BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdarahan
pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang berbahaya.
Perdarahan pada kehamilan muda duisebut keguguran atau abortus, sedangkan pada
kehamilan tua disebut perdarahan antepartum. Batas teoritis anatara kehamilan
muda dan kehamilan tua ialah kehamilan 22 minggu, mengingat kemungkinan hidup
janin di luar uterus.
Plasenta
previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada usia di atas
30 tahun. Juga lebih sering terjadi pada kehamilan ganda daripada kehamilan
tunggal. Uterus bercatat ikut mempertinggi angka kejadiannya. Pada beberapa
Rumah sakit umum pemerintah dilaporkan insidennya berkisar 1,7% sampai dengan
2,9%. Dinegara maju insidennya lebih rendah yaitu kurang dari 1% mungkin disebabkan
berkurangnya perempuan hamil paritas tinggi. Dengan meluasnya penggunaan
ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih dini, insiden
plasentsa previa bisa lebih tinggi (Buku Sarwono).
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
tentang perdarahan anteparum?
2. Bagaimana
tentang kelainan lamanya kehamilan?
C.
Tujuan
1. Mengerti
dan memahami tentang perdarahan antepartum.
2. Mengerti
dan memahami tentang kelainan lamanya kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Perdarahan
Antepartum
1.
Solusio
Plasenta
a)
Definisi
Solusio
plasenta merupakan terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri
yang terlepasa dari perlekatannya sebelum janin lahir. Kejadian ini sering
terjadi dalam kehamilan triwulan ketiga dan bisa juga pada setiap saat dalam
kehamilan >22 minggu dengan berat janin > 500 gram disertai dengan
pembekuan darah (Buku Askeb 4 patologi Kebidanan 2010).
Solusio
plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasi yang normal pada
uterus sebelum janin dilahirkan. Yang terjadi pada kehamilan 22 minggu atau
berat janin diatas 500 gr (Rustan 2002).
Solusio
plasneta adalah pelepasan plasenta sebelum waktunya plasenta itu secara
terlepas anak lahir jadi plasenta terlepas sebelum dan lahirnya kalau terlepas
sebelum anak lahir.
Jadi
definisi yang lengkap ialah solusio plasenta adalah sebagian atau seluruh
plasenta yang normal implantasinya antara minggu 22 dan lahirnya anak (menurut
buku obstetric patologi 2002).
Solusio
plasenta adalah terlepsanya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta
dari tempat implantasinya yang nomral pada lapisan desidua endometrium sebelum
waktunya yakni sebelum anak lahir (Buku Sarwono).
Solutio
plasenta adalah pelepasan sebagian atau seluruh plasenta yang normal
implantasinya antara minggu 22 dan lahirnya bayi (Buku Obstetri Patologi: 120).
b)
Etiologi
Solusio
plasenta hingga kini belum diketahui dengan jelas, walaupun beberapa keadaan
tertentu dapat menyertai seperti; umur ibu yang tua (>35 tahun), karena
kekuatan rahim ibu berkurang pada multiparitas; penyakit hipertensi menahun
karena peredaran darah ibu terganggu sehingga suplay darah kejanin tidak ada,
trauma abdomen, seperti terjatuh telengkub, tendangan anak yang sedang
digendong. Karena pengecilan yang tiba-tiba pada hidramnion dan gemeli, tali
pusat pendek, karena pergerakan janin yang banyak atau bebas, setelah versi
luar sehingga terlepasnya plasenta karena tarikan tali.
c)
Patofisologis
Perdarahan
dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk hematoma
pada desidua, sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas. Apabila
perdarahan sedikit, hematoma yang kecil itu hanya akan mendesak jaringan
plasenta, perdarahan antara uterus dan plasenta belum terganggu, dan tanda
serta gejalapun tidak jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir,
yang ada pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan
bekuan darah yang berwarna kehitam-hitaman.
Biasanya
perdarahan akan berlangsung terus-menerus karena otot uterus yang telah
meregang oleh kehamilan itu tidak mampu untuk lebih berkontraksi mengehentikan
perdarahannya. Akibatnya, hematoma retroplasenter akan bertambah besar,
sehingga sebagian dan seluruh plasenta lepas dari dinding uterus. Sebagian
darah akan menyeludup dibawah selaput ketuban keluar dari vagina atau menembus
selaput ketuban masuk kedalam kantong ketuban atau mengadakan ekstravasasi
diantara serabut-serabut otot uterus.
Apabila
ekstravasasinya berlangsung hebat, seluruh permukaan uterus akan berbecak biru
atau ungu. Hal ini disebut uterus Couvelaire (perut terasa sangat tegang dan
nyeri). Akibat kerusakan jaringan miometrium dan pembekuan retroplasenter, maka
banyak trombosit akan masuk kedalam peredaran darah ibu, sehingga terjadi
pembekuan intravaskuler dimana-mana, yang akan menghabiskan sebagian besar
persediaan fibrinogen. Akibatnya, terjadi hipofibrinogenemi yang menyebabkan
gangguan pembekuan darah tidak hany di uterus, akan tetapi juga pada alat-alat
tubuh lainnya.
d)
Jenis-jenis
Solusio Plasenta
Menurut
cara terlepasnya dibagi menjadi; solusio plasenta parsialis, dimana hanya
sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas dari tempat perlekatannya;
solusio plasenta totalis atau komplet, dimana plasenta terlepas seluruh dari
tempat perlekatannya.
Secara
klinis dibagi menjadi :
1) Solusio
plasenta ringan, yakni ruptur sinus marginalis atau terlepasnya sebagian kecil
plasenta yang tidak berdarah banyak, sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu
atau janinnya. Dengan gejala: perdarahan pervaginam yang berwarna
kehitam-hitaman dan sedikit sekali, perut terasa agak sakit terus menerus agak
tegang.
2) Solusio
plasenta sedang dalam hal ini plasenta telah lebih dari seperempatnya tetapi
belum samai dua pertiga luas permukaannya, ditandai : perdarahan pervaginam
yang berwarna kehitam-hitaman; perut mendadak sakit terus menerus dan tidak
lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam walaupun tampak sedikit
tetapi kemungkinan lebih banyak perdarahan didalam, didinding uterus teraba
terus menerus dan nyeri tekan sehingga bagian janin su99lit teraba, apabila
janin masih hidup bunyi jantung sukar terdengar dengan stetoskop biasa harus
dengan stetoskop ultrasonic.
3) Solusio
plasenta berat, plasenta lebih dari dua pertiga permukaannnya terjadinya sangat
tiba-tiba biasnya ibu masuk syok dan janinnya telah meninggal, gejalanya: ibu
telah masuk dalam keadaan syok dan kemungkinan janin telah meninggal, uterus
sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri, perdarahan pervaginam tampaknya
tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, perdarahan pervaginam mugkin belum sempat
terjadi besar kemungkinan telah terjadi kelainan pembekuan darah dan kelainan
ginjal.
e)
Tanda
dan Gejala
·
Perdarahan yang disertai nyeri, juga di
luar his.
·
Anemi dan syok : beratnya anemi dan syok sering tidak sesuai
dengan banyaknya darah yang keluar.
·
Rahim
keras seperti papan dan nyeri dipegang karena isi rahim bertambah dengan
darah yang berkumpul di belakang plasenta hingga rahim teregang (uterus en
bois).
·
Palpasi sukar karena rahim keras
·
Fundus ji99999999999999999999999999999999999999999uteri
makin lama makin naik
·
Bunyi jantung biasanya tidak ada
·
Pada toucher teraba ketuban yang tegang
terus menerus (karena isi rahim bertambah)
·
Sering ada proteinuria karena disertai
toxaemia.
f)
Komplikasi
terhadap Ibu dan Janin
Komplikasi yang terjadi
pada ibu maupun janin yang dikandungannya dengan kriteria:
1) Komplikasi
pada ibu yaitu perdarahan yang dapat menimbulkan variasi turunnya tekanan darah
sampai keadaan syok, perdarahan tidak sesuai keadaan penderita anemis sampai
syok, kesadaran bervariasi dari baik sampai koma.
