Minggu, 06 April 2014

Hipertensi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau  kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal. Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal terjadi. Sedangkan pengertian eklampsia adalah apabila ditemukan kejang-kejang pada penderita pre-eklampsia, yang juga dapat disertai koma.  Pre-eklampsia adalah salah satu kasus gangguan kehamilan yang bisa menjadi penyebab kematian ibu. Kelainan ini terjadi selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas yang akan berdampak pada ibu dan bayi. Kasus pre-eklampsia dan eklampsia terjadi pada 6-8% wanita hamil di Indonesia (Ben-zion, 1994).
Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerapkali muncul selama kehamilan  dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3 %  kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat menyebabkan morbiditas/kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak, edema paru (cairan di dalam paru), gagal ginjal akut, dan penggumpalan/pengentalan darah di dalam pembuluh darah)  serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim, kematian janin di dalam rahim, solusio  plasenta/plasenta terlepas dari tempat Universitas Sumatera Utaramelekatnya di rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan sumber utama penyebab kematian pada ibu (Prawihardjo, 2009).
Angka Kematian Ibu (AKI) Berdasarkan data resmi Survei Demografi  Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, terus mengalami penurunan. Pada tahun  2004 yaitu 270 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2005 yaitu 262 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2006 yaitu 255 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2007 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut Profil Kesehatan Indonesia (2010), walaupun sudah terjadi penurunan AKI di Indonesia, namun angka tersebut masih menempatkan Indonesia pada peringkat 12 dari 18 negara ASEAN dan SEARO (South East Asia Region, yaitu: Bangladesh, Bhutan, Korea Utara, India, Maladewa, Myanmar, Nepal, Timor Leste,  dan lain-lain).
Negara-  negara didunia memberikan perhatian cukup besar terhadap AKI  sehingga menempatkan kesehatan ibu diantara delapan tujuan yang tertuang dalam  Millenium Development Goals (MDGs)  yang harus dicapai sebelum 2015, AKI di Indonesia harus mencapai 125 per 100.000 kelahiran hidup. Komitmen yang ditanda  tangani 189 negara pada September 2000, pada prinsipnya bertujuan meningkatkan  taraf hidup dan kesejahteraan manusia (Yustina, 2007).
Angka Kematian Ibu di Provinsi Sumatera Utara dalam 4 tahun terakhir  menunjukkan  kecenderungan penurunan, dari 320 per 100.000 kelahiran hidup, pada  tahun 2006 menjadi 315 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2007 menjadi 275  per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2008 sebesar 260 per 100.000 kelahiran  Universitas Sumatera Utarahidup dan pada tahun 2009 sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Propsu, 2009).
Angka Kematian Ibu di Kabupaten Langkat pada tahun 2010 yaitu 238 per  100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu di Indonesia masih disebabkan oleh trias klasik (perdarahan, infeksi dan eklamsi), dan non medis (status gizi,  faktor ekonomi, sosial budaya).Salah satu kasus dari komplikasi kehamilan sebagai penyumbang AKI di Indonesia adalah hipertensi dalam kehamilan. Menurut Cunningham, dkk (1995) kehamilan dapat menyebabkan hipertensi pada wanita yang sebelumnya dalam keadaan normal atau memperburuk hipertensi pada wanita yang sebelumnya telah menderita hipertensi. Hipertensi sebagai penyulit dalam kehamilan sering ditemukan dan merupakan salah satu dari tiga besar, selain pendarahan dan infeksi, yang terus menjadi penyebab utama sebagian besar kematian ibu  di Amerika serikat. Menurut Bobak (2004), hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7% sampai 10% seluruh kehamilan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Asuhan Kehamilan dan Persalinan dengan Hipertensi ?
2.      Bagaimana Praktikum Permberian MgSO4 ?
C.    Tujuan
1.      Memahami dan Mengerti tentang Asuhan Kehamilan dan Persalinan dengan Hipertensi.
2.      Memahami dan Mengerti Tentang Pemberian MgSO4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Hipertensi Esensial
1.      Definisi
Hipertensi esensial adalah sebagai suatu bentu tekanan darah tinggi yang tidak diketahui penyebabnya atau tanpa tanda-tanda kelainan alat di dalam tubuh (Masud, 1996).
Hipertensi esensial adalah hipertensi terjadi sebelum kehamilan atau pada 20 pekan pertama kehamilan yang menetap sampai 12 pekan pasca persalinan.
Hipertensi esensial juga disebut hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resitensi perifer. Penyebab hipertensi esensial adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetic dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga. Faktor predisposisi genetic ini dapat berupa sensitivitas pada natrium, hadap stress, peningkatan reaktivitas vaskular (terhadap vasokonstrik) dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi yakni, makan garam (natrium) berlebihan, stress psikis, dan obesitas.
2.      Etiologi
90-95% hipertensi ini belum diketahui secara pasti para pakar menghubungkan penyebab hipertensi esensial seperti genetik, lingkungan, kelainan metabolisme intraseluler, yang meningkatkan resikonya seperti obesitas, konsumsi alkohol, merokok dan kelainan darah (Polisitemia) (Sustari Lany, 2004). Faktor lain yang ikut berperan sebagai penyebab hipertensi esensial misalnya faktor keturunan, umur, jenis kelamin, dan pola makan (Chudrin Tien, 2006). Selain itu bisa multi faktor seperti kerentanan genetik, aktifitas berlebihan system saraf simpatis, membran transport natrium/kalium yang abnormal, penggunaan garam yang berlebihan, system rennin-angiotensin-aldosteron yang abnormal (Underwood, 2000).
3.      Patofisologis
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor, ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis ditoraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetikolin, yang merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya nereepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontrisi. Individu dengan hipertesni sangat sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Brunner & Suddarth, 2002).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriksi kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi adlosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjla, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Brunner & Suddarth, 2002).
Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otor polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer ( Brunner & Suddarth,2002).
4.      Tanda dan Gejala
a.       Sakit kepala
b.      Jantug berdebar-debar
c.       Sulit benafas
d.      Mudah lelah
e.       Penglihatan kabur
f.       Wajah memerrah
g.      Hidung berdarah
h.      Sering buang air kecil terutama pada malam hari
i.        Telingan berdenging (Tinitus)
j.        Dunia teras berputar (Vertigo)
5.      Faktor Risiko
a.       Pria
b.      Dari keluarga hipertensi
c.       Menderita diabetes mellitus
d.      Memiliki kadar kolesterol yang tinggi
e.       Obesitas
f.       Menyukai makanan dengan garam tinggi
g.      Usia lanjut (54 tahun ke atas)
h.      Gaya hidupnya penuh stress
i.        Merokok
j.        Penderita gangguan jantung
k.      Diastoliknya lebih dari 115 mmHg
Faktor risiko dalam kehamilan adalah : wanita hamil multipara dengan usia lanjut dan kasus toksemia gravidarum. Penanganan dilakukan saat dalam kehamilan dan dalam persalinan.
