah tinggi malahan tambah rendah, kalau tadinya ada gejala kehamilan belakangan menghilang, diiringi dengan reaksi yang menjadi negatif pada 2-3 minggu sesudah fetus mati, servikstertutuup dan ada darah sedikit, sekali-kali pasien merasa perutnya dingin atau kosong.
k.      Abortus Hubitualis, atau keadaan dimana penderita mengalami keguguran  berturut-turut 3  kali atau lebih. Menurut HERIG abortus spontan terjadi dalam 10% dari kehamilan dan abortus habitualis 3,6-9,8% dari abortus spontan.
l.        Kalau seseorang penderita telah mengalami 2 kali abortus berturut-turut maka optimisme untuk kehamilan berikutnya berjalan normal adalah 65%. Kalau abortus 3 kali berturut-turut, maka kemungkinan ke 4 berjalan normal sekitar 16%.
4.      Faktor Risiko
a.       Faktor Genetik
b.      Kelainan kongenital uterus
c.       Penyebab infeksi
d.      Faktor Hematologik
e.       Faktor Lingkungan
f.       Faktor Hormonal
5.      Komplikasi Terhadap Ibu dan Janin
Komlikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi, dan syok.
6.      Penatalaksanaan Bidan
a.       Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum pasien, termasuk tanda-tanda vital.
b.      Periksa tanda-tanda syok (pucat, berkeringat banyak, pingsan, tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg, nadi cepat lebih dari 112 kali/menit)
c.       Jika dicurigai terjadi syok, segera mulai penanganan syok. Jika tidka terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi wanita karena kondisinya dapt memburuk dengan cepat. Jika terjadi syok, sangat penting untuk memulai penanganan syok dengan segera.
d.      Jika pasien dengan keadaan syok pikiran kemungkinan kehamilan ektopik terganggu
e.       Pasang infus dengan jarum besar (16 G atau lebih besar), berikan larutan garam fisiologik atau ringer lakatat dengan tetesan cepat (500 ml dalam 2 jam pertama). Kemudian setelah diketahui abortus apa yang terjadi lakukan penanganan spesifik sesuai abortus yang terjadi.
B.     Molahidatidosa
1.      Definisi
Mola Hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana seluruh villi korialisnya mengalami perubahan hidrofobik Mola hidatidosa merupakan kehamilan yang dihubungkan dengan edema vesikular dari vili korialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus yang intak. Secara histologis terdapat proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah.
2.      Patofisiologis
Ada  beberapa teori yang menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblas:
a.       Teori Missed abortion
Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion), karena itu  terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari vili dan  akhirnya  terbentuk gelembunggelembung.
b.      Teori neoplasma dari Park
Dikatakan yang abnormal adalah sel-   sel trofoblas, yang mempunyai fungsi  abnormal pula, dimana terjadi reabsorbsi cairan yang berlebihan ke-dalam vili  sehingga timbul  gelembung. Hal ini  menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah. Mola hidatidosa komplit berasal dari  genom maternal (genotype 46XX lebih  sering) dan 46 XY jarang, tapi 46XXnya  berasal dari replikasi haploid sperma dan  tanpa kromosom dari ovum. Mola parsial mempunyai 69 kromosom terdiri dari  kromosom 2 haploid paternal dan 1 haploid  maternal (tripoid, 69XX atau 69XY dari 1  haploid ovum dan  lainnya reduplikasi  paternal dari 1 sperma atau fertilisasi disperma).
3.      Tanda dan Gejala
Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan  kehamilan biasa, yaitu enek, muntah, pusing dan lain-lain, hanya satu derajat
keluhannya sering lebih hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga   biasanya besar uterus lebih  besar dari umur kehamilan. Perdarahan merupakan gejala utama mola, biasanya keluhan perdarahan inilah  yang menyebabkan mereka  datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi pada bulan pertama sampai ketujuh  dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan biasa intermitten, sedikit-sedikit,  atau sekaligus banyak, sehingga menyebabkan syok dan kematian. Karena perdarahan  ini maka umumnya  pasien mola masuk  dengan keadaan anemi.