2) Gangguan
pembekuan darah: masuknya trombosit kedalam sirkulasi darah menyebabkan
pembekuan darah intravaskular dan disertai hemolisis, terjadinya penurunan
fibrinogen sehingga hipofibrinogen dapat mengganggu pembekuan darah.
3) Oliguria
menyebabkan terjadinya sumbatan glomerulus ginjal dan dapat menimbulkan
produksi urin makin berkurang.
4) Perdarahan
postpartum: pada solusio plasenta sedang sampai berat terjadi infiltrasi darah
ke otot rahim, sehingga menggangu kontraksi dan menimbulkan perdarahan karena
atonia uteri; kegagalan pembekuan darah menambah beratnya perdarahan.
5) Sementara
komplikasi yang terjadi pada jnin anatar lain: Asfiksia ringan sampai berat dan
kematian janin, karena perdarahan yang tertimbun dibelakang plasenta yang
mengganggu sirkulasi dan nutrisi kearah janin. Rintangan kejadian asfiksia
sampai kematian janin dalam rahim tergantung pada seberapa bagian plasenta
telah lepas dari implantasinya di fundus uteri.
g)
Penatalaksanaan
Bidan
1) Anamnesis,
yakni ibu mengeluh terjadi perdarahan disertai sakit yang tiba-tiba diperut
untuk menentukan tempat terlepasnya plasenta. Perdarahan pervaginam dengan
serupa darah segar dan bekuan-bekuan darah. Pergerakan anak mulai hebat
kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (tidak bergerak lagi). Kepala
terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang, ibu kelihatan
anemis tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar. Kadang-kadang ibu dapat
menceritakan trauma.
2) Periksa
pandang (inspeksi): pasien tampak gelisah, pasien terlihat pucat, sianosis dan
keringat dingin, terlihat darah keluar pervaginam.
3) Pada
saat palpasi, didapatkan hasil fundus teraba naik karena terbentuknya
retroplasenta hematoma, uterus tidak sesuai dengan kehamilan; uterus teraba
tegang dan keras seperti papan disebut uterus in bois (wooden uterus baik waktu
his maupun diluar his); nyeri tekan terutama ditempat plasenta; bagian-bagian
janin sudah dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4) Auskultrasi
sulit, karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya
diatas 140x/menit, kemudian turun dibawah 100x/menit dan akhirnya hilang bila
plasenta yang terlepas dari sepertiganya.
5) Pada
pemeriksaan dalam serviks biasanya lebih terbuka atau masih tertutup. Kalau
serviks sudah terbuka, maka ketuban dapat terbab menonjol dan tegang, baik
waktu his maupun diluar his, kalau ketuban sudah pecah dan plasenta sudah
terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun kebawah dan pemeriksaan disebut
prolapsus plasenta.
6) Hasil
pemeriksaan umun: tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya
menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh syok,
nadi cepat dan kecil filiformis.
7) Pemeriksaan
laboratorium: urin (protein -) dan reduksi (-); albumin (-) pada pemeriksaan
sedimen terdapat silinder dan lekosit; darah : Hemoglobin (Hb) anemi,
pemeriksaan golongan darah, kalau bisa cross match test.
8) Pemeriksaan
plasneta sesudah bayi dan plasenta lahir, maka kita hrus memeriksa plasentanya.
Biasanya plasenta tampak tipis dan cekung dibagian plasenta yang terlepas
(krater) dan terdapat koagulan atau darah dibelakang plasenta yang disebut
hematoma retroplasenter.
9) Pemeriksaan
penunjang: (USG), akan dijumpai perdarahan antara plasenta dan dinding abdomen.
h)
Penatalaksanaan
Lanjut
Penanganan pada pasien
yang mengalami solusio plasenta tergantung dari berat ringannya kejadian,
dibawah ini akan dijelaskan antara lain:
1) Pada
kondisi solusio plasenta ringan, jika keadaan janin masih baik dapat dilakukan
penanganan secara konservatif kemudian menganjurkan ibu untuk melakukan posisi
semi fowler atau setengah duduk, mengobservasi tanda-tanda vital tiap 15 menit,
memantau bunyi jantung janin.
2) Inspeksi
tempat perdarahan, menganjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan cardiotopograf
(CTG) untuk memonitor keadaan janin,
jika perdarahan berhenti dan keadaan janin baik pada kehamilan prematur,
menganjurkan ibu untuk di rawat inap,bila ada perbaikan (perdarahan berhenti,
kontraksi uterus tidak ada dan janin hidup) menganjurkan ibu melakukan
pemeriksaan USG dan KTG lalu tunggu persalinan spontan, bila ada perburukan
(perdarahan berlangsung terus-menerus dan uterus berkontraksi ini dapat
mengancam ibu dan janin). Usahakan partus pervaginam dengan amniotomi atau
oksitosin, bila pembukaan > 6 cm. Jika terus perdarahan, syok pelvic kurang
dari 5 atau persalinan masih lama, pembukaan < 6cm, maka segera lakukan
seksio ssaria.
3) Solusio
plasenta sedang , lakukan pemasangan infus RL 20 tetes/menit dan tranfuse
darah, melakukan pemecahan ketuban melakukan induksi persalinan atau dilakukan
seksio sesarea.
4) Solusio
plasenta berat: melakukan rujukan kerumah sakit, sebelumnya melakukan:
memperbaiki keadaan umum ibu, melakukan pemasangan infus RL 20 tetes/menit, tidak
diperbolehkan melakukan pemeriksaan dalam, saat merujuk harus diantar oleh
petugas kesehatan yang dapat pertolongan, mempersiapkan donor darah dari
masyarakat atau keluarganya.
2.
Plasenta
Previa
a)
Definisi
Plasenta
previa adalah plasenta ada didepan jalan lahir (prae= didepan; vias: jalan).
Jadi yang dimaksud adalah plasenta yang implantasinya tidak normal ialah rendah
sekali sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum. Implantasi
plasenta yang normal adalah pada dinding depan atau dinding belakang rahim
didaerah fundus uteri. (Winknjosastro, 1999).
Plasenta
prvia adalah plasenta yang berimplanuasi pada segmen bawah rahim demikian rupa
sehingga seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum ( Buku Sarwono)
Sejalan
dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen bawah rahim ke arah
proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim ikut
berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim seolah plasenta disebut
bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam
persalinan kala satu bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh
plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari plasenta
previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal amupun dalam masa
intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun pemeriksaan digital. Oleh karena
itu, pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuhan
antenatal ataupun intranatal (Buku Sarwono).
Plasenta
Previa adalah plasenta yang ada di depan jalan lahir (prae= didepan;
vias-jalan). Jadi yang dimaksud ialah plasenta yang implantasinya tidak normal
ialah rendah sekali hingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum (Buku
Obstetri Patologi:110).
b)
Tingkatan
plasenta previa
Plasenta
previa dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan tergantung dimana lokasi
penempelan plasenta berinsersi antara lain: plasenta previa totalis jika
seluruh ostium internum tertutup oleh plasenta; plasenta previa lateralis yakni
hanya sebagian dari ostium tertutup oleh plasenta; plasenta previa marganalis
jika hanya pada pinggir ostium terdapat jaringan plasenta.
Plasenta
previa marginalis pada pembukaan 2 cm dapat menjadi plasenta previa lateralis,
pada pembukaan 5 cm begitu pula plasenta previa totalis pada pembukaan 3 cm,
dapat menjadi lateralis pada pembukaan 6 cm. Maka penentuan macamnya plasenta
previa harus disertai dengan keterangan mengenai besarnya pembukaan misalnya
plasenta previa lateralis pada pembukaan 5 cm. (Winknjosastro, 1999).