Penanganan dalam kehamilan meliputi pemeriksaan antenatal yang teratur, cukup istirahat, monitor penambahan berat badan, dan  melakukan pengawasan ibu dan janin, pemberian obat (anti hipertensi dan penenang), terminasi kehamilan dilakukan jika ada tanda-tanda hipertensi ganas.                                                                                                                                                                            
6.      Penatalaksanaan
Hipertensi esensial tidak dapat diobati tetapi dapat diberikan pengobatan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Langkah awal biasanya merubah gaya hidup penderita (Lim, 2009).
a.       Penderita hipertensi yang mengalami kelebihan berat badan dianjurkan untuk menurunkan berat badannya sampai batas ideal.
b.      Merubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan atau kadar kolesterol darah tinggi. Mngurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium atau 6 gram natrium klorida setiap harinya 9disertai dengan asupan kalsium, magnesium dan kalium yang cukup) dan mengurangi alkohol.
c.       Olahraga teratur yang tidak terlalu berat. Penderita hipertensi esensial tidak perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali. Selain meningkatkan perasaan sehat dan kemampuan untuk mengatasi stress, keuntungan latihan aerobik yang teratur adalh meingkatnya kadar HDL-C, menurunnya kadar LDL-C, menurunnya tekanan darah, berkurangnya obesitas, berkurangnya frekuensi denyut jantung saat istirahat dan konsumsu oksigen miokardium (MVO2), dan menurunnya resistensi insulin (Sylvia Price, 2005).
d.      Berhenti merokok karena merokok dapat merusak jantung dan sirkulasi darah dan meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke.
e.       Pemberian obat-obatan :
1)      Diuretik thiazide biasanya merupakan obat pertama yang diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal membuang garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan diseluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah. Diuretik juga menyebabkan hilangnya kalium melalui air, sehingga harus diberikan tambahan kalium atau obat penahan kalium.
2)      Penghambat adrenergik merupakan sekelompok obat yang terdiri dari alfa-blocker, beta-blocker dan alfa-beta-blocker labetalol,  yang mengambat efek system saraf simpatis. System saraf simpatis adalh system saraf yang dengan segera akan memberikan respon terhadap stres, dengan cara meningkatkan tekanan darah.
3)      Angiotensin Conferting Enzyme Inhibitor (ACE-Inhibitor) menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cara melebarkan arteri.
4)      Angiotensin II Blocker menyebabkan penurunan tekanan darah dengan suatu mekanisme yang mirip dengan ACE inhibitor.
5)      Antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh darah dengan mekanisme yang benar-benar berbeda.
6)      Vasodilator langsung menyebabkan melebarnya pembuluh darah. Obat dari golongan ini hampir selalu digunakan sebagai tambahan terhadap obat anti hipertensi lainnya.
7)      Kedaruratan hipertensi (misalnya hipertensi maligna) memerlukan obat yang menurunkan tekanan darah tinggi dengan segera.
8)      Beberapa obat bisa menurunkan tekanan darah dengan cepat dan sebagian besar diberikan secara intrvaeva.
a)      Diazoxide
b)      Nitroprusside
c)      Nitroglycerin
d)     Labetalol
Nifedipine merupakan kalsium antagonis dengan kerja yang sangat cepat dan bisa diberikan peroral, tetapi obat ini bisa menyebabkan hipotensi, sehingga pemberiannya harus diawasi secara ketat.
B.     Hipertensi karena Kehamilan
1.      Definisi
Hipertensi Karena Kehamilan yaitu: Tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg yang disebabkan karena kehamilan itu sendiri, memiliki potensi yang menyebabkan gangguan serius pada kehamilan (Sumber: SANFORD, MD tahun 2006).
Nilai normal tekanan darah seseorang yang disesuaikan dengan tingkat aktifitas dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHg. Tetapi secara umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan meningkat diwaktu beraktifitas atau berolahraga.
Hipertensi berasal dari bahasa latin yaitu hiper dan tension. Hipertensi artinya tekanan yang berlebihan dan tension artinya tensi. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi medis dimana seseorang mengalami peningkatan tekan darah secara kronis (dalam waktu yang lama) yang mengakibatkan agka kesakitan dan angka kematian. Seseorang dikatakan menderita tekanan darah tinggi atau hipertensi yaitu apabila tekanan darah sistolik >140 mmHg dan diastolik >90 mmHg (Sumber: FK UI 2006).
Hipertensi karena kehamilan yaitu hipertensi yang terjadi karena atau pada saat kehamilan, dapat mempengaruhi kehamilan itu sendiri biasanya terjadi pada usia kehamilan memasuki 20 minggu (Sumber Kebidanan).
Hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tetapi tanpa proteinuria.
2.      Etiologi
Keturunan atau Genetik, Obesitas, Stress, Rokok, Pola makan yang salah, Emosional, wanita yang mengandung bayi kembar, ketidaksesuaiaan RH, Sakit Ginjal, Hiper/Hipotyroid, Koarktasi Aorta, gangguan kelenjar adrenal, gangguan kelenjar paratyroid.
3.      Patofisologis
Menurut Corwin (2001) peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan volume sekuncup/ curah jantung yang bermasalah lama, peningkatan tekanan perifer (TPR) yang berlangsung lama.
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah :
a.       Teori kelainan vaskularisasi plasenta
b.      Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
c.       Teori intoleransi imunologik antara ibu dan jani
d.      Teori adaptasi kaediovaskular genetik
e.       Teori defisiensi gizi
f.       Teori inflamasi
4.      Tanda dan Gejala
a.       Sakit kepala
b.      Jantung berdebar-debar
c.       Sulit bernapas setelah berkerja keras atau mengangkat beban berat
d.      Mudah lelah.
e.       Penglihatan kabur
f.       Wajah memerah
g.      Hidung berdarah
h.      Sering buang air kecil, terutama di malam hari
i.        Telinga berdening (tinnitus)
j.        Dunia aterasa berputar (vertigo)

5.      Faktor Risiko
a.       Primigravida, primipaternitas
b.      Hiperplasentosis, misalnya molahidatdosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar
c.       Umur yang ekstrim
d.      Riwayat keluarga pernah preeklamsia/eklamsia
e.       Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
f.       Obesitas.
C.    Preeklamsia
1.      Definisi
Preeklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria dan edema yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke 3 pada kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada mola hidatidosa (Prawirohardjo, 2005 di buku askeb 4 :172).
Preeklamsia adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias yaitu hipertensi, proteinuria dan edema yang kadang-kadang disertai konvulsi sampai koma, ibu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vascular atau hipertensi sebelumnya (Muchtar, 1998 di Buku askeb 4: 172).
Pre eklampsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada molahidatidosa (Hanifa, 2002). Pre eklampsi adalah kondisi khusus dalam kehamilan ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan protein uria. Bisa berhubungan dengan kejang (eklamsia) dan gagal organ ganda pada ibu, sementara komplikasi pada janin meliputi retriksi pertumbuhan dan abrupsio plasenta (Sennan & Chappel, 2001). Pre eklamsi ialah sekelompok penyulit yang timbul pada masa hamil, persalinan, nifas, dan ditandai adanya hipertensi, protein uriadan edema (Arshita Auliana 2007).
Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa pre eklamsi adalah suatu keadaan pada masa kehamilan yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah, protein uria dan adanya edema.