 Adanya mola hidatidosa harus  dicurigai bila ada wanita dengan amenorea,
perdarahan pervaginaan atau  keluarnya  “vesikel” mola dari vagina, uterus yang
lebih besar  dari usia kehamilan dan tidak  ditemukannya  tanda kehamilan  pasti,
seperti tidak terabanya bagian-bagian janin  juga gerakan janin dan ballotemen serta  tidak terdengarnya bunyi jantung janin.  Untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human Chorionic  Gonadotropin  (HCG) dalam darah atau urine. Peninggian HCG terutama setelah  hari ke 100, biopsy transplasental. Bila  belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan  dengan sondase uterus yang diputar Diagnosis pasti dari mola hidatidosa biasanya dapat dibuat dengan ultrasonografi dengan menunjukkan gambaran yang  khas  berupa “vesikel-vesikel” (gelembung mola)  dalam kavum uteri atau “badai salju” (snow
flake pattern). Secara singkat gambaran diagnostic   klinik mola hidatidosa adalah:
a.        Pengeluaran darah yang terus menerus  atau intermitten yang  terjadi pada kehamilan kurang lebih 12 minggu.
b.      pembesaran uterus yang tidak sesuai  dengan usia kehamilan.
c.       pada palpasi tidak teraba bagian janin  dan denyut jantung janin tidak terdengar
d. gambaran ultrasonografi yang khas.
e.  kadar HCG yang tinggi setelah hari ke  100.
f. preeklampsia-eklampsia  yang terjadi sebelum minggu ke-24
4.      Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya mola yaitu wanita pada remaja awal atau usia perimenopausal amat sangat beresiko. Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki resiko 2 kali lipat. Wanita usia lebih dari 40 tahun memiliki resiko 7 kali dibanding wanita yang lebih muda hal ini dikaitkan dengan kualitas sel telur yang kurang baik pada wanita usia ini.. Paritas tidak mempengaruhi faktor risiko ini. Risiko lainnya yaitu riwayat keguguran 2 kali atau lebih, riwayat kehamilan mola sebelumnya juga dapat meningkatkan kejadian mola hingga lebih dari 10 kali lipat. Secara epidemiologi mola komplit dapat meningkat bila wanita kekurangan carotene dan defisiensi vitamin A. Sedangkan mola parsialis lebih sering tejadi pada wanita dengan tingkat pendidikan tinggi, menstruasi yang tidak teratur dan wanita perokok. Usia kurang 20 tahun. Gizi buruk.
5.      Komplikasi Terhadap Ibu dan Janin
·         Perdarahan hebat
·         Syok
·         Infeksi
·         Perforasi uterus
·         Keganasan (PTG)
6.      Penatalaksanaan Bidan
Terapi mola terdiri dari 4 tahap yaitu:
1) perbaiki keadaan umum; 2) pengeluaran  jaringan mola; 3) terapi profilaksis dengan  sitostatika; 4) pemeriksaan tindak lanjut
(follow up).
a.       Perbaikan keadaan umum. Yang dimaksud usaha ini yaitu koreksi  dehidrasi, transfuse  darah bila anemia  (Hb 8  gr%), jika ada gejala preeklampsia dan hiperemis gravidarum diobati sesuai dengan protocol penanganannya. Sedangkan bila ada gejala tirotoksikosis di konsul  ke bagian penyakit dalam.
b.      Pengeluaran jaringan mola. Ada 2 cara yaitu: a) kuretase; b) Histerektomi.
1)      Kuretase. Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan  selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar β-hCG, serta  foto thoraks) kecuali bila jaringan mola sudah keluar spontan. Bila kanalis servikalis belum  terbuka, maka dilakukan pemasangan  laminaria dan kuretase dilakukan  24 jam kemudian. Sebelum kuretase terlebih dahulu disiapkan darah dan pemasangan  infus dengan tetesan oxytocin 10  UI dalam 500 cc Dextrose 5%/. Kuretase dilakukan sebanyak 2 kali dengan interval minimal 1 minggu. Seluruh jaringan hasil kerokan  dikirim ke laboratorium PA.
2)      Histerektomi: tindakan ini dilaku-kan  pada wanita yang telah cukup  (> 35  tahun) dan mempunyai anak hidup  (>3 orang).
c.       Terapi profilaksis dengan sitostatika Pemberian kemoterapi repofilaksis pada pasien pasca evaluasi mola hidatidosa masih menjadi kontroversi.  Beberapa  hasil  penelitian menyebutkan bahwa kemungkinan terjadi neoplasma setelah  evaluasi mola pada kasus yang mendapatkan metotreksat sekitar 14%, sedangkan  yang tidak mendapat sekitar 47%. Pada  umumnya profilaksis kemoterapi pada  kasus mola hidatidosa ditinggalkan  dengan  pertimbangan efek samping dan  pemberian kemoterai untuk tujuan trapi  definitive memberi-kan keberhasilan  hampir 100%. Sehingga pemberian profilaksis diberikan apabila. apabila  dipandang perlu pilihan  profilaksis kemoterapi adalah: Metotreksat 20  mg/ hari IM selama 5 hari
7.      Penatalaksanaan Lanjutan
·         Lama pengawasan berkisar satu sampai dua tahun
·         setelah pengawasan penderita dianjurkan memakai kontrasepsi kondom,  pil kombinasi atau diafragma dan  pemeriksaan fisik dilakukan setiap  kali pada saat penderita datang kontrol
·         Pemeriksaan kadar  β-hCG dilakukan  setiap minggu sampai ditemukan kadar β-hCG normal tiga kali berturut-turut
·         Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan  setiap bulan sampai kadar  β-hCG  normal selama 6 kali berturut-turut
·         Bila terjadi remisi spontan (kadar β-hCG, pemeriksaan fisis, dan foto thoraks setelah saru tahun semua-nya normal) maka penderita tersebut dapat berhenti  menggunakan kontrasepsi  dan hamil lagi.
·         Bila selama masa observasi kadar β-hCG tetap atau bahkan meningkat taua pada pemeriksaan klinis, foto thoraks ditemukan adanya metastase maka penderita harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi.
C.     KET (Kehamilan Ektopik)
1.      Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang berkembang diluar rahim, biasanya didalam tuba falopi. Situasi ini membahayakan nyawa karena dapat menyebabkan pecahnya tuba falopi jika kehamilan berkembang. 
Suatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di lokasi-lokasi selain cavum uteri, seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen. Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.
2.      Patofisiologis
Proses implantasi ovum di tuba pada adasarnya sama dengan yang terjadi di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumnar atau interkolumnar. Pada nidasi secara kolumnar telur bernidasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan direabsorsi. Pada nidasi interkolumnar, telur bernidasi antar dua jonjot endosalping.
Setelah tempat nidasi tertutup maka ovum dipisahkan dari lumen oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba malahan kadang-kadang sulit dilihat vili khorealis menembus endosalping dan masuk kedalam otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin ipovolemi, pembesaran uterus, tumor dalam rongga panggul, perubahaan darah.selanjutnya tergantung dari beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang  terjadi oleh invasi trofoblas.
3.      Klasifikasi
Kehamilan tuba, fertilisasi yakni penyatuan ovum dengan spermatozoa terjadi di ampulla tuba. Dari sini ovum yang telah dibuahi digerakan ke kavum uteri dan ditempat yang terakhir ini mgadakan implantasi di endometrium. Keadaan pada tuba yang menghambat atau menghalangi gerakan ini, dapat menjadi sebab bahwa implantasi terjadi pada endosalping. Selanjutnya, ada kemungkinan pula bahwa pada ovum yangb dibuahi memberi predisposisi untuk implantasi diluar ovum uter. Akan terjadi hal ini kiranya tidak terjadi banyak terjadi. (prrawirohardjo, sarwono 2005).
Kehamilan Heterotipik. Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan intrauterin. Kehamilan heterotipik ini snagat langka. Hingga satu dekade yang lalu insidens kehamilan heterotipik adalah 1 dalam 30.000 kehamilan, namun dikatakan bahwa insidennya sekarnag telah meningkat menjadi 1 dalam 7000 bahkan 1 dalam 900 kehamilan, berkat perkembangan teknik-teknik reproduksi.
Kehamilan ovarial,  kehamilan ovarial sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriterium dari spigelberg, yakni: a. Tuba sisi kehamilan harus normal, b. Kantonng janin hharus berlokasi padaovarium, c. Ovarium dihubungkandengan uterus oleh ligamentum ovarii proprium, d. Histopatologis ditemukan jaringan ovarium didalam dinding kantong janin.
Kehamilan servikal, kehamilan servikal pun snagat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi dalamkanalis servikal, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu dan biasanya diakhiri secara operatif oelh kkarena perdarahan.
Kehamilan abdominal, enurut kepustakaan, kehamilan abdominal kjarang terjadi kira-kira 1 diantara 1.500 kehami;an. Kehamilan abdominal ada dua macam yaitu : a. Kehamilan abdominal primer, terjadi bila telur dari awal megadkan implantasi dalam rongga perut, b. Kehamilan abdominal sekunder, berasal dari kehamilan tuba dan setelah rupture baru menjadi kehamilan abdominal (UNPAD,2005).
4.      Tanda dan Gejala
Pada wanita yang mengalami KET gejala yang terlihaat menyerupai Appendiksitis dengan gejala antara lain: nyeri perut bagian bawah, amenore, perdarahan pervaginam, syok karena hipovolemi, pembesaran uterus, tumor dalam rongga panggul, perubahan darah.
Gejala-gejala ektopik beraneka ragam, sehingga pembuatan diagnosi kadang-kadang menimbulkan kesulitan, yang penting dalam pembuatan diagnosis kehamilan ektopik ialah supaya pada pemeriksaan penderita selalu waspada terhadap kemungkinan kehamilan ini.
Agar gejala yang muncul pasti karena KET harus didukung oleh hasil pemeriksaan untuk membantu diagnosis: tes kehamilan, laparoskopi, Ultrasonografi (USG), Kuldosentesis, diagnosis diferensial (Diagnosa banding) yang harus diwaspadai adalah infeksi pelvis, Abortus Imminens atau insipiens, Torsi kista ovarium, Appendistis, Ruptur korpus luteum.
Nyeri yang terlokalisasi/nyeri abdomen. Amenore, perdarahan vagina atau spotting. Nteri ahu, distensi abdomen, mual, muntah, pusing, pingsan, apireksia.
5.      Faktor Risiko
a.       Kehamilan kektpik sebelumnya
b.      Pembedahan sebelumnya terhadap tuba uterina
c.       Pajanan terhadap dietilstilbestroldalam uterus
d.      Abnormalitas kongenital pada tuba
e.       Infeksi sebelumnya, termasuk klamidia, gonorea,dan penyakit inflamasi pelvis
f.       Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim
g.      Teknik reproduktif bantuan
6.      Komplikasi Terhadap Ibu dan Janin
7.      Penatalaksanaan Bidan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam tindakan demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan kondisi penderita pada saat itu, keinginan penderita  akan fungsi reproduksinya,lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomik rongga pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi invirto setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomia.
8.      Penatalaksanaan Lanjutan

D.    Persiapan Praktikum Kuretase
1.         Pengertian Kuretase
Kuratase adalah cara membersihkan hasil konsepsi memakai alat kuratase (sendok kerokan). Sebelum melakukan kuratase, penolong harus melakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan besarnya uterus gunanya untuk mencegah terjadinya bahaya kecelakaan misalnya perforasi (Harnawatiaj, 2008).

2.    Tujuan Kuretase
a.  Kuret sebagai diagnostik suatu penyakit rahim
Yaitu mengambil sedikit jaringan lapis lendir rahim, sehingga dapat diketahui penyebab dari perdarahan abnormal yang terjadi misalnya perdarahan pervaginam yang tidak teratur, perdarahan hebat, kecurigaan akan kanker endometriosis atau kanker rahim, pemeriksaan kesuburan/ infertilitas.
b.        Kuret sebagai terapi
Yaitu bertujuan menghentikan perdarahan yang terjadi pada keguguran kehamilan dengan cara mengeluarkan hasil kehamilan yang telah gagal berkembang, menghentikan perdarahan akibat mioma dan polip dengan cara mengambil mioma dan polip dari dalam rongga rahim, menghentikan perdarahan akibat gangguan hormon dengan cara mengeluarkan lapisan dalam rahim misalnya kasus keguguran, tertinggalnya sisa jaringan plasenta, atau sisa jaringan janin di dalam rahim setelah proses persalinan, hamil anggur, menghilangkan polip rahim (Damayanti, 2008).
3.     Persiapan Alat
Alat tenun,
1)   Baju operasi
2)   Laken
3)   Doek kecil
Alat kuretase
1)   Spekulum dua buah (Spekullum cocor bebek (1) dan SIM/L (2) ukuran S/M/L)
2)   Sonde penduga uterus
a.    Untuk mengukur kedalaman rahim
b.    Untuk mengetahui lebarnya lubang vagina
3)   Cunam muzeus atau cunam porsio
4)   Berbagai ukuran busi (dilatator) Hegar
5)   Bermacam-macam ukuran sendok kerokan (kuret 1 set)
6)   Cunam tampon satu buah
7)   Kain steril dan handscoon 2 pasang
8)   Tenakulum 1 buah
9)   kom
10)    Lampu sorot
11)    Larutan antiseptik
12)    Tensimeter, stetoskop, sarung tangan DTT
13)    Set infus, aboket, cairan infus
14)    Kateter karet 1 buah
15)    Spuit 3 cc dan 5 cc
16)    Oksigen dan regulator (Yara, 2011).
4.    Saat Kuretase
Sebelum dilakukan kuretase, biasanya pasien akan diberikan obat anestes (dibius) secara total dengan jangka waktu singkat, sekitar 2-3 jam. Setelah pasien terbius, barulah proses kuretase dilakukan.Ketika melakukan kuret, ada 2 pilihan alat bantu bagi dokter. Pertama, sendok kuret dan kanula/selang. Sendok kuret biasanya dipilih oleh dokter untuk mengeluarkan janin yang usianya lebih dari 8 minggu karena pembersihannya bisa lebih maksimal. Sedangkan sendok kanula lebih dipilih untuk mengeluarkan janin yang berusia di bawah 8 minggu, sisa plasenta, atau kasus endometrium.
 Alat kuretase baik sendok maupun selang dimasukkan ke dalam rahim lewat vagina. Bila menggunakan sendok, dinding rahim akan dikerok dengan cara melingkar searah jarum jam sampai bersih. Langkah ini harus dilakukan dengan saksama supaya tak ada sisa jaringan yang tertinggal. Bila sudah berbunyi “krok-krok” (beradunya sendok kuret dengan otot rahim) menunjukkan kuret hampir selesai. Sedikit berbeda dengan selang, bukan dikerok melainkan disedot secara melingkar searah jarum jam. Umumnya kuret memakan waktu sekitar 10-15 menit (Fajar, 2007).
5.   Teknik Kuretase
a.       Tentukan Letak Rahim
Yaitu dengan melakukan pemeriksaan dalam. Alat – alat yang dipakai umumnya terbuat dari metal dan biasanya melengkung karena itu memasukkan alat – alat ini harus disesuaikan dengan letak rahim. Gunanya supaya jangan terjadi salah arah (fase route) dan perforasi.
b.      Penduga  Rahim (sondage)
Masukkan penduga rahim sesuai dengan letak rahim dan tentukan panjang ataudalamnya penduga rahim. Caranya adalah, setelah ujung penduga rahim membentur fundus uteri, telunjuk tangan kanan diletakkan atau dipindahkan pada portio dan tariklah sonde keluar, lalu baca berapa cm dalamnya rahim.
b.          Dilatasi dan Kuretase
Setelah pasien ditidurkan dalam letak litotomi dan dipersiapkan sebagaimana mestinya, dilakukan pemeriksaan bimanual untuk sekali lagi menentukan besar dan letaknya uterus serta ada atau tidaknya kelainan disamping uterus.
Sesudah premedikasi diberikan,  infus glukosa 5 % intravena dengan 10 satuan oksitosin dipasang dan diteteskan perlahan-lahan untuk menimbulkan kontraksi dinding uterus dan mengecilkan bahaya perforasi. Kemudian anastesi umum, misalnya dengan penthotal sodium, diberikan. Setelah spekulum vagina dipasang, satu atau dua serviks menjepit dinding depan porsio uteri. Spekulum depan diangkat dan spekulum belakang dipegang oleh seorang pembantu. Cunam dipegang dengan tangan kiri si penolong untuk mengadakan fiksasi pada serviks uteri dan untuk dapat mengatur kekuatan untuk dapat memasukkan busi Hegar melalui ostium uteri internum. Sonde uterus dimasukkan dengan hati-hati untuk mengetahui letak dan panjangnya kavum uteri. Sesudah itu dilakukan dilatasi kanalis servikalis dengan busi hegar dari nomer kecil hingga yang secukupnya, tetapi tidak lebih dari busi nomer 12 pada seorang multipara. Panjang busi yang dimasukkan tidak boleh melebihi panjang sonde uterus yang dapat masuk sebelumnya. Dilatasi pada seorang primigravida lebih sulit dan mengandung lebih besar terjadinya luka pada serviks uteri, sehingga lebih baik dilakukan pada kehamilan yang lebih muda dan diadakan dilatasi yang sekecil-kecilnya.
Pada kehamilan sampai 6 atau 7 minggu pengeluaran isi rahim dapat dilakukan dengan kuret tajam. Harus diusahakan agar seluruh kavum uteri dikerok, agar ovum kecil tidak terlewat, kerokan dilakukan secara sistematis menurut puteran jarum jam.
Apabila kehamilan melebihi 6-7 minggu, digunakan kuret tumpul sebesar yang dapat dimasukkan. Setelah hasil konsepsi untuk sebagian besar lepas dari dinding uterus, maka hasil tersebut dapat dikeluarkan sebanyak mungkin dengan cunam abortus, kemudian dilakukan kerokan hati-hati dengan kuret tajam yang cukup besar. Apabila perlu, dimasukkan tampon kedalam kavum uteri dan vagina, yang harus dikeluarkan esok harinya.
E.     Persiapan Praktikum Digital
Hal ini sering kita laksanakan pada keguguran bersisa. Pembersihan secara
digital hanya dapat dilakukan bila telah ada pembentukan serviks uteri yang dapat
dilalui oleh satu janin longgar dan dalam kavum uteri cukup luas, karena manipulasi
ini akan menimbulkan rasa nyeri.


























BAB III
PENUTUP
A.            Kesimpulan
Abortus didefinisikan sebagai keluarnya hasil konsepsi  sebelum mampu hidup diluar kandungan dengan berat badan kurang dari 1000 gr atau umur kehamilan kurang dari 28 minggu (Manuaba,1998: 214).
Mola Hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana seluruh villi korialisnya mengalami perubahan hidrofobik Mola hidatidosa merupakan kehamilan yang dihubungkan dengan edema vesikular dari vili korialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus yang intak. Secara histologis terdapat proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang berkembang diluar rahim, biasanya didalam tuba falopi. Situasi ini membahayakan nyawa karena dapat menyebabkan pecahnya tuba falopi jika kehamilan berkembang. 
Kuratase adalah cara membersihkan hasil konsepsi memakai alat kuratase (sendok kerokan). Sebelum melakukan kuratase, penolong harus melakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan besarnya uterus gunanya untuk mencegah terjadinya bahaya kecelakaan misalnya perforasi (Harnawatiaj, 2008).
Hal ini sering kita laksanakan pada keguguran bersisa. Pembersihan secara
digital hanya dapat dilakukan bila telah ada pembentukan serviks uteri yang dapat
dilalui oleh satu janin longgar dan dalam kavum uteri cukup luas, karena manipulasi  ini akan menimbulkan rasa nyeri.










Daftar Pustaka
MMK,Ai yeyeh Rukiyah,S.Si.T.MMK,Lia Yulianti,Am.keb.2010.Asuhan Kebidanan 4 (Patologi).Jakarta:Trans Info Media
Gunggingham,F.Gary.2012.Obstetri Williams edisi 23.Jakarta:EGC
Fraser,Diane M.Cooper,Margaret A.2009.Buku Ajar Bidan Myles.Jakarta:EGC