Kejadian
plasenta previa lebih sering terdapat pada multi gravida dari pada
primigravida dari umur yang lanjut,
sebab dari plasenta previa terjadi kalau keadaan endometrium kurang baik
misalnya karena otrofi endometrium. Bisa juga plasenta previa disebabkan
implantasi telur yang rendah. Keadaan misalnya terdapat pada: multipara,
terutama kalau jarak antar kehanilan pendek, pada myoma uteri, Curretage yang
berulang-ulang.
Plasenta previa tipe 1.
Sebagian besar plasenta terletak di segmen atas uterus. Kelahiran pervagina
masih dapat dilakukan. Perdarhan biasanya ringan, serta ibu dan janin tetap
berada dalam kondisi yang baik. Plasenta
previa tip 2: sebagian plasenta terletak di uterus bagian bawah dekat
tulang serviks internal (plasenta previa marginal). Kelahiran pervagina dapat
dilakukan terutama jika plasenta berada dibagian anterior. Perdarahan yang
terjadi biasanya sedang meskipun kondisi ibu dan janin dapat bervariasi.
Hipoksia janin lebih sering terjadi daripada syok maternal. Plasenta previa tipe 3: plasenta
terletak di atas tulang serviks internal, tetapi bukan ditengah. Perdarahan
biasanya berat, terutama di akhir kehamilan ketika bagian bawah meregang dan
serviks mulai mengalami penipisan dan dilatasi. Kelahiran pervagina tidak dapat
dilakukan karena plasenta berada di depan janin. Plasenta previa tipe 4: plasenta terletak di bagian tengah di atas
tulang serviks internal dan dapat menyebabkan perdarhan hebat. Seksio sesaria
perlu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu dan janin. (Buku Myles).
c)
Etiologi
Perdarahan
tanpa alasan dan tapa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari
plasenta previa. Dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan
lebih melebar lagi dan serviks akan lebih membuka. Apabila plasenta tumbuh pada
segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi dan serviks akan lebih membuka.
Apabila lasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus
dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat disitu
tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus, pada saati itulah
mulailah terjadi perdarahan. Darahnya berwarna merah segar, berlainan dengan
darah yang disebabkan solusio plasenta yang berwarna kehitam-hitaman
(Winkjosastro, 1999).
Sumber
perdarahannya adalah sinus uterus yang terobek karena terepasnya plasenta dari
dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahan
tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus
untuk berkontraksi menghentikan perdarahan itu tidak sebagaimana serabut otot
uterus menghentikan perdarahan itu tidak sebagaimana serabut otot uterus
menghentikan perdarahan pada kala III dengan plasenta yang letaknya normal.
Makin rendah letak plasenta, makin dini perdarahan terjadi. Oleh karena itu,
perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi lebih dini dari pada
plasenta letak rendah yang mungkin baru berdarah setelah persalinan normal
(Sarwono 2005).
d)
Insiden
Plasenta
previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada usia di atas
30 tahun. Juga lebih sering terjadi pada kehamilan ganda daripada kehamilan
tunggal. Uterus bercatat ikut mempertinggi angka kejadiannya. Pada beberapa
Rumah sakit umum pemerintah dilaporkan insidennya berkisar 1,7% sampai dengan
2,9%. Dinegara maju insidennya lebih rendah yaitu kurang dari 1% mungkin disebabkan
berkurangnya perempuan hamil paritas tinggi. Dengan meluasnya penggunaan
ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih dini, insiden
plasentsa previa bisa lebih tinggi (Buku Sarwono).
e)
Patofisologis
Pada
usia kehamilan yang lanjut, umunya pada trimester ketiga dan mungkin juga lebih
awal, oleh karena mulai terbentuknya segmen bawah rahim, tampak plasenta akan
mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tampak plasenta terbentuk dari
jaringan maternal yaitu bagian decidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian
dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka
plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami laseasi
akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada waktu
serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilalation) ada bagian tapak
plasenta yang terlepas.
Pada
tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi
maternal yaitu ruangan intervillus dari plasenta. Oleh karana fenomena
pembentukan segemen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa betapapun
pasti akan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu relatif
dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak
mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat
minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup
dengan sempurna.
Perdarahan
akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai sinus
yang besar dari plasenta pada mana perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan
lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan berlangsung
progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan.
Demikian
perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah yang
keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (painless). Pada plasenta yang
menutupi seluruh ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan oleh karena segmen
bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah yaitu pada ostium uteri
internum. Sebaliknya pada plasenta previa parsialis atau letak rendah,
perdarahan pertama biasnya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada
perdarahan berikutnya. Untuk berjaga-jaga mencegah syok hal tersebut perlu
dipertimbangkan. Perdarahan pertama sudah bisa terjadi pada kehamilan dibawah
30 minggu tetpai lebih separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34 minggu ke
atas.
Berhubung
tempat perdarahan terletak dekat dengan
ostium uteri internum, maka perdarhan lebig mudah mengalir ke luar rahim dan
tidak membentuk hematoma retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas
dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian,
sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.
Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang tipis mudah
diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih
kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan plasenta
inkreta , bahkan plasenta prekreta yang pertumbuhan villinya bisa sampai
menembus ke buli-buli dan rektum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan
inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar.
Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh mudah robek oleh sebab karenanya
elemen otot yang terdapat disana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan
kejadian perdarhan pascapersalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala
tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna (retensio plasenta), atau
setelah uri lepas karena segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi dengan
baik. (Buku Sarwono).
f)
Tanda
dan Gejala
Gejala-gejala
dari plasenta previa perdarahan tanpa nyeri, sering terjadi pada malam hari
saat pembentukan segmen bawah rahim, bagian terendah masih tinggi di atas pintu
atas panggul (kelainan letak). Perdarahan dapat sedikit atau banyak sehingga
timbul gejala. Biasa perdarahan sebelum bulan ketujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus, perdarahan
pada plasenta previa disebabkan karena pergerakan antara plasenta dan dinding
rahim. Kepala anak sangat tinggi karena plasenta terletak pada kutub bawah rahim,
kepala tidak dapat mendekati pintu atas panggul, karena hal tersebut diatas,
juga ukuran panjang rahim berkurang maka plasenta previa lebih sering terdapat
kelainan letak (Winknjosastro, 1999).
Perdarahan
tanpa nyeri, perdarahan berulang-ulang sebelum partus, perdarahan keluar
banyak, bagian depan tinggi, bunyi jantung anak biasanya ada, teraba jaringan
plasenta, dan robekan selaput marginal (Buku Obstetri Patologi:121).
g)
Faktor
Risiko
Risiko
kejadian plasenta previa berhubungan dengan usia adalah: Usia 12-19 tahun, Usia
20-29 tahun, Usia 30-39 tahun, Usia diatas 40 tahun.
h)
Komplikasi
terhadap Ibu dan Janin
Bahaya
pada ibu dengan plasenta previa jika terjadi perdarahan yang hebat, infeksi
sepsis, emboli udara. Sementara bahaya untuk anak antara lain: Hypoksia,
perdarahan dan syok (Buku Obstetri Patologi:115).
i)
Penatalaksanaan
Bidan
1) Anamnesa
: perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa
nyeri, tanpa alasan, terutama pada mulitigravida. Perdarahan cenderung berulang
dengan volum yang lebih banyak dari sebelumnya. Perdarahan menimbulkan penyulit
pada ibu maupun janin dalam rahim.
2) Inspeksi
: dapat dilihat perdarahan yang keluar pervaginam, banyak, sedikit, atau darah
beku (stolsel), bila terjadi berdarah banyak maka ibu terlihat pucat atau
anemis.
3) Pemeriksaan
fisik : Tekanan darah, dan pernafasan dalam batas normal, nadi, daerah akral
menjadi dingin, tampak anemis.
4) Palpasi
abdomen : janin belum cukup bulan, tinggi fundus uteri sesuai dengan usia
kehamilan, bagian terendah janin masih tinggi karena plasenta berada disegmen
bawah rahim, bila cukup pengalaman bisa dirasakan suatu bantalan pada segmen
bawah rahim, terutama pada ibu yang kurus.
5) Pemeriksaan
denyut jantung janin; bervariasi dari normal sampai asfiksia dan kamtain dalam
rahim.
j)
Penatalaksanaan
Lanjut
Prinsip
dasar penanganan yaitu pada setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus
segera dikirim kerumah sakit yang memiliki fasilitas melakukan transfusi darah dan operasi.
1) Penanganan
pasif
Penanganan
pasif ini sangat sederhana, akan tetapi dalam kenyataannya, kalau dilakukan
secara konsekuen, menuntutu fasilitas sejak perdarahan pertama samapi
pemeriksaan menunjukkan tidak adanya plasenta previa atau saiap saat mpai
bersalin. Transfusi darah dan operasi harus dapat dilakukan setiap saat apabila
diperlukan. Anemia harus segera diatasi meningkat kemungkinan perdarahan
berikutnya, apabila penilaian baik, perdarahan sedikit, janin amsih hidup,
belum inpartu, kehamilan belum cukup 37 minggu, atau berat badan janin kurang
dari 2500 gr, maka kehamilan dapat dipertahankan dengan istirahat juga
pemberian obat-obatan seperti spasmilitika, progestin, atau progesterone,
observasi dengan teliti, periksa golongan darah,dan siapkan donor untuk
transfusi darah. Bila memungkinakan kehamilan dipertahankan hingga aterm
suapaya janin terhindar dari prematuritas (Winkjosastro, 1999).
2) Cara
persalinan
Faktor
yang menentukan sikap atau tindakan persalinan mana yang akan dipilih,
tergantung jenis plasenta previa, perdarahan banyak atau sedikit ttapi
berulang-ulang, keadaan umum ibu hamil, keadaan janin: hidup, gawat, dan
meninggal, pembukaan jalan lahir, paritas, fasilitas penolong dan RS.
Setelah
melihat faktor-faktor diatas ada 2 janis persalina untuk plasenta previa ini
yaitu : persalinan pervaginam dan persalinan perabdominal.
Pada
persalinan pervaginam ini dapat dilakukan dengan langkah:
·
Amniotomi, dengan indikasi: plasenta
previa lateralis atau marginalis (letak rendah), bila telah ada pembukaan 4 cm;
pada primigravida dengan plasenta lateralis atau marginalis (letak rendah)
denga pembukaan 4 cm atau lebih, pada multigravida dengan plasenta previa
merginalis (letak rendah), plasenta previa lateralis dan marginalis pada
pembukaan lebih dari 5 cm pada plasenta previa lateralis atau marginalis dengan
janin sudah meninggal.
·
Adapun keuntungan dari dilakukkannya
amniotomi ini adalah agar bagian terbawah janin yang berfungsi sebagai tampon akan menekan plasenta yang
berdarah, dan perdarahan yang akan berkurang atau berhenti, partus akan
berlangsung lebih cepat, bagian plasenta yang berdarah dapat bebas mengikuti
cincin, gerakan dan regangan segmen bawah rahim, sehingga tidak ada lagi
plasenta yang lepas.
·
Namun apbila amniotomi tidak berhasil
menghentikan perdarahan, maka dilakukan Cuman Willet Gausz dan Versi Brazton
Hicks yaitu dengan menembus plasenta.
·
Namun cara Cuman Willet dan versi Braxton
Hicks ini sudah ditinggalkan dalam dunia kebidanan modern, akan tetapi kedua
cara ini masih mempunyai tempat tertentu seperti dalam cara-cara ini masih
mempunyai tempat tertentu seperti dalam keadaan darurat sebagai pertolongan
pertama untk mengatasi perdarahan banyak atau apabila SC tidak mungkin
dilakukan di RS yang fasilitasnya terbatas.
·
Selain persalinan secara pervaginam
dapat juga dengan persalinan perabdominal secara SC (Secsio Caesarea).
Persalinan dengan SC ini dilakukan dengan indikasi, semua plasenta totalis,
janin hidup atau meninggal, semua plasenta lateralis posterior karena
perdarahan yang sulit dikontrol dan banyak, pada primigravida dengan plasenta
prevuia lateralis, juga dengan perdarahan banyak, dan cenderung berulang,
plasenta semuanya sengan panggul sempit, juga letak lintang.
·
Tujuan dilakukan SC ini , yaitu
mempercepat mengangkat dan menghentikan sumber perdarahan, dan agar dapat
memberikan kesempatan kepada uterus berkontraksi sehingga perdarahan dapat
berhenti dan untuk menghindarkan perlukaan serviks dan segmen bawah rahim yang
rapuh apabila dilakukan persalinan pervaginam.
·
Pengaruh plasenta previa terhadap janin
: gangguan aliran darah dalam tali pusat karena tertekan tali pusat; depresi
pernafasan karena obat-obatan anestesi/analgetik yang diberikan kepada ibu,
perdarahan untrakranial dan kelainan bawaan.
k)
Penanganan
pada Bayi Baru Lahir
Penanganan
pada bayi baru lahir pada prinsipnya: cegah pelepasan panas yang berlebihan,
keringkan (hangatkan) dengan menyelimuti seluruh tubuhnya terutama bagian
kepala dengan handuk yang kering, bebaskan jalan nafas, atur posisi isap lendir
dan bersihkan jalan napas bayi dengan hati-hati dan pstikan bahwa jalan napas
bayi bebas dari hal-hal yang dapat menghalangi masuknya udara kedalam
paru-paru.
Pembebasan
jalan napas dilakukan dengan cara : extensi kepala dan leher sedikit lebih
rendah dari tubuh bayi; hisap lendir/cairan pada mulut dan hidung bayi sehingga
jalan napas bersih dari cairan ketuban, mekonium/lendir dan darah menggunakan
penghisap lendir delee.
Rangsangan taktil dengan cara mengeringkan
tubuh bayi dan penghisap lendir/ cairan ketuban dari mulut dan hidung yang pada
dasarnya merupakan tindakan rangsangan belum cukup untuk menimbulkan pernapasan
yang adekuat pada bayi baru lahir dengan penyulit, maka diperlukan rangsangan
taktil tambahan. Selama melakukan rangsangan taktil, hendaknya jalan nafas
sudah dipastikan bersih. Waluupun prosedur ini cukup sederhana tetapi perlu
dilakukan dengan cara betul.
Ada
2 cara yang memadai dan cukup aman untuk memberikan rangsangan taktil yaitu :
(1). Menepuk atau menyentil telapak kaki dan menggosok punggung bayi. Cara ini
sering kali menimbulkan pernafasan pada bayi yang mengalami depresi pernafasan
yang ringan. (2) cara lain yang cukup aman adalah dilakukan penggosokkan pada
punggung bayi secara cepat, mengusap atau mengelus tubuh, tungkai dan kepala
bayi juga merupakan rangsangan taktil, tetapi rangsangan yang ditimbulkan lebih
ringan dari menepuk, menyentil atau menggosok. Prosedur ini tidak dilakukan
pada bayi-bayi dengan apne, hanya dilakukan pada bayi-bayi yang telah berusaha
bernafas. Elusan pada tubuh bayi, dapat membantu meningkatkan frekuensi dan
dalamnya penafasan (Saefudin B.A 2001).
3.
Rupture
Uteri
a)
Definisi
Rupture
Uteri adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah tejadi hubungan langsung
antar rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum viserale dan kantong
ketuban kedaunya ikut ruptur dengan demikian
janin sebagian atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh kontraksi
terakhir rahim dan berada dalam kavum peritoneum atau rongga abdomen. Pada
rupture uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi oleh
peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian janin belum masuk ke dalam
rongga peritoneum. Pada dehisens dari parut bekas bedah sesar kantomg ketuban
juga belum robek, tetapi jika kantong ketuban ikut robek maka disebut telah
terjadi rupture uteri pada parut.. dehisens terjadi perlahan, sedangkan rupture
uteri terjadi secara dramatis. Ketentuan ini berguna untuk mem76bedakan rupture
uteri inkompleta dengan dehisens yang sama-sama bisa terjadi pada bekas bedah
sesar. Pada dehisens perdarhan minimal atau tidak berdarah, tapi pada rupture
uteri perdarahannya banyak yang berasal dari pinggir parut atau robekan baru
yang meluas.
b)
Klasifikasi
Klasifikasi rupture
uteri menurut sebabnya adalah sebagai berikut:
·
Kerusakan atau anomali uterus yang telah
ada sebelum hamil:
-
Pembedahan pada miometrium: seksio
sesarea atau histerotomi, histerorafia, miomektomi yang sampai menembus seluruh
ketebalam otot uterus, reseksi pada kornua uterus atau bagian interstisial,
metroplasti.
-
Trauma uterus
koinsidential:instrumentasi sendok kuret atau sonde pada penanganan abortus,
trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru, ruptur tanpa gajala pada
kehamilan sebelumnya (silent rupture in previous pregnancy).
-
Kelainan bawaan: kehamilan dalam bagian
rahim (born) yang tidak berkembang.
·
Kerusakan atau anomali uterus yang
terjadi dalam kehamilan
-
Sebelum kelahiran anak: his spontan yang
kuat dan terus-menerus, pemakaian oksitosin atau prostaglandin untuk merangsang
persalinan, instilasi cairan ke dalam kantong gestasi atau ruang amnion seperti
larutan garam fisiologik atau prostaglandin, perforasi dengan kateter pengukur
tekanan intauterin, trauma luar tumpul atau tajam, versi luar, pembesaran rahim
yang berlebihan misalnya hidramnion dan kehamilan ganda.
-
Dalam priode intrapartum: versi
ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar, ekstraksi bokong, anomali janin yang
menyebabkan distensi berlebihan pada segmen bawah rahim, tekanan kuat pada
uterus dalam persalinan, kesulitan dalam melakukan manual plasenta.
-
Cacat rahim yang didapat: plasenta
inkreta atau perkreta, neoplaseia troboflas gestasional, adenomiosis,
retroversio uterus gravidus inkarserata.
c)
Patofisologis
Pada
waktu his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian,
dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume
korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya, tubuh janin yang menempati korpus
uteri terdorong ke bawah kedalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjdai
lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke
atas oleh kontrkasi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga
lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi.
Apabila
bagian terbawah janin dapat terdorong
turun tanpa halangan dan jika kapasitas segmen bawah rahim telah penuh terpakai
untuk ditempati oleh tubuh janin, maka pada gilirannya bagian terbawah janin
terdorong masuk kedalam jalan lahir melalui pintu atas panggul ke dalam vagina
melalui pembukaan jika serviks bisa mengalah. Sebaiknya, apabila bagian
terbawah janin tidak dapat turun oleh karena sesuatu sebab yang menahannya
(misalnya panggul sempit atau kepala janin besar) maka volume korpus yang
tambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi oleh peluasan segmen bawah
rahim ke atas.
Dengan
demikian, lingkaran retraksi fisiologik (Physiologic retraction ring) semakin
meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologik menjadi patologik (phatologic
retraction ring). Lingkaran patologik ini disebut lingkaran bandl (ring van
bandl). Ini terjadi karena segmen bawah rahim terus-menerus tertarik ke
proksimal, tetapi tertahan di bagian distalnya oleh serviks yang terpegang pada
tempatnya oleh ligamentum sakrouterina dibagian belakang, ligamentum kardinal
pada kedua belah sisi kanan dan kiri, dan ligamentum vesikouterina pada dasar
kandung kemih.
Jika
his berlangsung kuat terus-menerus, tetapi bagian terbawah tubuh janin tidak
kunjung turun lebih kebawah melalui jalan lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin
meninggi (ring val bandl berpindah mendekati pusat) dan segmen bawah rahim
semakin tertarik ke atas sembari dindingnya menjadi sangat tipis hanya beberapa
milimeter saja lagi. Ini menandakan telah terjadi tanda-tanda rupture uteri
iminens dan rahim terancam robek. Pada saatnya dinding segmen bawah rahim itu
akan robek spontan pada tempat yang tertipis ketika his berikut datang, dan
terjadilah perdarahan yang banyak bergantung kepada luas robekan yang terjadi
dan pembuluh darah yang terputus .
Umunya
robekan terjadi pada dinding depan segemen bawah rahim, luka robekan bisa
meluas secara melintang atau miring. Bila mengenail daerah yang ditutupi
ligamentum latum terjadi luka robekan yang meluas ke samping. Robekan bisa juga
meluas ke korpus atau serviks atau terus ke vagina ( (kolpaporeksis) dan bahkan
kadang kala bisa mencederai kandung kemih. Pertumpahan darah sebagian besar
mengalir ke dalam rongga peritoneum, sebagian yang lain mengalir melalui
pembukaan serviks ke vagina. Peristiwa robekan pada segmen bawah rahim yang
sudah menipis itu (dalam status rupture uteri iminens) dipercepat jika ada
manipulasi dari luar, misalnya dorongan pada perut sekalipun tidak terlalu kuat
sudah cukup untuk menyebabkan robekan.
Demikian
juga apabila fundus uteri didorong-dorong seperti yang banyak dilakukan pada
upaya mempercepat persalinan atau oleh dorongan dari bawah seperti pada
pemasangan cunam yang sulit dan sebagainya.oleh karena itu, jika terlihay
lingkaran Bandl penolong haruslah sangat berhati-hati, ketika terjadi robekan
pasien merasa amat nyeri seperti teriris sembilu dalam perutnya, dan his
terakhir yang masih kuat itu sekaligus mendorong sebagian atau seluruh tubuh
janin ke luar rongga rahim ke dalam rongga peritoneum. Melalui robekan tersebut
usus dan omentum mendapat jalan masuk sehingga bisa mencapai vagina dan bisa
diraba pada waktu periksa dalam.
Rupture
uteri yang tidak merobek perimetrium sering terjadi pada bagian rahim yang
longgar hubungannya dengan peritoneum yaitu pada bagian samping dan dekat kandung
kemih. Disini dinding serviks yang meregang karena ikut tertarik bisa ikut
robek. Robekan pada bagian samping bisa sampia melukai pembuluh-pembuluh darah
besar yang terdapat di dalam ligamentum latum. Jika robekan terjadi pada bagian
dasar ligamentum latum, arteria uterina atau cabang-cabangnya bisa terluka
disertai perdarahan yang banyak, dan di dalam parametrium di pihak yang robek
akan terbentuk hematoma yang besar dan menimbulkan syok yang sering berakibat
fatal.
Dari
sudut patofisiologi rupture uteri dapat ditinjau apakah terjadi di dalam masa
hamil atau dalam persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh atau rahim
yang bercacat dan sebagainya. Tinjauan ini mungkin berlebihan karena tidak
penting dari susut klinik tetapi mungkin ada gunanya dan aspek lain. Tinjauan
tersebut bisa mempengaruhi pilihan operasi, apakah akan dilakukan histerektomi
atau histerorafia. Dibawah diutarakan tinjauan tersebut menurut beberapa aspek.
d)
Tanda
dan Gejala
Terdapat
awitan mendadak distres pernapafsan meternal. Ibu mengalami dipsnea dan
sianosis berat. Terjadi hipotensi maternal dan hiportonus uterus. Hiportonus
uterus dapat mengakibatkan gangguan kondisi janin dan sebagai respons terhadap
hipoksia uterus. Henti jantung-paru kemudian terjadi denga cepat. Hanya dalam
hitungan menit, terjadi henti jantung-paru terdapat bukti bahwa banyak ibu yang
mengalami kejang sesaat sebelmu kolaps (Clark 1990).
Koagulopati
darah terjadi setelah kolaps, jika ibu bertahan hidup. Dari kasus yang telah
dikonfirmasi, mortalitas yang terjadi dalam 1 jam setelah awitan adalah 50%
(Cahtelain & Quirk 1990).
e)
Komplikasi
terhadap Ibu dan Janin
Syok
Hipovolemik terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristalois
yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan
transfusi darah yang segar. Darah segar mempunyai kelebihan selain menggantikan
darah yang hilang juga mengandung semua unsur atau faktor pembekuan dan karena
itu lebih bermanfaat demi mencegah dan mengatasi koagulopati dilusional akibat pemberian cairan kristaloid
yang umumnya banyak diperlukan untuk mangatasi atau mencegah gangguan
keseimbangan elektrolit antar kompartemen cairan dalam tubuh dalam menghadapi
syok hipovolemik.
Infeksi
berat umumnya terjadi pada pasein kiriman
dimana rupture uteri telah terjadi sebelum tiba dirumah sakit dan telah
mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam
keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang
sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi
sepsis pascabedah. Sayangnya hasil pemeriksaan kultur dan resistensi
bakteriologik dari sampel darah pasien baru diperoleh beberapa hari kemudian.
Antibiotika
spektrum luas dalam dosis tinggi bisanya diberikan untuk mangantisifasi
kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan sepsis merupakan sebab-sebab utama yang
meninggikan angka kematian maternal dalam obstetrik. Meskipun pasien bisa
diselamatkan, morbiditas dan kecacatan tetap tinggi. Histeroktomi merupakan
cacat permanen, yang pada kasus yang belum punya anak hidup meninggalkan sisa
trauma psikologis yang berat dan mendalam. Jalan keluar bagi kasus ini untuk
mendapatkan keturunan tinggal satu pilihan melalui assisted reproductive
technology termasuk pemanfaatan surrogate mother yang hanya mungkin dikerjakan
pada rumah sakit tertentu dengan biya tinggi dan dengan keberhasilan yang belum
sepenuhnya menjanjikan serta dilema etik. Kematian maternal dan/atau perinatal
yang menimpa sebuah keluarga merupakan komplikasi siaol yang sulit
mengatasinya.
B.
Kelainan
Lamanya Kehamilan
1.
Prematuritas
a)
Definisi
Partus
prematurus adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau
berat badan lahir antara 500-2499 gram (Obstetri Patologi:9).
Persalinan
prematur didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi sebelum kehamilan
berusia 37 minggu tanpa memperdulikan berat badan lahir (WHO 1967).
Persalinan
preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20-37 minggu
dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995).
Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI disemarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan
preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.
b)
Penyebab
utama untuk kelahiran kurang bulan
·
Pelahiran atas indikasi ibu atau janin
sehingga persalinan diinduksi atau bayi dilahirkan dengan pelahiran caesar
prapersalinan.
·
Persalinan kurang bulan spontan
takterjelaskan dengan selaput ketuban utuh.
·
Ketuban pecah dini preterm (PPROM)
idiopatik
·
Kelahiran kembar dan multijanin yang lebih
banyak.
(Buku Obstetri Williams
vol. 2 hal 853).
c)
Tanda
dan Gejala
·
Kontraksi yang berulang sedikitnya
setiap 7-8 menit sekali atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit.
·
Adanya nyeri pada punggung bawah (low
back pain)
·
Perdarahan bercak
·
Perasaan menekan daerah serviks
·
Pemeriksaan serviks menunjukkan telah
terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm, dan penipisan 50-80%
·
Presentasi janin rendah, sampai mencapai
spina isiadika
·
Selaput ketuban pecah dapat merupakan
tanda awal terjadinya persalinan preterm
·
Terjadi pada usia kehamilan 22-37
minggu.
d) Faktor Risiko
Beberapa
faktor akan menambah keadaan prematuritas antara lain: infeksi saluran
kemih,penyakit ibu seperti hipertensi dalam kehamilan, asma, penyakit jantung,
kecanduan obat, kolestatis, anemia, keadaan yang menyebabkan distensi uterus
berlebihan yaitu kehamilan multiple, hidramnion, diabetes, isoimunisasi Rh;
pedarahan antepartum, infeksi umum pada ibu, tindakan bedah selama kehamilan,
kehamilan dengan AKDR. (Obstetri Patologi:10).
Abortus
yang mengancam, perdarahan vagina pada awal kehamilan menyebabkan peningkatan
dampak buruk dikemudian hari. Faktor gaya hidup: merokok, pertambahan berat
badan ibu yang tidak adekuat, dan penggunaan narkoba berperan penting pada
insiden dan hasil akhir persalinan neonatus berberat badan lahir rendah. Faktor
maternal lainnya yang terlibat meliputi: usia ibu terlalu muda, terlalu tua,
kemiskinan, bertubuh pendek, kekurangan vitamin C, dan faktor pekerjaan seperti
berjalan atau berdiri lama, kondisi kerja yang berat, dan jam kerja mingguan
terlalu panjang (Casanueva,2005; Gielchinsky,2002; Kramer,1995; Lukas,1995;
Meis,1995; Satin dkk, 1994). Faktor psikologis seperti: Depresi, cemas, dan
stres kronik telah dilaporkan terkait dengan kelahiran kurang bulan
(Cooper,1996; Li,2008; Littleton;2007; Mercer,2002; dkk).
Perdarahan
trimester awal, perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta,),
ketubaan pecah dini (KPD), pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin,
kelahiran genad/gemeli, polihidramnion. Penyakit berat pada ibu, diabetes
mellitus, Preeklamsia/hipertensi, infeksi saluran kemih/genital/intrauterin,
penyakit infeksi dengan demam, stress psikologik, kelainan bentuk
uterus/serviks, riwayat persalinan preterm/abortus berulang, inkompetensi
servik (panjang servik kurang dari 1 cm), pemakaian obat narkotik, trauma,
perokok berat, kelianan imunologi/kelainan resus. (Buku Sarwono:670).
2.
Serotinus
a)
Definisi
Kehamilan
postmatur adalah kehamilan yang
berlangsung 42 minggu atau lebih. Istilah lainnya yaitu serotinus. Menentukan kehamilan
postmatur dengan menggunakan rumus Neagle dihitung dari HPHT dan berdasrakan
Taksiran persalinan (280 hari atau 40 minggu) dari HPHT. Pemeriksaan USG sangat
membantu taksiran umur kehamilan dan lebih akurat (Obstetri Patologi:12).
Definisi
kehamilan lebih bulan sebagai kehamilan yang berlangsung selama 42 minggu atau
lebih sejak awitan periode menstruasi, berasumsi bahwa ovulasi terjadi dua
minggu setelah menstruasi terakhir (Buku Obstetri Williams vol.2 hal 877).
Kehamilan
pstterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu, kehamilan
lewat bulan prolonged pregnancy, extended pregnancy, postdate/pos datisme atau
pascamaturitas adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu (294 hari)
atau lebih, dihitung dari pertama haid terakhir menurut rumus Naegele dengan
siklus haid rata-rata 28 hari (WHO 1997, FIGO 1986. Buku Sarwono:686).
b) Sebab
terjadinya kehamilan posterm
·
Pengaruh progesteron
Penurunan hormon
progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan kejadian perubahan endokrin
yang penting dalam memacu proses biomolekular pada persalinan dan meningkatkan
sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga beberapa penulis menduga bahwa
terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh
progesteron.
·
Teori Oksitosin
Pemakaian oksitosin
untuk induksi persalinan dan kehamilan posterm memberi kesan atau dipercaya
bahwa oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan
persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang
pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan postterm.
·
Teori Kortisol/ACTH janin
Dalam teori ini
diajukan bahwa sebagai “pemberi tanda” untuk dimulainya persalinan adalah
janin, diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin.
Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron
berkurang dan memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap
meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti
anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada
janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga
kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.
·
Saraf uterus
Tekanan pada ganglion
servikalis dari pleksus Frankenhauser akan membangkitkan kontraksi uterus. Pada
keadaan di mana tidak ada tekanan pada pleksus ini, seperti pada kelainan
letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masih tinggi kesemuanya diduga
sebagai penyebab kehamilan postterm.
·
Heriditer
Beberapa penulis
menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan posterm mempunyai
kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan berikutnya. Mogren
(1999) seperti dikutip Cunningham menyatakan bahwa bilamana seorang ibu
mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar
kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm
c) Tanda
dan Gejala
Kehamilan dapat
dinyatakan sebagai kehamilan posterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria
hasil pemeriksaan sebagai berikut:
·
Telah lewat 36 minggu sejal tes
kehamilan positif
·
Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama
terdengar dengan Doppler
·
Telah lewat 24 miggu sejak dirasakan
gerak janin pertama kali
·
Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya
DJJ pertama kali dengan stetoskop Laennec.
d) Komplikasi
terhadap Ibu dan Janin
·
Janin
-
Berat janin : bila terjadi perubahan
anatomik yang besar pada plasenta, maka terjadi penurunan berat janin. Dari
penelitian Vorherr tampak bahwa sesudah umur kehamilan 36 minggu grafik
rata-rata pertumbuhan janin mendatar dan tampak adanya penurunan sesudah 42
minggu. Namun, seringkali pula plasenta masih dapat berfungsi dengan baik
sehingga berat janin bertambah terus sesuai dengan bertambahnya umur kehamilan
-
Sindroma postmaturitas : dapat dikenali
pada neonatus dengan ditemukannya beberapa tanda seperti gangguan pertumbuhan,
dehidrasi, kulit kering, keriput seperti kertas (hilangnya lemak subkutan),
kuku tangan dan kaki panjang, tulang tengkorak lebih keras, hilangnya verniks
kaseosa dan lanugo, maserasi kulit terutama daerah lipat paha dan genital luar,
warna cokelat kehijauan atau kekuningan pada kulit dan tali pusat, muka tampak
menderita dan rambut kepala banyak atau tebal.
-
Gawat janin atau kematian perinatal.
·
Ibu
-
Morbiditas/mortalitas ibu: dapat
meningkat sebagai akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorang menjadi
lebih keras yang menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoordinate uterine
action, partus lama, meningkatkan tindakan obstetrik dan persalinan traumatis/
perdarahan postpartum akibat bayi besar.
-
Aspek emosi : ibu dan keluarga menjadi
cemas bilaman kehamilan terus berlangsung melewati taksiran persalinan.
Komentar tetangga atau teman seperti “belum lahir juga?” akan menambah frustasi
ibu.
3.
IUGR
a)
Definisi
IUGR
adalah berat badan bayi kurang dari persentil 10 untuk usia kehamilan bayi,
dalam ariti bayi baru lahir berukuran lebih kecil dengan usia kehamilannya.
b)
Penyebab
IUGR
·
Hipertensi dalam kehamilan
·
Gemeli
·
Anomali janin/trisomi
·
Sindrom Antifosfolipid
·
SLE
·
Infeksi: Rubela, sifilis, CMV
·
Penyakit jantung
·
Asma
·
Gaya hidup: merokok, narkoba
·
Kekurangan gixi-ekonomi rendah
c)
Patofisologis
Pada
kelainan sirkulasi uteroplasenta akibat dari perkembangan plasenta yang
abnormal, pasokan oksigen, mauskan nutrisi, dan pngeluaran hasil metabolik
menjadi abnormal. Janin menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi pada trimester
akhir sehingga timbul IUGR yang asimetrik yang lingkar perut yang jauh lebih
kecil daripada lingkar kepala. Pada keadaan yang parah mungkin akan terjadi
kerusakan tingkat seluler berupa kelainan nukleus dan mitokondria.
Pada
keadaan hipoksia, produksi radikal bebas di plasenta menjadi banyak dan
antioksidan yang relatif kurang (misalnya preeklamsia) akan menjadi lebih
parah, Sooothill dan kawan-kawan (1987) telah melakukan pemeriksaan gas darah
pada IUGR yang parah dan menemukan asidosis dan hiperkapnia, hipoglikemia, dan
eritroblastosis. Kematian pada jenis asimetrik lebih parah jika dibandingkan
dengan simetrik.
Penyebab
IUGR simetrik ialah faktor janin atau lingkungan uterus yang kronik (diabetes,
hipertensi). Faktor janin ialah kelainan genetik (aneuplodi), umumnya trisomi
21,13, dan 18. Secara keseluruhan IUGR ternyara hanya 20% saja yang asimetrik
pada penelitian terhadap 8.722 di Amerika. (Buku Sarwono:697).
d)
Tanda
dan Gejala
·
Taksiran berat janin yang tidak sesuai
dengan gestasi.
·
Secara klinik pemeriksaan tinggi fundus
umunya dalam sentimeter akan sesuai dengan usia kehamilan, bila lebih rendah
dari 3 cm, patut dicurigai IUGR
e)
Faktor
Risiko
·
Maternal/ibu seperti: tekanan darah
tinggi, penyakit ginjal, penyakit ginjal kronik, riwayat diabetes mellitus,
penyakit jantung da pernafasan, malnutrisi dan anemia, infeksi, pecandu
alkohol, obat-obat tertentu dan perokok.
·
Uterus dan plasenta: penurunan aliran
darah dari uterus ke plasenta, plasenta abruption, plasenta previa, infark
plasenta.
·
Faktor janin antara lain: janin kembar,
pnyakit infeksi, kelainan kongenital, kelainan kromosom, pajanan tertogen.
f)
Manifestasi
klinik
Bayi-bayi
lahir IUGR biasanya tampak kurus, pucat dan berkulit keriput, tali pusat
umumnya tampak rapuh dan layu dibandingkan pada bayi normal yang tampak tebal
dan kuat, Intra Uterin Growth Retardation (IUGR) muncul sebagai akibat dari
berhentinya pertumbuhan jaringan atau sel.
g)
Pencegahan
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah IUGR,
adalah sebagai berikut: usahakan hidup sehat, hindari stress selama kehamilan,
hindari mengkonsumsi obat-obatan yang tidak dianjurkan selama kehamilan,
olahraga teratur, hindari alkohol, rokok dan narkoba, periksakan kehamilan
secara rutin.
4.
IUFD
a)
Definisi
Intra
Uterine Fetal Death/kematian janin dalam rahim yaitu kematian yang terjadi saat
UK lebih dari 20 minggu dimana jain sudah mencapai ukuran 500 gr atau lebih
(Nasdaldy).
Menurut
WHO dan the American College of
Obstetricians and Gynecologists yang disebut kematian janin adalah janin
yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian
janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian jain merupakan
hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi (Buku
Sarwono:732).
b)
Etiologi
Penyebab
dari UIFD seringkali dipicu oleh : Ketidakcocokan rhesus darah ibu dan janin,
ketidak cocokan gol darah ibu dan janin, gerakannya janin penyakit pada ibu,
kelainan kromosom, trauma saat hamil, infeksi pada ibu, kelainan bawaan janin,
perdarahan antepartum, penyakit saluran kencing, penyakit endokrin, malnutrisi
dll.
Pada
25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian janin dapat
disebabkan oleh faktor maternal, fetal atau kelainan patologik plasenta.
·
Faktor maternal antara lain:
Postterm(>42 minggu), diabetes mellitus tidak terkontrol, sistemik lupus
eritematosus, infeksi, hipertensi, preeklamsia, eklamsia, hemoglobinopati, umur
ibu tua, penyakit rhesus, ruptura uteri, antifosfolipid sindrom, hipotensi akut
ibu, kematian ibu.
·
Faktor fetal antara lain : hamil kembar,
hamil tumbuh terlambat, kelainan kongenital, kelainan genetik, infeksi.
·
Faktor plasental antara lain: kelainan
tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, vasa previa.
·
Sedangkan gaktor risiko terjadinya
kematian janin intrauterin meningkat pada usia ibu >40 tahun, pada ibu
infertil, kemokonsentrasi pada ibu, riwayat bayi dengan berat badan lahir
rendah, infeksi ibu (ureplasma urealitikum), kegemukan, ayah berusia lanjut.
Untuk diagnosis pasti penyebab kematian
sebaiknya dilakukan otopsi janin dan pemeriksaan plasenta serta selaput.
Diperlukan evaluasi secara komprehensif untuk mencari penyebab kematian janin
termasuk analisis kromosom, kemungkinan terpapar infeksi untuk mengantisipasi kehamilan
selanjutnya.
Pengelolaan kehamilan selanjutnya
bergantung pada penyebab kematian janin. Meskipun kematian janin berulang
jarang terjadi, demi kesejahteraan keluarga, pada kehamilan berikut diperlukan
pengelolaan yang lebih ketat tentang kesejahteraan janin.
Pemantauan kesejahteraan janin dapat
dilakukan dengan anamnesis, ditanyakan aktivitas gerakan janin pada ibu hamil,
bila mencurigakan dapat dilakukan pemeriksaan kardiotokografi.
c)
Tanda
dan Gejala
Pada
anamnesis gerakan menghilang. Pada pemeriksaan pertumbuhan janin tidak ada,
yang terlihat tinggi fundus uterin menurun, berat badan ibu menurun, dan
lingkaran perut ibu mengecil. Dengan fetoskopi dan Doppler tidak dapat didengar
adanya bunyi jantung janin, dengan sarana penunjang diagnostik lain yaitu USG,
tampak gambaran janin tanpa kehidupan. dengan foto radiologik setelah 5 hari
tampak tulang kepala kolaps, tulang
kepala saling tumpang tindih, pemeriksaan HCG urin menjadi negatif setelah
beberapa hari kematian janin (Buku Sarwono:733).
d)
Faktor
Risiko
·
Faktor maternal antara lain:
Postterm(>42 minggu), diabetes mellitus tidak terkontrol, sistemik lupus
eritematosus, infeksi, hipertensi, preeklamsia, eklamsia, hemoglobinopati, umur
ibu tua, penyakit rhesus, ruptura uteri, antifosfolipid sindrom, hipotensi akut
ibu, kematian ibu.
·
Faktor fetal antara lain : hamil kembar,
hamil tumbuh terlambat, kelainan kongenital, kelainan genetik, infeksi.
·
Faktor plasental antara lain: kelainan
tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, vasa previa.
·
Sedangkan gaktor risiko terjadinya
kematian janin intrauterin meningkat pada usia ibu >40 tahun, pada ibu
infertil, kemokonsentrasi pada ibu, riwayat bayi dengan berat badan lahir
rendah, infeksi ibu (ureplasma urealitikum), kegemukan, ayah berusia lanjut.
e)
Komplikasi
terhadap Ibu dan Janin
Komplikasi
yang dapat terjadi ialah trauma psikis ibu ataupun keluarga, apalagi bila waktu
antara kematian janin dan persalinan berlangsung lama. Bila terjadi ketuban
pecah dapat terjadi infeksi. Terjadi koagulopati bila kematian janin lebih dari
2 minggu.
f)
Pengelolaan
Bila
didagnosis kematian janin telah ditegakkan, penderita segera diberi informasi.
Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana penatalaksanaanya. Rekomendasikan
untuk segera diintervensi.
Bila
didiagnosis kematian telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan tanda vital ibu,
dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, dan gula darah.
Diberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan penyebab kematian
jain, rencana tindakan, dukungan mental emosional pada penderita dan keluarga,
yakinkan bahwa kemungkinan lahir pervaginam.
Persalinan
pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu, umunya tanpa
komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan induksi persalinan
dengan oksitosin atau misoprostol. Tindakan perabdominal bila janin letak
lintang. Induksi persalinan dapat dikombinasi oksitosin+misoprostol. Hati-hati
pada induksi dengan uterus pascaseksio sesarea ataupun miomektomi, bahay
terjadinya ruptura uteri.
Pada
kematian janin 24-28 minggu dapat digunakan misoprostol secara vaginal
(50-100µg tiap 4-6 jam) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan di atas 28 minggu
dosis misoprostol 25 µg pervaginam/6 jam.
Setelah
bayi lahir dilakukan ritual keagamaan merawat mayat bayi bersama keluarga.
Idealnya pemeriksaan otopsi atau patologi plasenta akan membantu mengungkap
penyebab kematian janin. (Buku Sarwono:734).
g)
Pencegahan
Upaya mencegah
kematian janin, khususnya yang sudah atau mendekati aterm adalah bila ibu
merasa gerakan janin menurun, tidak bergerak, atau gerakan janin terlalu keras,
perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Perhatikan adanya solusio plasenta
pada gemelli dengan T+T (twin to twin transfusion). Pencegahan dilakukan dengan
koagulasi pembuluh anastomosis (Buku Sarwono: 734).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Solusio
plasenta merupakan terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri
yang terlepasa dari perlekatannya sebelum janin lahir. Kejadian ini sering
terjadi dalam kehamilan triwulan ketiga dan bisa juga pada setiap saat dalam
kehamilan >22 minggu dengan berat janin > 500 gram disertai dengan
pembekuan darah (Buku Askeb 4 patologi Kebidanan 2010).
Plasenta
prvia adalah plasenta yang berimplanuasi pada segmen bawah rahim demikian rupa
sehingga seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum ( Buku Sarwono).
Rupture
Uteri adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah tejadi hubungan langsung
antar rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum viserale dan kantong
ketuban kedaunya ikut ruptur dengan demikian
janin sebagian atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh kontraksi
terakhir rahim dan berada dalam kavum peritoneum atau rongga abdomen. Pada
rupture uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi oleh
peritoneum viserale.
Partus
prematurus adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau
berat badan lahir antara 500-2499 gram (Obstetri Patologi:9).
Definisi
kehamilan lebih bulan sebagai kehamilan yang berlangsung selama 42 minggu atau
lebih sejak awitan periode menstruasi, berasumsi bahwa ovulasi terjadi dua minggu
setelah menstruasi terakhir (Buku Obstetri Williams vol.2 hal 877).
IUGR
adalah berat badan bayi kurang dari persentil 10 untuk usia kehamilan bayi,
dalam ariti bayi baru lahir berukuran lebih kecil dengan usia kehamilannya.
Intra
Uterine Fetal Death/kematian janin dalam rahim yaitu kematian yang terjadi saat
UK lebih dari 20 minggu dimana jain sudah mencapai ukuran 500 gr atau lebih
(Nasdaldy).
Daftar Pustaka
MMK,Ai yeyeh Rukiyah,S.Si.T.MMK,Lia
Yulianti,Am.keb.2010.Asuhan Kebidanan 4
(Patologi).Jakarta:Trans Info Media
Gunggingham,F.Gary.2012.Obstetri Williams edisi 23.Jakarta:EGC
Fraser,Diane M.Cooper,Margaret A.2009.Buku Ajar Bidan Myles.Jakarta:EGC
Sarwono Prawirohardjo.2010.Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Buku Obstetri Patologi Unpad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar