BAB I
PENDAUHUAN
A. Latar
Belakang
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika dan
Amerika Latin dibandingkan dengan Negara-negara barat. Di negara-negara barat
dilaporkan 1 : 200 atau 2000 kehamilan. Di Negara-negara berkembang: 100 atau
600 kehamilan. Soejoenoes dkk (1967) melaporkan 1 : 85 kehamilan; RS Dr. Cipto
Mangunkusomo Jakarta 1 : 31 persalinan dan 1 : 9 kehamilan ; Luat A. Siregar
(Medan) tahun 1982 : 11-16 per 1000 kehamilan; Soetomo (Surabaya) 1:80
persalinan; Djamhoe Martaadisoebrata (Bandung); 9-12 per 1000 kehamilan.
Biasanya dijumpai lebih seringpada umur reproduktif (14-45 tahun) dan
multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita mola akan
lebih besar.
Pemeriksaan USG janin dan histopatologis selanjutnya
menunjukkan bahwa pada 70% kasus, ovum
yang telah dibuahi gagal untuk berkembang atau terjadi malformasi pada tubuh janin. Pada 40% kasus,
diketahui bahwa latar belakang kejadian
abortus adalah kelainan
chromosomal. Pada 20% kasus, terbukti
adanya kegagalan trofoblast untuk
melakukan implantasi dengan adekuat
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian tentang Abortus?
2. Bagaimana
pengertian tentang Molahidatosa?
3. Bagaimana
Pengertian Tentang KET?
4. Bagaimana
pengertian tentang Kuretase?
5. Bagaimana
Pengertian tentang Digital?
C. Tujuan
1. Mengertian
dan mengetahui tentang Abortus
2. Mengerti
dan mengetahui tentang Molahidatosa.
3. Mengerti
dan mengetahui tentang KET.
4. Mengerti
dan mengetahui tentang kuretase.
5. Mengerti
dan mengetahui tentang digital.
BAB
II
TINJAUN
PUSTAKA
A. Abortus
1. Definisi
Abortus
didefinisikan sebagai keluarnya hasil konsepsi
sebelum mampu hidup diluar kandungan dengan berat badan kurang dari 1000
gr atau umur kehamilan kurang dari 28 minggu (Manuaba,1998: 214).
Abortus
adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) atau sebelum
kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk
hidup diluar kandungan (Sarwono,2006).
Abortus
atau keguguran adalah terhentinya kehamilan sebelum janin dapat bertahan hidup,
yaitu sebelum kehamilan berusia 22 minggu atau berat janin belum mencapai 500
gram. Abortus biasanya ditandai dengan terjadinya perdarahan pada wanita yang
sedang hamil, dengan adanya peralatan USG, sekarang dapat diketahui bahwa
abortus dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yang pertama adalah abortus karena kegagalan
perkembangan janin dimana gambaran USG menunjukkan kantong kehamilan yang
kosong, sedangkan jenis yang kedua adalah abortus karena kematian janin, dimana
janin tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan seperti denyut jantung atau
pergerakan yang sesuai dengan usia kehamilan (obstetric patologi FK UNPAD)
Sampai
saat ini janin yang terkecil yang dilaporkan dapat hidup diluar kandungan,
mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir, akan tetapi, karena janin yang
dilahirkan dengan berat badan dibawah 500 gram dapat hidup terus maka difinisi
abortus yaitu: berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada
waktu sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau sebelum kehamilan
tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu hidup di luar
kandungan (Ilmu Kebidanan,2006)
2. Patofisiologis
Pada
awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis, diikuti nerloisi
jaringan yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing
dalam uterus. Sehingga menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda
asing tersebut. Apabila pada kehamilan kurang 8 minggu, nilai khorialis belum
menembus decidua serta mendalam sehingga hasil konsepsi dapat dikeluarkan
seluruhnya. Apabila kehamilan 8-14 minggu villi khorialis sudah menembus terlalu
dalam hingga plasenta tidak dapat dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak
perdarahan daripada plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta lengkap.
Peristiwa ini menyerupai persalinan dalam bentuk miniatur.
Hasil
konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk, ada kalanya
kantung amnion kosong atau tampak didalamnya benda kecil tanpa bentuk yang
jelas (bleghted ovum), mungkin pula janin telah mati lama (mised aborted).
Apabila mudigah yang matii tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka ia dapat
diliputi oleh lapisan bekuan darah. Ini uterus dinamakan mola krenta. Bentuk
ini menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap dalam sisinya
terjadi organisasi, sehingga semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain adalah
mola tuberosa dalam hal ini amnion tampak berbenjol-benjol karena terjadi
hematoma antara amnion dan khorion.
Pada
janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi peroses
modifikasi janin mengering dan karena cairan amnion menjadi kurang oleh sebab
diserap. Ia menjadi agak gepeng (fetus kompresus). Dalam tingkat lebih lanjut
ia menjadi tipis seperti kertas pigmenperkamen.
Kemungkinan
lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan ialah terjadinya maserasi,
kulterklapas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar karena terasa cairan dan
seluruh janin berwarna kemerah-merahan (Sarwono 2006).
3. Klasifikasi
beserta tanda-tandanya
Abortus dapat dibagi
menjadi :
a. Abortus
spontan, adalah abortus yang terjadi tidak didahului faktor-faktor mekanik
ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah (20% dari semua
abortus).
b. Abortus
provokatus, yakni abortus yang disengaja, baik dengan obat-obatan maupun
alat-alat abortus.
c. Abortus
Medisianalis (Abortus Theruaoeutica): abortus karena tindakan kita sendiri,
dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan dapat membahayajan jiwa ibu
(berdasarkan indikasi medis)
d. Abortus
Kriminalis, merupakan abortus yang disengaja karena tindakan-tindaka yang tidak
legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
e. Unsafe,
Abortion, adalah upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksanaan
tindakan tersebut tidak mempunyai cukup kehamilan dan prosedur standar yang
aman sehingga membahayakan keselamatan jiwa pasien.
f. Abortus
Imminens, yaitu terjadi perdarahan bercak yang menunjuk ancaman terhadap
kelangsungan suatu kehamilan. Dalam kondisi seperti ini kehamilan masih mugkin
berlanjut atau dipertahankan, ditandai dengan perdarahan bercak hingga sedang,
serviks tertutup (karena pada saat pemeriksaan dalam belum ada pembukaan), uterus
sesuai usia gestasi, kram perut bawah, nyeri memilin karena kontraksi tidak ada
atau sedikit sekali, tidak ditemukan kelainan pada serviks.
g. Abortus
Insipiens, terjadi perdarahan ringan hingga sedang pada kehamilan muda dimana
hasil konsepsi masih berada dalam kavum uteri. Kondisi ini menunjukkan proses
abortus sedang berlangsung dan akan berlanjut menjadi abortus inkomplit atau
komplit, dengan tanda-tanda perdarahan sedang hingga masih/ banyak,
kadang-kadang keluar gumpalan darah, serviks terbuka, uterus sesuai masa
kehamilan, kram perut nyeri perut bawah karena kontraksi rahim kuat, akibat
kontraksi uterus terjadi pembukaan, belum terjadi eksplusi hasil konsepsi.
h. Abortus
Inkomplit, perdarahan pada kehamilan muda dimana sebagian dari hasil konsepsi
telah keluar dari kavum uteri melalui kanalis serviks yang tertinggal pada
desidua atau plasenta ditandai perdarahan sedang, hingga masih/banyak dan
setelah terjadi abortus dengan pengeluaran jaringan perdarahan berlangsung
terus, serviks terbuka, karena masih ada benda di dalam uterus yang dianggap
orpus alliem maka uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan
kontraksi tetapi kalau keadaan ini dibiarkan lama, serviks akan menutup
kembali; uterus sesuai usia kehamilan; kram atau nyeri perut bagian bawah dan
terasa mules-mules, ekspulsi sebagai hasil konsepsi.
i.
Abortus Komplit, yakni perdarahan pada
kehamilan muda dimana seluruh dari hasil konsep telah dikeluarkan dari kavum
uteri, ditandai dengan perdarahan bercak hingga sedang, serviks
tertutup/terbuka, uterus lebih kecil dari usia gestasi, sedikit atau tanpa
nyeri oerut bawah dari riwayyat hasil konsepsi, pada abortus konplit perdarahan
segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10
hari perdarahan berhenti sama sekali, karena dalam masa ini luka rahim telah
sembuh dan epitelisasi telah selesai. Dan jika dalam 10 hari setelah abortus
masih ada perdahan juga, maka abortus inkomplit atau edometrosis post partum
harus dipikirkan.
j.
Missed Abortus, Perdarahan pada
kehamilan muda, disertai retensi konsepsi yang telah mati, hingga 8 minggu
lebih,dengan gejala dijumpai amenore, perdarahan sedikit yang berulang pada
permulaanya serta selama observasi fundus tidak bertambah tinggi malahan tambah
rendah, kalau tadinya ada gejala kehamilan belakangan menghilang, diiringi
dengan reaksi yang menjadi negatif pada 2-3 minggu sesudah fetus mati,
servikstertutuup dan ada darah sedikit, sekali-kali pasien merasa perutnya
dingin atau kosong.
k. Abortus
Hubitualis, atau keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih. Menurut HERIG abortus
spontan terjadi dalam 10% dari kehamilan dan abortus habitualis 3,6-9,8% dari
abortus spontan.
l.
Kalau seseorang penderita telah
mengalami 2 kali abortus berturut-turut maka optimisme untuk kehamilan
berikutnya berjalan normal adalah 65%. Kalau abortus 3 kali berturut-turut,
maka kemungkinan ke 4 berjalan normal sekitar 16%.
4. Faktor
Risiko
a. Faktor
Genetik
b. Kelainan
kongenital uterus
c. Penyebab
infeksi
d. Faktor
Hematologik
e. Faktor
Lingkungan
f. Faktor
Hormonal
5. Komplikasi
Terhadap Ibu dan Janin
Komlikasi yang
berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi, dan syok.
6. Penatalaksanaan
Bidan
a. Lakukan
penilaian secara cepat mengenai keadaan umum pasien, termasuk tanda-tanda
vital.
b. Periksa
tanda-tanda syok (pucat, berkeringat banyak, pingsan, tekanan sistolik kurang
dari 90 mmHg, nadi cepat lebih dari 112 kali/menit)
c. Jika
dicurigai terjadi syok, segera mulai penanganan syok. Jika tidka terlihat
tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong melakukan
evaluasi mengenai kondisi wanita karena kondisinya dapt memburuk dengan cepat.
Jika terjadi syok, sangat penting untuk memulai penanganan syok dengan segera.
d. Jika
pasien dengan keadaan syok pikiran kemungkinan kehamilan ektopik terganggu
e. Pasang
infus dengan jarum besar (16 G atau lebih besar), berikan larutan garam
fisiologik atau ringer lakatat dengan tetesan cepat (500 ml dalam 2 jam
pertama). Kemudian setelah diketahui abortus apa yang terjadi lakukan
penanganan spesifik sesuai abortus yang terjadi.
B. Molahidatidosa
1. Definisi
Mola
Hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana seluruh villi korialisnya mengalami
perubahan hidrofobik Mola hidatidosa merupakan kehamilan yang dihubungkan
dengan edema vesikular dari vili korialis plasenta dan biasanya tidak disertai
fetus yang intak. Secara histologis terdapat proliferasi trofoblast dengan
berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan,
membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah.
2. Patofisiologis
Ada beberapa teori yang menerangkan patogenesis
dari penyakit trofoblas:
a. Teori
Missed abortion
Mudigah mati pada
kehamilan 3-5 minggu (missed abortion), karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga
terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari vili dan akhirnya
terbentuk gelembunggelembung.
b. Teori
neoplasma dari Park
Dikatakan yang abnormal
adalah sel- sel trofoblas, yang mempunyai fungsi abnormal pula, dimana terjadi reabsorbsi cairan
yang berlebihan ke-dalam vili sehingga
timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan
kematian mudigah. Mola hidatidosa komplit berasal dari genom maternal (genotype 46XX lebih sering) dan 46 XY jarang, tapi 46XXnya berasal dari replikasi haploid sperma dan tanpa kromosom dari ovum. Mola parsial
mempunyai 69 kromosom terdiri dari
kromosom 2 haploid paternal dan 1 haploid maternal (tripoid, 69XX atau 69XY dari 1 haploid ovum dan lainnya reduplikasi paternal dari 1 sperma atau fertilisasi
disperma).
3. Tanda
dan Gejala
Pada
permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan biasa, yaitu enek, muntah, pusing
dan lain-lain, hanya satu derajat
keluhannya sering lebih
hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga biasanya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan. Perdarahan
merupakan gejala utama mola, biasanya keluhan perdarahan inilah yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini
biasanya terjadi pada bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat
perdarahan biasa intermitten, sedikit-sedikit,
atau sekaligus banyak, sehingga menyebabkan syok dan kematian. Karena
perdarahan ini maka umumnya pasien mola masuk dengan keadaan anemi.
Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada wanita dengan amenorea,
perdarahan pervaginaan
atau keluarnya “vesikel” mola dari vagina, uterus yang
lebih besar dari usia kehamilan dan tidak ditemukannya
tanda kehamilan pasti,
seperti tidak terabanya
bagian-bagian janin juga gerakan janin
dan ballotemen serta tidak terdengarnya
bunyi jantung janin. Untuk memperkuat
diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human Chorionic Gonadotropin
(HCG) dalam darah atau urine. Peninggian HCG terutama setelah hari ke 100, biopsy transplasental. Bila belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan dengan sondase uterus yang diputar Diagnosis
pasti dari mola hidatidosa biasanya dapat dibuat dengan ultrasonografi dengan
menunjukkan gambaran yang khas berupa “vesikel-vesikel” (gelembung
mola) dalam kavum uteri atau “badai
salju” (snow
flake pattern). Secara
singkat gambaran diagnostic klinik mola
hidatidosa adalah:
a. Pengeluaran darah yang terus menerus atau intermitten yang terjadi pada kehamilan kurang lebih 12
minggu.
b. pembesaran
uterus yang tidak sesuai dengan usia
kehamilan.
c. pada
palpasi tidak teraba bagian janin dan
denyut jantung janin tidak terdengar
d. gambaran
ultrasonografi yang khas.
e. kadar HCG yang tinggi setelah hari ke 100.
f.
preeklampsia-eklampsia yang terjadi
sebelum minggu ke-24
4. Faktor
Risiko
Faktor
risiko terjadinya mola yaitu wanita pada remaja awal atau usia
perimenopausal amat sangat beresiko. Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun
memiliki resiko 2 kali lipat. Wanita usia lebih dari 40 tahun memiliki resiko 7
kali dibanding wanita yang lebih muda hal ini dikaitkan dengan kualitas sel
telur yang kurang baik pada wanita usia ini.. Paritas tidak mempengaruhi faktor
risiko ini. Risiko lainnya yaitu riwayat keguguran 2 kali atau lebih,
riwayat kehamilan mola sebelumnya juga dapat meningkatkan kejadian mola hingga
lebih dari 10 kali lipat. Secara epidemiologi mola komplit dapat meningkat bila
wanita kekurangan carotene dan defisiensi vitamin A. Sedangkan mola parsialis
lebih sering tejadi pada wanita dengan tingkat pendidikan tinggi, menstruasi
yang tidak teratur dan wanita perokok. Usia kurang 20 tahun. Gizi buruk.
5. Komplikasi
Terhadap Ibu dan Janin
·
Perdarahan hebat
·
Syok
·
Infeksi
·
Perforasi uterus
·
Keganasan (PTG)
6. Penatalaksanaan
Bidan
Terapi mola terdiri
dari 4 tahap yaitu:
1) perbaiki keadaan
umum; 2) pengeluaran jaringan mola; 3)
terapi profilaksis dengan sitostatika;
4) pemeriksaan tindak lanjut
(follow up).
a. Perbaikan
keadaan umum. Yang dimaksud usaha ini yaitu koreksi dehidrasi, transfuse darah bila anemia (Hb 8
gr%), jika ada gejala preeklampsia dan hiperemis gravidarum diobati
sesuai dengan protocol penanganannya. Sedangkan bila ada gejala tirotoksikosis
di konsul ke bagian penyakit dalam.
b. Pengeluaran
jaringan mola. Ada 2 cara yaitu: a) kuretase; b) Histerektomi.
1) Kuretase.
Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan
selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar β-hCG, serta foto thoraks) kecuali bila jaringan mola
sudah keluar spontan. Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian. Sebelum kuretase terlebih
dahulu disiapkan darah dan pemasangan
infus dengan tetesan oxytocin 10
UI dalam 500 cc Dextrose 5%/. Kuretase dilakukan sebanyak 2 kali dengan
interval minimal 1 minggu. Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium PA.
2) Histerektomi:
tindakan ini dilaku-kan pada wanita yang
telah cukup (> 35 tahun) dan mempunyai anak hidup (>3 orang).
c. Terapi
profilaksis dengan sitostatika Pemberian kemoterapi repofilaksis pada pasien
pasca evaluasi mola hidatidosa masih menjadi kontroversi. Beberapa
hasil penelitian menyebutkan
bahwa kemungkinan terjadi neoplasma setelah
evaluasi mola pada kasus yang mendapatkan metotreksat sekitar 14%,
sedangkan yang tidak mendapat sekitar
47%. Pada umumnya profilaksis kemoterapi
pada kasus mola hidatidosa
ditinggalkan dengan pertimbangan efek samping dan pemberian kemoterai untuk tujuan trapi definitive memberi-kan keberhasilan hampir 100%. Sehingga pemberian profilaksis
diberikan apabila. apabila dipandang
perlu pilihan profilaksis kemoterapi
adalah: Metotreksat 20 mg/ hari IM
selama 5 hari
7. Penatalaksanaan
Lanjutan
·
Lama pengawasan berkisar satu sampai dua
tahun
·
setelah pengawasan penderita dianjurkan
memakai kontrasepsi kondom, pil
kombinasi atau diafragma dan pemeriksaan
fisik dilakukan setiap kali pada saat
penderita datang kontrol
·
Pemeriksaan kadar β-hCG dilakukan setiap minggu sampai ditemukan kadar β-hCG
normal tiga kali berturut-turut
·
Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan sampai kadar β-hCG
normal selama 6 kali berturut-turut
·
Bila terjadi remisi spontan (kadar
β-hCG, pemeriksaan fisis, dan foto thoraks setelah saru tahun semua-nya normal)
maka penderita tersebut dapat berhenti
menggunakan kontrasepsi dan hamil
lagi.
·
Bila selama masa observasi kadar β-hCG
tetap atau bahkan meningkat taua pada pemeriksaan klinis, foto thoraks
ditemukan adanya metastase maka penderita harus dievaluasi dan dimulai
pemberian kemoterapi.
C. KET
(Kehamilan Ektopik)
1. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang berkembang diluar
rahim, biasanya didalam tuba falopi. Situasi ini membahayakan nyawa karena
dapat menyebabkan pecahnya tuba falopi jika kehamilan berkembang.
Suatu kehamilan disebut
kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di lokasi-lokasi selain cavum uteri,
seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen. Istilah kehamilan
ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan pada
kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan
penurunan keadaan umum pasien.
2. Patofisiologis
Proses
implantasi ovum di tuba pada adasarnya sama dengan yang terjadi di kavum uteri.
Telur di tuba bernidasi secara kolumnar atau interkolumnar. Pada nidasi secara
kolumnar telur bernidasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan
telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati
secara dini dan direabsorsi. Pada nidasi interkolumnar, telur bernidasi antar
dua jonjot endosalping.
Setelah
tempat nidasi tertutup maka ovum dipisahkan dari lumen oleh lapisan jaringan
yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan
desidua di tuba malahan kadang-kadang sulit dilihat vili khorealis menembus
endosalping dan masuk kedalam otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan
pembuluh darah. Perkembangan janin ipovolemi, pembesaran uterus, tumor dalam
rongga panggul, perubahaan darah.selanjutnya tergantung dari beberapa faktor,
yaitu tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.
3. Klasifikasi
Kehamilan
tuba, fertilisasi yakni penyatuan ovum dengan spermatozoa terjadi di ampulla
tuba. Dari sini ovum yang telah dibuahi digerakan ke kavum uteri dan ditempat
yang terakhir ini mgadakan implantasi di endometrium. Keadaan pada tuba yang
menghambat atau menghalangi gerakan ini, dapat menjadi sebab bahwa implantasi
terjadi pada endosalping. Selanjutnya, ada kemungkinan pula bahwa pada ovum
yangb dibuahi memberi predisposisi untuk implantasi diluar ovum uter. Akan
terjadi hal ini kiranya tidak terjadi banyak terjadi. (prrawirohardjo, sarwono
2005).
Kehamilan
Heterotipik. Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan
intrauterin. Kehamilan heterotipik ini snagat langka. Hingga satu dekade yang
lalu insidens kehamilan heterotipik adalah 1 dalam 30.000 kehamilan, namun
dikatakan bahwa insidennya sekarnag telah meningkat menjadi 1 dalam 7000 bahkan
1 dalam 900 kehamilan, berkat perkembangan teknik-teknik reproduksi.
Kehamilan
ovarial, kehamilan ovarial sangat jarang
terjadi. Diagnosis kehamilan tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriterium dari
spigelberg, yakni: a. Tuba sisi kehamilan harus normal, b. Kantonng janin
hharus berlokasi padaovarium, c. Ovarium dihubungkandengan uterus oleh
ligamentum ovarii proprium, d. Histopatologis ditemukan jaringan ovarium
didalam dinding kantong janin.
Kehamilan
servikal, kehamilan servikal pun snagat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi
dalamkanalis servikal, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan
muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri
eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu dan
biasanya diakhiri secara operatif oelh kkarena perdarahan.
Kehamilan
abdominal, enurut kepustakaan, kehamilan abdominal kjarang terjadi kira-kira 1
diantara 1.500 kehami;an. Kehamilan abdominal ada dua macam yaitu : a.
Kehamilan abdominal primer, terjadi bila telur dari awal megadkan implantasi
dalam rongga perut, b. Kehamilan abdominal sekunder, berasal dari kehamilan
tuba dan setelah rupture baru menjadi kehamilan abdominal (UNPAD,2005).
4. Tanda
dan Gejala
Pada
wanita yang mengalami KET gejala yang terlihaat menyerupai Appendiksitis dengan
gejala antara lain: nyeri perut bagian bawah, amenore, perdarahan pervaginam,
syok karena hipovolemi, pembesaran uterus, tumor dalam rongga panggul,
perubahan darah.
Gejala-gejala
ektopik beraneka ragam, sehingga pembuatan diagnosi kadang-kadang menimbulkan
kesulitan, yang penting dalam pembuatan diagnosis kehamilan ektopik ialah supaya
pada pemeriksaan penderita selalu waspada terhadap kemungkinan kehamilan ini.
Agar
gejala yang muncul pasti karena KET harus didukung oleh hasil pemeriksaan untuk
membantu diagnosis: tes kehamilan, laparoskopi, Ultrasonografi (USG),
Kuldosentesis, diagnosis diferensial (Diagnosa banding) yang harus diwaspadai
adalah infeksi pelvis, Abortus Imminens atau insipiens, Torsi kista ovarium,
Appendistis, Ruptur korpus luteum.
Nyeri
yang terlokalisasi/nyeri abdomen. Amenore, perdarahan vagina atau spotting.
Nteri ahu, distensi abdomen, mual, muntah, pusing, pingsan, apireksia.
5. Faktor
Risiko
a. Kehamilan
kektpik sebelumnya
b. Pembedahan
sebelumnya terhadap tuba uterina
c. Pajanan
terhadap dietilstilbestroldalam uterus
d. Abnormalitas
kongenital pada tuba
e. Infeksi
sebelumnya, termasuk klamidia, gonorea,dan penyakit inflamasi pelvis
f. Penggunaan
alat kontrasepsi dalam rahim
g. Teknik
reproduktif bantuan
6. Komplikasi
Terhadap Ibu dan Janin
7. Penatalaksanaan
Bidan
Penanganan
kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam tindakan demikian,
beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan kondisi penderita pada saat
itu, keinginan penderita akan fungsi
reproduksinya,lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomik rongga pelvis,
kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi
fertilisasi invirto setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu
dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan
konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba.
Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik
dilakukan salpingektomia.
8. Penatalaksanaan
Lanjutan
D. Persiapan
Praktikum Kuretase
1.
Pengertian Kuretase
Kuratase adalah cara membersihkan hasil konsepsi memakai alat
kuratase (sendok kerokan). Sebelum melakukan kuratase, penolong harus melakukan
pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan besarnya
uterus gunanya untuk mencegah terjadinya bahaya kecelakaan misalnya perforasi
(Harnawatiaj, 2008).
2. Tujuan Kuretase
a. Kuret
sebagai diagnostik suatu penyakit rahim
Yaitu
mengambil sedikit jaringan lapis lendir rahim, sehingga dapat diketahui
penyebab dari perdarahan abnormal yang terjadi misalnya perdarahan pervaginam
yang tidak teratur, perdarahan hebat, kecurigaan akan kanker endometriosis atau
kanker rahim, pemeriksaan kesuburan/ infertilitas.
b. Kuret sebagai terapi
Yaitu
bertujuan menghentikan perdarahan yang terjadi pada keguguran kehamilan dengan
cara mengeluarkan hasil kehamilan yang telah gagal berkembang, menghentikan
perdarahan akibat mioma dan polip dengan cara mengambil mioma dan polip dari
dalam rongga rahim, menghentikan perdarahan akibat gangguan hormon dengan cara
mengeluarkan lapisan dalam rahim misalnya kasus keguguran, tertinggalnya sisa
jaringan plasenta, atau sisa jaringan janin di dalam rahim setelah proses
persalinan, hamil anggur, menghilangkan polip rahim (Damayanti, 2008).
3. Persiapan Alat
Alat
tenun,
1) Baju operasi
2) Laken
3) Doek kecil
Alat
kuretase
1) Spekulum dua buah (Spekullum cocor bebek (1) dan SIM/L (2) ukuran S/M/L)
2) Sonde penduga uterus
a. Untuk mengukur kedalaman rahim
b. Untuk mengetahui lebarnya lubang vagina
3) Cunam muzeus atau cunam porsio
4) Berbagai ukuran busi (dilatator) Hegar
5) Bermacam-macam ukuran sendok kerokan (kuret 1 set)
6) Cunam tampon satu buah
7) Kain steril dan handscoon 2 pasang
8) Tenakulum 1 buah
9) kom
10) Lampu sorot
11) Larutan antiseptik
12) Tensimeter, stetoskop, sarung tangan DTT
13) Set infus, aboket, cairan infus
14) Kateter karet 1 buah
15) Spuit 3 cc dan 5 cc
16) Oksigen dan regulator (Yara, 2011).
4. Saat Kuretase
Sebelum
dilakukan kuretase, biasanya pasien akan diberikan obat anestes (dibius) secara
total dengan jangka waktu singkat, sekitar 2-3 jam. Setelah pasien terbius,
barulah proses kuretase dilakukan.Ketika melakukan kuret, ada 2 pilihan alat
bantu bagi dokter. Pertama, sendok kuret dan kanula/selang. Sendok kuret
biasanya dipilih oleh dokter untuk mengeluarkan janin yang usianya lebih dari 8
minggu karena pembersihannya bisa lebih maksimal. Sedangkan sendok kanula lebih
dipilih untuk mengeluarkan janin yang berusia di bawah 8 minggu, sisa plasenta,
atau kasus endometrium.
Alat kuretase
baik sendok maupun selang dimasukkan ke dalam rahim lewat vagina. Bila
menggunakan sendok, dinding rahim akan dikerok dengan cara melingkar searah
jarum jam sampai bersih. Langkah ini harus dilakukan dengan saksama supaya tak
ada sisa jaringan yang tertinggal. Bila sudah berbunyi “krok-krok” (beradunya
sendok kuret dengan otot rahim) menunjukkan kuret hampir selesai. Sedikit
berbeda dengan selang, bukan dikerok melainkan disedot secara melingkar searah
jarum jam. Umumnya kuret memakan waktu sekitar 10-15 menit (Fajar, 2007).
5. Teknik Kuretase
a.
Tentukan Letak Rahim
Yaitu
dengan melakukan pemeriksaan dalam. Alat – alat yang dipakai umumnya terbuat
dari metal dan biasanya melengkung karena itu memasukkan alat – alat ini harus
disesuaikan dengan letak rahim. Gunanya supaya jangan terjadi salah arah (fase
route) dan perforasi.
b.
Penduga Rahim
(sondage)
Masukkan
penduga rahim sesuai dengan letak rahim dan tentukan panjang ataudalamnya
penduga rahim. Caranya adalah, setelah ujung penduga rahim membentur fundus
uteri, telunjuk tangan kanan diletakkan atau dipindahkan pada portio dan
tariklah sonde keluar, lalu baca berapa cm dalamnya rahim.
b.
Dilatasi dan Kuretase
Setelah
pasien ditidurkan dalam letak litotomi dan dipersiapkan sebagaimana mestinya,
dilakukan pemeriksaan bimanual untuk sekali lagi menentukan besar dan letaknya
uterus serta ada atau tidaknya kelainan disamping uterus.
Sesudah
premedikasi diberikan, infus glukosa 5 % intravena
dengan 10 satuan oksitosin dipasang dan diteteskan perlahan-lahan untuk
menimbulkan kontraksi dinding uterus dan mengecilkan bahaya perforasi. Kemudian
anastesi umum, misalnya dengan penthotal sodium, diberikan. Setelah spekulum
vagina dipasang, satu atau dua serviks menjepit dinding depan porsio uteri.
Spekulum depan diangkat dan spekulum belakang dipegang oleh seorang pembantu.
Cunam dipegang dengan tangan kiri si penolong untuk mengadakan fiksasi pada
serviks uteri dan untuk dapat mengatur kekuatan untuk dapat memasukkan busi
Hegar melalui ostium uteri internum. Sonde uterus dimasukkan dengan hati-hati
untuk mengetahui letak dan panjangnya kavum uteri. Sesudah itu dilakukan
dilatasi kanalis servikalis dengan busi hegar dari nomer kecil hingga yang
secukupnya, tetapi tidak lebih dari busi nomer 12 pada seorang multipara.
Panjang busi yang dimasukkan tidak boleh melebihi panjang sonde uterus yang
dapat masuk sebelumnya. Dilatasi pada seorang primigravida lebih sulit dan mengandung lebih besar terjadinya luka pada serviks uteri,
sehingga lebih baik dilakukan pada kehamilan yang lebih muda dan diadakan
dilatasi yang sekecil-kecilnya.
Pada
kehamilan sampai 6 atau 7 minggu pengeluaran isi rahim dapat dilakukan dengan
kuret tajam. Harus diusahakan agar seluruh kavum uteri dikerok, agar ovum kecil
tidak terlewat, kerokan dilakukan secara sistematis menurut puteran jarum jam.
Apabila
kehamilan melebihi 6-7 minggu, digunakan kuret tumpul sebesar yang dapat
dimasukkan. Setelah hasil konsepsi untuk sebagian besar lepas dari dinding
uterus, maka hasil tersebut dapat dikeluarkan sebanyak mungkin dengan cunam
abortus, kemudian dilakukan kerokan hati-hati dengan kuret tajam yang cukup
besar. Apabila perlu, dimasukkan tampon kedalam kavum uteri dan vagina, yang
harus dikeluarkan esok harinya.
E.
Persiapan Praktikum Digital
Hal ini sering kita laksanakan pada keguguran bersisa.
Pembersihan secara
digital
hanya dapat dilakukan bila telah ada pembentukan serviks uteri yang dapat
dilalui
oleh satu janin longgar dan dalam kavum uteri cukup luas, karena manipulasi
ini
akan menimbulkan rasa nyeri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Abortus
didefinisikan sebagai keluarnya hasil konsepsi
sebelum mampu hidup diluar kandungan dengan berat badan kurang dari 1000
gr atau umur kehamilan kurang dari 28 minggu (Manuaba,1998: 214).
Mola
Hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana seluruh villi korialisnya mengalami
perubahan hidrofobik Mola hidatidosa merupakan kehamilan yang dihubungkan
dengan edema vesikular dari vili korialis plasenta dan biasanya tidak disertai
fetus yang intak. Secara histologis terdapat proliferasi trofoblast dengan
berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan,
membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang berkembang diluar
rahim, biasanya didalam tuba falopi. Situasi ini membahayakan nyawa karena
dapat menyebabkan pecahnya tuba falopi jika kehamilan berkembang.
Kuratase adalah cara membersihkan hasil konsepsi memakai alat
kuratase (sendok kerokan). Sebelum melakukan kuratase, penolong harus melakukan
pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan besarnya
uterus gunanya untuk mencegah terjadinya bahaya kecelakaan misalnya perforasi
(Harnawatiaj, 2008).
Hal ini sering kita laksanakan pada keguguran bersisa.
Pembersihan secara
digital
hanya dapat dilakukan bila telah ada pembentukan serviks uteri yang dapat
dilalui oleh satu janin longgar dan dalam
kavum uteri cukup luas, karena manipulasi ini akan menimbulkan rasa nyeri.
Daftar Pustaka
MMK,Ai yeyeh Rukiyah,S.Si.T.MMK,Lia
Yulianti,Am.keb.2010.Asuhan Kebidanan 4
(Patologi).Jakarta:Trans Info Media
Gunggingham,F.Gary.2012.Obstetri Williams edisi 23.Jakarta:EGC
Fraser,Diane M.Cooper,Margaret A.2009.Buku Ajar Bidan Myles.Jakarta:EGC