2.      Eiologi
Penyebab preeklamsia saat ini tak bisa diketahui dengan pasti, walaupun penelitian yang dilakukan terhadap penyakit ini sudah sedemikian maju. Semuanya baru didasarkan pada teori yang dihubung-hubungkan dengan kejadian. Itulah sebabnya preeklamsia disebut juga “disease of theory”, gangguan kesehatan yang berasumsi pada teori. Adapun teori-teori tersebut anatara lain:
a.       Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklamsia dan eklamsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
b.      Peran Faktor Imunologis
Preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data mendukung adanya sistem imun pada penderita PE-E. Beberapa wanita dengan PE-E mempunyai komplek imun dalam serum, beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada PE-E diikuti proteinuria.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa sistem imun dan aktivasi komplemen terjadi pada PE-E, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan PE-E.
c.       Faktor Genetik
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian PE-E antara lain : (1) preeklamsia hanya terjadi pada manusia; (2) terdapatnya keccenderungan meningkatnya frekuensi PE-E pada anak-anak dari ibu yang menderita PE-E; (3) Kecenderungan meningkatnya frekuensi PE-E pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat PE-E dan bukan pada ipar mereka; (4) Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron sistem (RAAS).
Yang jelas preeklamsi merupakan salah satu penyebab kematian pada ibu hamil, disamping infeksi dan perdarahan. Oleh sebab itu, bila ibu hamil sudah ketahuan berisiko, terutama sejak awal kehamilan, dokter kebidanan dan kandungan akan memantau lebih ketat kondisi kehamilan tersebut (Buku askeb 4:174).
3.      Patofisologis
Vasokontriksi merupakan dasar patogenesis PE-E. Vasokontriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokontriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain itu Hubel (1989) mengatakan bahwa adanya vasokontriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipolsia/anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme didalam sel peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase terganggu, dimana proksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess oksidatif.
Pada PE-E serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulhidril yang berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein.  Peroksidase lemaik ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan mengakibatkan anatar lain; adhesi dan agregasi trombosit, gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma, terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotinin sebagai akibat rusaknya trombosit, produksi prostasiklin terhenti, terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan, terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh perosidase lemak.
Perubahan patofisiologi terjadi dalam sel endotel pada glomerulus tapi hanya satu sentuh luka ini pada ginjal merupakan / mempunyai karakteristik yang unik untuk pre eklampsi terutama pada wanita nulipara (85 % ), faktor ginetik utama adalah tidak adanya peningkatan darah tapi bekunya perfusi sekunder disebut sebagai vasospasme, vasospasme arteri mengurangi8 diameter pembuluh darah yang mengganggu aliran darah keseluruhan organ dan peningkatan tekanan darah fungsi tiap-tiap organ seperti plasenta, ginjal, hati dan otak tertekan sekitar 40% - 60%.
Rusaknya perfusi plasenta diawali dengan cepatnya umur degeneratif dari plasenta dan kemungkinan IUGR (Intra Uterine Growth Retardation) pada janin. Hal tersebut penting mengingat rusaknya sintesis prostaglandin mungkin salah satu faktor dalam PIH (Pregnancy Induced Hypertension ). Aktivitas uterus dan sensitivitas oksitoksin harus dimasukkan dalam laporan ketika memberikan obat. Hal ini digunakan untuk induksi / tambahan tenaga. Berkurangnya perfusi ginjal menurunkan kecepatan filtrasi glomerulus dan mengakibatkan perubahan degeneratif pada glomerulus, protein, albumin primer keluar bersama urine. Asam urat murni berkurang sodium dan air tertahan. Menurunnya tekanan osmotik cairan plasma disebabkan oleh menurunnya tingkat serum albumin. Volume intravaskuler berkurang sebab cairan berpindah keluar dari bagian intravaskuler yang mengakibatkan terjadinya hemokonsentrasi, meningkatnya kekebalan darah dan edema jaringan. Nilai hematokrit meningkat yang disebabkan oleh hilangnya cairan dari bagian intravaskuler.
Penurunan perfusi hati menyebabkan rusaknya fungsi hati. Edema hati dan peredaran pembuluh darah dapat dialami oleh wanita hamil yang menyebabkan terjadinya nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas salah satu sebagian dari tanda eklampsia yang berat. Vasospasme arteri9 dan penurunan aliran darah keretina menyebabkan gejala-gejala pada penglihatan seperti skotoma (buta) dan kabur. Kondisi pada patologi yang sama menyebabkan edema serebral dan perdarahan yang tidak teratur. Ketidakteraturan menyebabkan sakit kepala, hiperrefleksi, adanya klonus pada mata kaki dan kadang-kadang perubahan tersebut dapat berefek (perubahan-perubahan emosi, perasaan dan perubahan kesadaran adalah gejala yang ganjil dari edema serebral).
Edema paru disebabkan oleh preeklampsi adalah kategorikan dengan edema general yang menyeluruh. Pemberian curah infus lewat intravena yang atrogenik menyebabkan terjadinya kelebihan cairan. Lemah nadi cepat, peningkatan laju respirasi, penurunan tekanan darah dan rales pada paru menunjukkan kerusakan pembuluh darah dan rales pada paru menunjukkan kerusakan pada sirkulasi darah. Cepatnya digitalisasi dan pemberian deuresis dengan furosemide mungkin dianjurkan. Edema paru dan gagal jantung kongestive pada hakekatnya hanya diterima sebagai indikasi untuk pemberian terapi diuretik meningkatkan reduksi aliran darah intervillous yang akan menyebabkan kesakitan pada janin dan kematian pada janin yang diakibatkan oleh hipertensi. Resiko paling besar diedema paru terjadi 15 jam setelah janin lahir.
4.      Jenis-Jenis Preeklamsia
a.       Preeklamsia Ringan
Preeklamsia ringan adalah timbulnys hipertensi disertai proteinuria dan edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah kehamilan. Gejala ini timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas. Penyebab preeklamsia ringan belum diketahui secara jelas. Penyakitr ini dianggao sebagai “maladaptetion syndrome” akibat vasospasme general dengan segala akibatnya.
Gejala klinis preeklamsia ringan meliputi;
(1)   Kenaikan  tekanan darah sistol 30 mmHg atau lebih, diastol 15 mmHg atau lebih dari tekanan darah sebelum hamil pada kehamilan 20 minggu atau lebih atau sistol 140 mmHg sampai kurang 160 mmHg, diastole 90 mmHg sampai kurang 110 mmHg
(2)   Proteinuria; secara kualitatif lebih 0,3 gr/liter dalam 24 jam atau secara kualitatif positif 2 (+2),
(3)   Edema pada retibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah atau tangan.
Pemeriksaan dan diagnosis untuk menunjang keyakinan bidan atas kemungkinan ibu mengalamu preeklamsia ringan jika ditandai dengan kehamilam lebih 20 minggu, kenaikan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih dengan pemeriksaan 2 kali selang 6 jam dalam keadaan istirahat 10 menit, edema tekan pada tungkai (pretibia), dinding perut, lumbosakral, wajah atau tangan, proteinuria lebih 0,3 gr/liter/24 jam, kualitatif +2.
Penanganan Preeklamsia Ringan dapat dilakukan dengan dua cara tergantung gejala yang timbul yakni:
1)      Penatalaksanaan rwat jalan pasien preeklamsia ringan denga cara: ibu dianjurkan banyak istirahat (berbaring tidur/miring), diet, cukup protein, rendah karbohidrah, lemak dan garam, pemberian sedativa ringan, tablet Phenobarbital 3x30 mg atau diazepam 3x2 mg peroral selama 7 hari (atas instruksi dokter), roborantia, kunjungan ulang setiap 1 minggu, pemeriksaan laboratorium, hemoglobin, hemotokrit, trmbosit, urin lengkap, asam urat darah, fungsi hati, fungsi ginjal.
2)      Penatalaksanaan rawat tinggal pasien preeklamsia ringan berdasarkan kriteria setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan adanya perbaikan dari gejal-gejala preeklamsia, kenaikan berat badan ibu 1 kg atau lebih perminggu selama 2 kali berturut-turut (2 minggu), timbul salah satu atau lebih gejala atau tanda-tanda preeklamsia berat.
Bila setalah 1 minggu perawatan diatas tidak ada perbaikan maka preeklamsia ringan dianggap sebagai preeklamsia berat. Jika dalam perawatan dirumah sakit sudah ada perbaikan sebelum 1 minggu dan kehamilan masih preterm maka penderit tetap dirawat selama 2 hari lagi baru dipulangkan. Perawatan lalu disesuaikan dengan perawatan rawat jalan.
Perawatan obstetri pasien preeklamsia ringan :
1)      Kehamilan preterm (< 37 minggu). Bila desakan darah mencapai normotensif selama perawatan, persalinan ditunggu sampai aterm, bila desakan darah turun tetapi belum mencapai normotensif selama perawtan maka kehamilannya dapat diakhiri pada umur kehamilan 37 minggu atau lebih.
2)      Kehamilan aterm (37 minggu atau lebih): persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan persalinan pada taksiran tanggal persalinan.
3)      Cara persalinan : persalinan dapat dilakukan secara spontan bila perlu memperpendek kala II.
b.      Preeklamsia Berat
Preeklamsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.
Gejala dan tanda preeklamsia berat : tekanan darah sistolik >160 mmHg, tekanan darah diastolik >110 mmHg, peningkatan kadar enzim hati atau/ dan ikterus, trombosit <100.000/mm3, Oliguria <400 ml.24 jam, proteinuria > 3 gr/lietr, nyeri epigastrium, skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat, perdarhan retina, odema pulmonum.
Penyulit lain juga bisa terjadi, yakni kerusakan organ-organ tubuh seperti gagal jantung, gagal ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan pembekuan darah, sindroma HELLP, bahkan dapat terjadi kematian pada janin, ibu atau keduanya bila preeklamsia tak segera diatasi dengan baik dan benar.
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklamsia berat selama perawatan maka perawtan dibagi menjadi (1) perawtan aktif yaitu kehamilan segera aiakhiri atau diterminasi ditambah pengobatan menicinal, (2) perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan medisinal.
1)      Perawatan aktif, sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan pemeriksaan fetal assessment yakni pemeriksaan Nonstress test (NST) dan Ultrasonografi (USG), dengan indikasi (salah satu atau lebih) yakni :
a)      Ibu : usia kehamilan 37 minggu atau lebih, adanya tanda-tanda gejala impending eklamsia, kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan meditasi terjadi kenaikan desakan darah atau setelah 24 jam perawatan edicinal, ada gejal-gejala status quo (tidak ada perbaikan).
b)      Janin: Hasil fetal assesment jelek (NST & USG) adanya tanda intra uterine growt retardation (IUFGR).
c)      Hasil laboratorium : adanya “HELLP Syndrome” (hemolisis dan peningkatan fungsi hepar, trombositopenia).
2)      Pengobatan medisinal pasien preeklamsia berat (dilakukan dirumah sakit dan atas instruksi dokter). Yaitu segera masuk rumah sakit. Tirah baring kesatu sisi. Tanda vital diperiksa setiap 30 menit, refleks patella setiap jam, infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-125 cc/jam) 500 cc, berikan Antasida, diet cukup protein, rendah karbohidrah, lemak dan garam, pemberian obat anti kejang MgSO4, duretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung kongestif atau edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/IM.
3)      Antihipertensi diberikan bila tekanan darah sistolis lebih 180 mmHg, diastolis lebih 110 mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Sasaran pengobatan adalah tekanan diastolis kurang 105 mmHg (bukan kurang 90 mmHg)  karena akan menurunkan perfusi plasenta, dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada umumnya.
4)      Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya, dapat diberikan obat-obat anthipertensi parenteral (tetesan kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang biasa dipakai 5 ampul dalam 500 cc cairan infus atau proses disesuaikan dengan tekanan darah.
5)      Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan tablet anti hipertesni secara sublingual diulang selang 1 jam, maksimal 4-5 kali. Bersama dengan awal pemberian sublingual maka obat yang sama mulai diberikan secara oral (Syakib Bakri, 1997).
6)      Pengobatan jantung jika ada indikasinya yakni ada tanda-tanda menjurus payah jantung, diberikan digitalisasi cepat dengan cedilanid D.
7)      Lain-lain : konsul bagian penyakit dalam/jantung, mata: obat-obat antipiretik diberikan bila sushu rectal lebih 38,5o C dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylomidon 2cc IM, antibiotik  diberikan atas indikasi. Diberikan ampicilin 1 gr/6 jam/IV/hari, anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus. Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam sebelum janin lahir.
c.       Preeklamsia Berat Pada Persalinan
Penanganan ibu dengan preeklamsia berat pada saat persalinan, dilakukan tindakan penderita dirawat inap antara lain :
1)      Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi. Berikan diet rendah garam, lemak dan tinggi protein. Berikan suntikan MgSO4 8 gr IM, 4 gr dibokong kanan dan 4 gr di bokong kiri. Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap jam, syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif, diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir, respirasi 16x/menit dan harus tersedia antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc, infus dekstros 5% dan Ringer Laktat, berikan obat anti hipertensi, injeksi katapres 1 ampul 1 mg dan selanjutnya dapat diberikan tablet katapres3x1/2 tablet atau 2x ½ tablet sehari, diuretika tidak diberikan, kecuali terdapat edema umum, edema paru dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV Lasix, segera setelah pemberian MgSO4 kedua, dilakukan induksi partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin 10 satuan dalam infus tetes (dilakukan oleh bidan atas instruksi dokter).
2)      Kala II harus dipersingkat dalam 24 jam  dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu dilakrang mengedan (dilakukan oleh dokter ahli kandungan) jangan berikan methergin postpartum kecuali bila terjadi perdarahan yang disebabkan atonia uetri, pemberian MgSO4 kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam postpartum.
3)      Bila ada indikasi obstetric dilakukan seksio sesarea, perhatikan bahwa, tidak terdapat koagulatipati, anastesi yang aman atau terpilih adalah anestesi umum jangan lakukan anestesi lokal, sedang anestesi spinal berhubungan dengan risiko (dilakukan oleh dokter ahli kandungan).
4)      Jika anestesi umum tidak tersedia atau janin mati, aterm terlalu kecil, lakukan persalinan pervaginam. Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 2,5 IU dalam 500 ml dextrose 10 tetes/ menit atau dengan prostaglandin (atas instruksi dokter boleh diberikan oleh bidan).
d.      Pengobatan obstetric
1)      Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu
a)      Induksi persalinan : tetesan oksitosin dengan syarat nilai bishop 5 atau lebih dengan fetal heart monitoring.
b)      Seksio sesarea (dilakukan oleh dokter ahli kandungan), bila fetal assesment jelek. Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai bioshop kurang dari 5) atau adanya kontraindikasi tetesan oksitosin, 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif. Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio sesaria.
2)      Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu
Kala I fase laten: 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan seksio sesaria; fase aktif amniotomi saja, bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap maka dilakukan seksio sesaria (bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).
Kala II pada persalinan pervaginam maka kala II diselesaikan dengan partus buatan. Amniotomi dan tetesan oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian pengobatan medisinal. Pada kehamilan 32 minggu  atau kurang, bila keadaan memungkinkan, terminasi ditunda 2 kali 24 jam untuk memberikan kortikosteroid.
3)      Perawatan preeklamsia
Pemberian anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau kejang terakhir, teruskan terapi anti hipertensi jika tekanan diastolic masih > 110 mmHg, pantau jumlah urin.
4)      Diet preeklamsia
Ciri khas dari diet preeklamsia memperhatikan asupan garam dan protein. Tujuan dari pemberian diet preeklamsia dengan tujuan mencapai dan mempertahankan satus gizi optimal, mencapai dan mempertahankan tekanan darah agar tetap normal, mencegah dan mengurangi retensi garam dan air/ cairan, mencapai keseimbangan nitrogen, menjaga agar penambahan berat badan tidak melebihi normal, megurangi atau mencegah timbulnya faktor risiko lain atau penyulit baru pada saat kehamilan atau setelah persalinan.
Syarat diet pada preeklamsia harus diperhatikn energi dan zat gizi yang diberikan harus cukup, dalam keadaan berat, makanan diberikan secara bertahap sesaui dengan kemampuan pasien dalam menerima makanan, penambahan energi tidak melebihi 300 kkal dari makanan atau diet sebelum hamil, garam diberikan rendah sesuai dengan berat ringannya retensi garam atau air. Penambahan berat badan diusahakan dibawah 3 Kg/bulan atau dibawah 1 Kg/minggu, protein tinggi (1 ½-2 gram/KgBB), pemberian lemak sedang, sebagian lemak berupa lemak tak jenuh tunggal dan lemak tak jenuh ganda. Vitamin cukup, vitamin C dan B6 diberikan sedikit lebih tinggi, mineral cukup terutama calsium dan kalium, bentuk makanan disesuaikan dengan kemampuan makan pasien, cairan diberikan  2500 ml/hari. Pada keadaan Oliguria cairan dibatasi dan disesuaikan dengan cairan yang keluar melalui urine, muntah, keringat dan pernapasan.
Ada 3 macam pemberian diet untuk preeklamsia yaitu:
a)      Diet preeklamsia I, diet ini diberikan pada paseian dengan preeklamsia berat. Makanan diberikan dalam bentuk cair yang terdiri dari sari buah dan susu. Jumlah cairan diberikan paling sedikit  1500 ml sehari peroral dan kekurangannya diberikan secar parenteral. Karena makanan ini kurang mengandung zat gizi dan energi, maka hanya diberikan 1-2 hari saja.
b)      Diet preeklamsia II diberikan kepada pasien preeklamsia yang penyakitnya tidak terlalu berat atau sebagai makanan peralihan dari diet preekalmasi I, makanan diberikan dalam bentuk saring atau lunak diberikan sebagai diet rendah garam I. Dalam diet ini makanan yang diberikan cukup mengandung energi dan zat gizi lainnya.
c)      Diet preeklamsia II diberikan kepada pasien dengan preeklamsia ringan tau sebagai peralihan dari diet preeklamsi II. Pada diet ini makanan mengandung protein tingggi dan rendah garam. Makanan diberikan dalam bentuk lunak atau biasa. Pada diet jumlah energi harus disesuaikan dengan kenaikan berat baddan yang boleh dari 1 kg/ bulan. Pada diet ini makanan yang diberikan mengandung cukup semua zat gizi dan energi.
5.      Tanda dan gejala
Tanda-tanda Pre-Eklamsi biasanya timbul dalam urutan pertambahan berat badan yang berlebihan, di ikuti oedema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada Pre-Eklamsi ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif, pada Pre-Eklamsi ditemukan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diploma, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrum, mual dan muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering di temukan pada Pre-Eklamsi yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa Eklamsi akan timbul.

6.      Faktor Risiko
Beberapa penelitian menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat menunjang terjadinya preeklamsia dan eklamsia. Faktor-faktor tersebut antara lain ; Gizi buruk, kegemukan dan gangguan aliran darah ke rahim.. faktor risiko terjadinya preeklamsia, preeklamsia umumnya terjadinya pada kehamilan yang pertama kali, kehamilan diusia remaja dan kehamilan pada wanita diatas 40 tahun. Faktor risiko lainnya adalah; riwayat tekanan darah tinggi yang kronis sebelum kehamilan, riwayat mengalami preeklamsia sebelumnya, riwayat preeklamsia pada ibu atau saudara perempuan , kegemukan, mengandung lebih dari satu orang bayi, riwayat kencing manis, kelainan ginjal, lupus atau rematoid arthritis (Buku askeb 4:174).
Faktor predisposisi pre eklamsia yang harus diwaspadai antara lain : Nuliparitas, riwayat keluarga dengan eklamsia dan pre eklamsia, kehamilan ganda, diabetes, hipertensi kronis dan molahidatidosa
7.      Komplikasi terhadap Ibu dan Janin
Janin yng dikandung ibu hamil pengidap preeklamsia akan hidup dalam rahim dengan nutrisi dan oksigen dibawah normal. Keadaan ini bisa terjadi karena pembuluh darah yang menyalurkan darah ke plasenta menyempit. Karena buruknya nutrisi, pertumbuhan janin akan terhambat sehinggan akan terjadi  bayi dengan berat lahir rendah. Bisa juga janin dilahirakan kurang bulan (prematur), komplikasi lanjutan dari kelahiran prematur yaitu keterlambatan belajar, epilepsi, sereberal palsy, dan masalah pada pendengaran dan penglihatan, biru saat dilahirkan (asfiksia) dan sebagainya.
Pada kasus preeklamsia yang berat, janin harus segera dilahirkan jika sduah menunjukkan kegawatan. Ini biasanya dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu tanpa melihat apakah janin sudah dapat hidup dluar rahim atau tidak. Tapi, adakalanya keduanya tak bisa ditolong bayi.
8.      Pencegahan
Pencegahan
a. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin ( pre-eklampsia ringan ) lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat
b. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pere-eklampsia kalau ada faktor – faktor peredisposisi
c. Berikan penerangan tentang mamfaat istirahat dan tidur, ketenangan,13 serta     pentingnya mengatur diit rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan.


D.    Eklamsia
1.      Definisi
Eklamsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat kelainan neurologik) dan/atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala preeklamsia (Erlina, 2008).
Eklamsia adalah kelainan pada masa kehamilan, dalam persalinan, atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnyaa kejang (bukan timbul akibat kelainan saraf) dan/atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala preeklamsia (Ong Tjandra & John, 2008).
Eklamsia adalah penyakit akut dengan kejang dan koma pada wanita hamil dan wanita dalam masa nifas disertai dengan hipertensi, edema dan proteinuria (Sulaeman, 1984).
Eklamsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti “halilintar”. Kata tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklamsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. (Hanifa dalam prawiroharjo, 2005).
Menurut saat terjadinya eklamsia dapt dibagi kedalam 3 istilah yaitu : (1) eklamsia antepartum: eklamsia yang terjadi sebelum persalinan (sering terjadi); (2) eklamsia intrapartum; eklamsia sewaktu persalinan; (3) eklamsia postpartum; eklamsia setelah persalinan. Eklamsia kebanyak terjadi pada antepartum. Jika terjadi pada postpartum maka timbul dalam 24 jam setelah partus. Dalam kehamilan eklamsia terjadi pada triwulan terakhir dan makin besar kemungkinan saat cukup bulan (Sulaeman, 1984).
Eklamsia lebih sering terjadi pada kehamilan kembar, hidramnion, mola hidatidosa eklamsia dapt terjadi sebelum bulan ke 6 (Sulaeman, 1984).
2.      Tanda dan Gejala
Pada umumnya kejangan didahukui oleh makin memburuknya preeklamsi dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala didaerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak diobati, akan timbul kejang, terutama pada persalina  bahaya ini besar. Kolvulsi eklamsia dibagi dalam 4 tingkat, yaitu :
a.       Tingkat awak atau aura. Keadaan berlangsung kira-kira 30 detik. Mata terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya dan kepala diputar kekanan atau kekiri.
b.      Kemudian timbul tingkat kejang tonik yang berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.
c.       Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejang klonik yang berlangsung antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tak sdar. Kejang klonik ini dapat demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya, kejangan terhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.
d.      Sekarang masuk tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebleum ini timbul serangan baru yang berulang, sehingga ia tetap dalam koma.
e.       Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan sushu meningkat samapai 40o C . sehingga akibat serangan dapat terjadi komplikas-komplikasi seperti: lidah tergigit, sehingga terjadi perlukaan dan fraktura gangguan pernapasan, solusio plasenta, dan perdarahan otak (Hanifa dalam prawirohardjo, 2005).
Peningkatan tekanan darah yang drastis, berkurangnya haluran ureine akibat vasospasme akut, peningkatan proteinuria, sakit kepala, yang biasany berat, persisten, dan terletak dibagian frontal. Mangantuk atau konfusi akibat edema serebral, gangguan penglihatan kabur atau flashing light akibat edema retina. Nyeri epigastrik yang menunjukkan edema hati dan kerusakan fungsi hati, mual dan muntah.
Kehamilan lebih dari 20 minggu atau persalinan atau nifas. Tanda- tanda pre eklampsia (hipertensi, edema, protein uria) Kejang dan koma Terkadang disertai gangguan fungsi organ.
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya pre-eklamsi dengan gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri epigastrium, dan hiperefleksia. Bila keadaan ini tidak segera diobati, akan timbul kejangan, konvulsi eklamsi dibagi 4 tingkat yaitu : a)      Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 menit. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya dan kepala diputar ke kanan dan ke kiri.
b)   Tingkat kejangan tonik
Berlangsung lebih 30 menit, dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok ke dalam, pernafasan berhent, muka menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.
c)    Tingkat kejangan klonik
Berlangsung 1-2 menit, spasmus tonik menghilang, semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat, mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi, bola mata menonjol, dari mulut keluar ludah yang berbusa aka menunjukan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tak sadar, kejadian kronik ini a demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya kejangan terhenti dan penderita menarik nafas secara mendengkur.
d)   Tingkat koma
Lamanya koma tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru yang berulang, sehingga ia tetap dalam koma.
3.      Diagnosis
Diagnosis eklamsia umumny tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda dan gejala preeklamsia yang disusul dengan serangan kejang seperti telah diuraikan, maka diagnosis eklamsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian, eklamsia harus dibedakan dari (1) epilepsi, dalam anamnesis diketahui serangan seblum hamil atau pada hamil muda dan tanda preeklamsia tidak ada . (2) kejang karena obat anesthesia, apabila obat anesthesia loka tersuntikan ke dalam vena, dapat timbul kejangan, (3) koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis dan lain-lain (Hanifa dalam prawirohardjo, 2005).
4.      Penanggulangan eklamsia
Tujuan utama penganan eklamsia telah menghentikan  berulangnya serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengizinkan.penanganan yang dilakukan: beri obat konvulsan, perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan, masker oksigen, oksigen); lindungi pasien dari kemungkinan trauma, aspirasi mulut dan tenggorokan, baringkan pasien pada sisi kiri, posisi trendelenburg untuk mengurangi risiko aspirasi, beri oksigen 4-6 liter/menit. (Abdul dalam prawirohardjo 2007).
Perawatan dan pengawasan ibu yang intensif sengat penting bagi penanganan penderita eklamsia, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit. Pada pengangkutan ke rumah sakit diperlukan obat penenang yang cukup untuk menghindari timbulnya kejang, penderita harus disertai seorang tenaga yang terampil dalam resusitasi dan yang dapat mencegah terjadinya trauma apabila terjadi serangan kejang.
Tujuan pertama pengobatan eklamsia ialah menghentikan kejangan mengurangi vasopasmus dan meningkatkan dieresis. Pertolongan yang per;u diberikan jika timbul kejang ialah mempertahankan jalan nafas bebas, menghindarkan tergiginya lidah, pemberian oksigen, dan menjaga agar penderita tidak mengalami trauma. Untuk menjaga jangan sampai terjadi kejang lagi yang selanjutnya mempengaruhi gajla-gejala lain, dapt diberikan beberapa obat, misalnya :
a.       Sodium pentothal sangat berguna untuk menghentikan kejang dengfan segera bila diberikan secara intravena. Akan tetapi, obat ini mengandung bahaya yang tida kecil. Mengingat hal ini, obat itu hanya dapat diberikan di rumah sakit dengan pengawasan yang sempurna dan tersedianya kemungkinan untuk intubasi dan resusitasi. Dosis inisial dapat diberikan sebanyak 0,2-0,3 g dan disuntikan perlahan-lahan.
b.      Sulfas magnesicus yang mengurangi kepekaan saraf pusat pada hubungan neuromuskuler tanpa mempengaruhi bagian lain dari susunan saraf. Obat ini menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan darah, meningkatkan dieresis, dan menambah aliran darah ke uterus. Dosis inisial yang diberikan adalah 8 g dalam larutan 40% secara intramuskulus, selanjutnya tiap 6 jam 4g, dengan syarat bahwa refleks patella masih positif, pernafasab 16 atau lebih permenit, dieresis harus melebihi 600 per hari, selain intramuskulus, sulfas magnesikus dapat diberikan secara intravena, dosis inisial yang diberikan secara perlahan-lahan, diikuti 8 g IM dan selalu disediakan kalsium glukonas 1 g dalam 10 ml sebagai antidotum.
c.       Litic cocktail yang terdiri atas ptidin 100 mg, klopromazin 100 mg, dan prometezin 50 mg dilarutkan dalam glukosa 5% 500 ml dan diberikan secara infus intravena. Jumlah tetesan disesuaikan dengan keadaan dan tensi penderita. Maka dari itu, tensi dan nadi diukur tiap 5 menit dalam waktu setengah jam pertama dan bila keadaan sudah satbil, pengukuran dapat dijarangkan menurut keadaan penderita.
d.      Penderita dirawat dalam kamar isolasi yang tenang, tekanan darah, nadi, pernapasan dicatat tiap 30 menit pada suatu kertas grafik, siap jam untuk menghindari dekubitus. Alat uhu dicatat tiap jam secara rectal. Bila penderita belum melahirkan, dilakukan pemeriksaan obstetric untuk mengetahui saat permulaan atau kemajuan persalinan. Untuk melancarkan pengeluaran secret dari jalan pernapasan pada penderita dalam koma penderita dibaringkan dalam letak trendelenburg dan selanjutnya dibalikan ke sisi kiri dan kanan tiap jam untuk menghidarai dekubitus. Alat penyedot disediakan untuk membersihkan jalan napas, dan oksigen diberikan pada sianosis. Dauer catherter untuk mengetahui dieresis dan untuk menentukan protein dalam air kecing secara kuantitatif.
e.       Kalori yang adekuat diberikan untuk menghindari katabolisme jaringan dan asidosis. Pada penderita koma atau kurang sadar pemberian kalori dilakukan dengan infus dekstran, glukosa 10% atau larutan asam amino, seperti aminofusin. Cairan yang terakhir ini, selain mengandung kalori cukup, juga berisi asam amino yang diperlukan (Hanifa dalam prawirohardjo, 2005).
5.      Tindakan Obstetric
Setelah kejang dapat diatasi dan keadaan umum penderita diperbaiki, maka direncanakan untuk mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara aman. Apakah pengakhiran kehamilan dilakukan dengan seksio sesarea atau dengan induksi persalinan pervaginam, hal tersebut tergantung dari banyak faktor, seperti keadaan serviks, komplikasi obstetric, paritas, adanya ahli anastesi, dan sebagainya.
Persalinan pervaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilaksanakan cepat dan tanpa banyak kesulitan. Pada eklamsia gravidarum perlu diadakan induksi dengan amniotyomi dan infus pitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang selama 12 jam dan keadaan serviks mengizinkan. Tetapi, apabila serviks masih lancip dan tertutup terutama pada primigravida, kepala janin masih tinggi atau ada prasangka disproporsi sefalopelvik, sebaiknya dilakukan seksio sesarea.
Jika persalinan sudah mulai pada kala I, dilakukan amniotomi untuk mempercepat partus dan bila syarat-syarat telah dipenuhi, dilakukan ekstraksi vakum atau cunam.
Pilihan anastesi untuk mengakhiri persalinan pada eklamsia tergantung dari keadaan umum penderita dan macam obat sedatif yang telah dipakai keputusan tentang hal ini sebaiknya dilakukan oleh ahli anastesi. Anastesi lokal dapat dipakai bila sedasi sudah berta. Anastesi sepinal dapat menyebabkan hipotensi yang berbahaya pada eklamsia, jadi sebaiknya jangan dilakukan.
Pengalaman menunjukkan bahwa penderita eklamsia tidak seberapa tahan terhadap perdarahan postparum atau trauma obstetric, keduanya dapat menyebabkan syok. Maka dari itu, semua tindakan obstetric harus dilakukan saringan mungkin, dan selalu disediakan darah. Ergometrin atau metergin boleh diberikan pada perdarahan postpartum yang disebabkan oleh atonia uteri, tetapi jangan diberikan secara rutin tanpa indikasi.
Setelah kelahiran, perawatan dan pengobatan intensif diteruskan untuk 48 jam. Bila tekanan darah turun, maka pemberian obat penenang dapat dikurangi setelah 24 jam postpartum untuk kemudian lambat laun dihentikan. Biasanya diuresis bertambah 24-48 jam setelah kelahiran dan edema serta proteinuria berkurang.
6.      Komplikasi terhadap Ibu dan Janin
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Usha utama ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklamsia dan eklamsia. Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada preeklamsia berat dan eklamsia.
a.       Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi preeklamsia.
b.      Hipofibrinogenemia. Pada preeklamsia berat Zuspon (1978) menemukan 23% hipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
c.       Hemolisis. Penderita dengan preeklamsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsy penderita eklamsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
d.      Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklamsia
e.       Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung samapai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
f.       Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus eklamsia, hal ini disebabkan karena parah jantung.
g.      Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada preeklamsia eklamsia merupakan akibat vasopasmus arteiol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklamsia, tetapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
h.      Sindroma HELLP. Yaitu hameolysis, elevated libver enzim dan low platelet.
i.        Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotel tubulus ginjal tanpa kelainan  struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
j.        Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi dan DIC (disseminated intravascular coagulation).
k.      Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uterine (Hanifa dalam prawirohardjo, 2005).
Bagi ibu : Perbedaan konvulsi dan kelelahan, jika frekuensi berulang hati gagal berkembang. Jika kenaikan hipertensi banyak, pada ibu dapat terjadi cerebral hemorrhage. Pasien dengan oedem dan oliguria perkembangan paru-paru dapat bengkak atau gagal ginjal.  Inhalasi darah atau mucus dapat menunjukkan asfiksia atau pneumonia.  Dapat terjadi kegagalan hepar. Dari komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi kefatalan.  Angka kematian ibu dari eklampsi di UK pada tahun 1991-1993 adalah 11. Dalam lebih dari setengah terdapat kematian ibu dan hanya satu atau dua yang selamat.
   Bagi janin : Dalam eklampsi antenatal janin dapat terpengaruh dengan ketidakutuhan plasenta.  Ini menunjukkan retardasi pertumbuhan intrauterine dan hipoksia.  Selama sehat ketika ibu berhenti bernafas supply oksigen ke janin terganggu, selanjutnya berkurang.  Angka kematian perinatal sebanyak 15%.  Konvulsi intrapartum sangat berbahaya untuk janin karena kenaikan hipoksia intra uterin yang disebabkan karena kontraksi uterus.

7.      Prognosa
Eklamsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta korban besardari ibu dan bayi (Hanifa dalam prawirohardjo, 2005).
Eklamsia adalah suatu keadaan yang sangat berbahaya maka prognosa kurang baik untuk ibu maupun anak. Prognosa juga dipengaruhi oleh paritas artinya prognosa bagi multipara lebih buruk, dipengaruhi juga oleh umur terutama jika umur melebihi 35 tahun (Sulaeman, 1984).
Diurese dapat dipegang untuk prognosa, jika diurese lebih dari 800 cc dalam 24 jam atau 200 cc tiap 6 jam maka prognosa agak baik. Sebaliknya oliguri dan anuri merupakan gejala yang buruk.
Gejala-gejala lain memberatkan prognosa dikemukakan oleh eden ialah : koma yang lama, nadi di atas 120x/menit, suhu diatas 39oC, tekanan darah diatas 200 mmHg, proteinuria 10 gram sehari atau lebih, tidak adanya edema, edema paru-paru dan apoplexy merupakan keadaan yang biasanya mendahului kematian (Sulaeman, 1984).
8.      Pencegahan eklamsia
Pada umumnya timbulnya eklamsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi. Usha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklamsia terdiri atas, meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksa diri sejak hamil mudah, mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda preeklamsia dan pengobatnnya segera apabila ditemukan, mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila dirawat tanda-tanda preeklamsia tidak juga dapat hilang (Hanifa dalam Prawirohardjo, 2005).
9.      Asuhan untuk ibu yang menderita eklamsia
Tujuan asuhan yang diberikan adalah :
a.       Mendapatkan bantuan medis
b.      Membersihkan dan mempertahankan jalan napas ibu. Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan ibu pada posisi setengah telungkup untuk memfasilitasi drainase saliva dan muntah.
c.       Memberikan oksigen dan mencegah hipoksia berat
d.      Mencegah cidera pada ibu.
Bidan harus tetap bersama ibu dn memberikan bantuan dalam pengobatan medis. Pada awalnya. Semua upaya bertujuan menjaga keselamatan jiwa ibu, baru kemudian kesejateraan janin. Keadaan ini tampak arbitrari, tetapi jika ibu meninggal, kematian janin tak dapat dihindari. Ibu yang menderita eklamsia membutuhkan asuhan intensif/dengan ketergantungan tinggi karena ia dapat berada dalam kondisi koma setelah kejang atau tersedasi berat. Pencatatan harus dilakukan seperti yang sebelumnya telah dijelaskan untuk preeklamsia berat. Bidan harus mengobservasi kegelisahan periodik yang berhubungan dengan kontraksi uterus yang mengindikasikan dimulainya persalinan. Pasangan ibu harus terus diberi informasi, dan bidan perlu memberikan dukungan emosional selama masa yang tidak menentu dan mencemaskan ini. Biasanya, jika terjadi eklamsia, persalinan akan dipercepat. Pada kondisi ini, seksio sesarea merupakan cara melahirkan yang paling sering digunakan. Pengobatan yang diberikan kepada ibu eklamsia adalah sebagai berikut :
Terapi antikonvulsan. Diskusi mengenai asuhan untuk ibu yang menderita eklamsia sebagian besar difokuskan pada kontrol kejang dengan berbagai opini tentang penggunaan antikonvulsan yang paling tepat. Magnesium sulfat, diazepam, dan fenitoin merupakan antikonvulsan yang paling banyak digunakan untuk penatalaksanaan eklamsia. Rasional penggunaan obat ini lebih berfokus pada sejarah penggunaanya, bukan pada alsan ilmiah. Diazepam digunakan untuk mengendalikan kejang jenis lain dan memiliki efek sedatif. Fenitoin efektif dalam mengendalikan kejang dan telah dianjurkan penggunaanya untuk eklamsia karena tidak memiliki efek sedatif. Magnesium sulfat dianggap dapat menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral (Belfort & Moise 1992).
E.     Praktikum Pemberian MgSO4
1.      Cara pemberian MgSO4 :
a.    Dosis awal sekitar 4 gr MgSO4 IV (20% dalam 20 cc) selama 1 gr/ menit kemasan 20% dalam 25 cc larutan MgSO4 (3-5 menit). Diikuti segera 4 gr dibokong kiri dan 4 gr dibokong kanan (40% dalam 10 cc) dengan jarum no 21 panjang 3,7 cm. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan 1 cc xylocain 2% yang tidak mengandung adrenalin pada suntikan IM.
b.    Dosis ulangan : diberikan 4 gr IM 40% setelah pemberian dosis awal lalu dosis ulangan diberikan 4 gr IM setiap 6 jam dimana pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.\
c.    Syarat-syarat pemberian MgSO4: Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calsium glokonal 10%, 1 gram (10% dalam cc) diberikan intravena dalam 3 menit, refleks patella positif kuat, frekuensi pernapasan lebih 16 kali permenit, produksi urine lebih 100 cc dalam 4 jam sebelum (0,5 cc/kg BB/jam).
d.   MgSO4 dihentikan bila : Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks fisiologi menurun, fungsi hati terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot-otot pernapasan karena ada serum 10 U magnesium pada dosis adekuat adalah 4-7 mEq/liter. Refleks fisiologi menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar 12-15 mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernapasan dan lebih 15 mEq/liter terjadi kematian jantung.
e.    Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat: hentikan pemberian Magnesium sulfat, berikan calsium glukosa 10% 1 gram (10% dalam 10 cc) secara IV dalam waktu 3 menit, berikan oksigen, lakukan pernapasan buatan.
f.     Magnesium sulfat dihentikan juga bila setelah 4 jam pasca persalinan sudah terjadi perbaikan (normotensif).
Catatan tindakan yang bersifat operatif dilakukan oleh dokter obgyn, tindakan yang bersifat bukan operatif hanya pemberian infus dan obat-obata dapat dilakukan oleh bidan dengan instruksi dokter obgyn.
2.       Dosis pemeliharaan magnesium sulfat ( MgSO4 )
a.      Diberikan pada pasien selama 24 jam pasca persalinan atau pasca kejang terakhir.
b.      Pemberian MgSO4 40%  6 gram Bokong Kanan – Bokong Kiri setiap 6 jam selama 24 jam.
c.      Observasi Vital Sign, Tinggi Fundus Uteri, dan Produksi Urine.
d.      Bila dalam 24 jam Tensi pasien masih tinggi, sebaiknya konsulkan bagian Cardiovascular.
3.      Kondisi pasien sebelum pemberian magnesium sulfat ( MgSO4 )
a.      Respiration Rate ≥ 16 kali/menit.
b.       Refleks Patella ( + ).
c.      Produksi Urine minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir.
4.        Antidotum untuk MgSO4.
a.      Pasang Oksigen + Ventilator.
b.      Berikan Calsium Gluconas 2 gram ( IV ) pelan sampai pernafasan kembali normal.
5.      Magnesium sulfat 20%
a.       25 ml         = 5 gram
b.      20 ml         = 4 gram
c.       15 ml         = 3 gram
d.      10 ml         = 2 gram
e.        5 ml         = 1 gram
6.      Magnesium sulfat 40%
a.       25 ml         = 10 gram
b.      22,50 ml    = 9 gram
c.       20 ml         = 8 gram
d.      17,50 ml     = 7 gram
e.       15 ml         = 6 gram
f.       12,50 ml     = 5 gram
g.      10 ml         = 4 gram
h.      7,50 ml      = 3 gram
i.        5 ml          = 2 gram
j.        2,50 ml      = 1 gram











BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Hipertensi esensial adalah sebagai suatu bentu tekanan darah tinggi yang tidak diketahui penyebabnya atau tanpa tanda-tanda kelainan alat di dalam tubuh (Masud, 1996).
Hipertensi Karena Kehamilan yaitu: Tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg yang disebabkan karena kehamilan itu sendiri, memiliki potensi yang menyebabkan gangguan serius pada kehamilan (Sumber: SANFORD, MD tahun 2006).
Preeklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria dan edema yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke 3 pada kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada mola hidatidosa (Prawirohardjo, 2005 di buku askeb 4 :172).
Eklamsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat kelainan neurologik) dan/atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala preeklamsia (Erlina, 2008).









Daftar Pustaka
MMK,Ai yeyeh Rukiyah,S.Si.T.MMK,Lia Yulianti,Am.keb.2010.Asuhan Kebidanan 4 (Patologi).Jakarta:Trans Info Media
Gunggingham,F.Gary.2012.Obstetri Williams edisi 23.Jakarta:EGC

Fraser,Diane M.Cooper,Margaret A.2009.Buku Ajar Bidan Myles.Jakarta:EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar