BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Angka penyakit menular
seksual (PMS) di Inggris mengalami peningkatan drastis sejak 1995, dan kasus
baru yang ditemukan diklinik GUM saat ini berjumlah lebih dari satu juta kasus
per tahun. Angka PMS tertinggi terjadi pada wanita, pria gay, remaja, dewasa
muda, dan kelompok etnik kulit hitam serta minoritas (DoH 2001). Sebagian besar
wanita tersebut menderita klamidia tanpa komplikasi dan serangan herpes yang
pertama, dan pada pria, kebanyakan mereka mengalami kasus sifilis primer dan
sekunder serta gonore tanpa komplikasi. Jumlah kasus serangan pertama virus
kutil sedikit lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita (PHLS 2001).
Sebelum tahun 1995,
jumlah diagnosis PMS akut masih stabil atau rendah (PHLS et al 2000). Hal
tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan perilaku seksual akibat adanya
epidemik HIV. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka PMS saat ini
adalah deteksi penyakit yang lebih baik, kontrol infeksi yang buruk,
peningkatan praktik seksual yang tidak aman, perubahan perilaku seksual, dan
menurunnya kewaspadaan terhadap HIV dan AIDS dikalangan kaum muda. Namun
demikian, terdapat kemungkinan bahwa seperti halnya peningkatan penularan,
faktor-faktor seperti layanan klinik GUM yang lebih baik yang disertai dengan
kesadaran masyarakat dan kesadaran profesional yang lebih besar juga berperan
dalam meningkatnya diagnosis PMS akut (PHLS et al 2000).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian tentang Sifilis?
2.
Bagaimana
pengertian tentang Cytomegalovirus?
3.
Bagaimana
pengertian tentang Rubella?
4.
Bagaimana
pengertian tentang Varicella?
5.
Bagaimana
pengertian tentang Toxsoplasma?
C.
Tujuan
1.
Mengerti dan
memahami tentang sifilis.
2.
Mengerti dan
memahami tentang Cytomegalovirus.
3.
Mengerti dan
memahami tentang Rubella.
4.
Mengerti dan
memahani tentang Varicella.
5.
Mengerti dan
memahami tentang Toxsoplasma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Sifilis
1.
Definisi
Sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis
dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tetapi masih
merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyerang seluruh organ tubuh
termasuk sistem peredaran darah, syaraf dan dapat ditularkan oleh ibu hamil
kepada bayi yang dikandungnya, sehingga menyebabkan kelainan bawaan pada bayi
tersebut. Sifilis sering dikenal sebagai lues, Raja Singa.
Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema Pallidum yang merupakan organisme spiral (spirochate), dan biasanya ditularkan
melalui kontak seksual dan juga secara kongenital. Sifilis merupakan penyakit
sistemik kompleks yang dapat menyerang semua organ tubuh. Sifilis pada
kehamilan dan sifilis kongenital jarang terjadi di Inggris, tetapi tetap
menjadi penyebab utama kematian janin dan neonatus di berbagai negara
berkembang, terutama dinegara Afrika (Brocklehurst 1999). Sifilis dapat dibagi
menjadi beberapa tahap berikut ini (Adler 1998).
1.
Infeksius Awal
·
Primer 9-90 hari
setelah pajanan (rata-rata 21 hari)
·
Sekunder 6
minggu-6 bulan setelah pajanan (4-8 minggu setelah lesi primer)
·
Laten (awal) 2
tahun setelah pajanan
2.
Non-infeksius
akhir
·
Laten (akhir) >
2 tahun setelah pajanan tanpa tanda atau gejala
·
Neurosifilis,
sifilis kardiovaskular, sifilis gumatosa 3-20 tahun setelah pajanan.
Sifilis merupakan penyakit infeksi sistemik
disebabkan oleh Treponema Pallidum yang dapat mengenai seluruh organ tubu,
mulai dari kulit, mukosa, jantung, jantung hingga susunan saraf pusat, dan juga
dapat tanpa manifestasi lesi ditubuh. Infeksi terbagi atas beberapa fase yaitu
sifilis primer, sifilis sekunder, sifilis laten dini dan lanjut serta neurosifilis
(sifilis tersier). Sifilis umumnya ditularkan lewat kontak seksual, namun juga
dapat secara vertikal pada masa kehamilan.
Lesi primer berupa tukak yang biasanya timbuk di
daerah genital eksternal dalam waktu 3 minggu setelah kontak. Pada perempuan
kelainan sering ditemukan di labia mayor, labia minor, fourchette atau serviks.
Gambaran klinik dapat khas, akan tetapi dapat juga tidak khas. Lesi awal berupa
papul berindurasi yang tidak nyersi, kemudian permukaannya mengalami nekrosis
dan ulserasi dengan tepi yang meninggi, teraba keras, dan berbatas tegas.
Jumlah ulserasi biasanya hany satu, namun dapat juga multipel.
Lesi sekunder ditandai dengan malase, demam, nyeri
kepala, limfadenopati, generalisata dengan lesi dipalmar, plantar, mukosa oral
atau genital, kondiloma lata didaerah intertrigenosa dan alopesia. Lesi kulint
biasanya simetris dapat berupa makula, papula, papuloskuamosa, dan pustul yang
jarang disertai keluhan gatal. T.pallidum
banyak ditemukan pada lesi di selaput lendir atau lesi yang basah seperti
kondiloma lata.
Sifilis laten merupakan fase sifilis tanpa gejala
klinik dan hanya pemeriksaan serologik yang reaktif. Hal ini mengindikasikan
organisme ini masih tetap ada didalam tubuh, dan dalam perjalanannya fase ini
dapat berlangsung bertahun-tahun, bahkan seumur hidup. Kurang lebih 2/3 pasien
sifilis laten yang tidak diobati akan tetap dalam fae ini selama hidupnya.
Sifilis tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak
diobati. Fase ini dapat terjadi sejak beberapa bulan hingga beberapa tahun
setelah fase laten dimulai. T.pallidum menginvasi
dan menimbulkan kerusakan pada sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular, mata,
kulit, serta organ lain. Pada sistem kardiovaskular dapat terjadi aneurisma
aorta dan endokarditis. Gumma timbul akibat reaksi hipersensitivitas tipe
lambat terhadap antigen T.pallidum,
lesi tersebut bersifat destruktif dan biasanya muncul dikulit, tulang atau
organ dalam.
Pada kehamilan gejala klinik tidak banyak berbeda
dengan keadaan tidak hamil, hany perlu diwaspadai hasil tes serologi sifilis
pada kehamilan normal bisa memberikan hasil positif palsu. Transmisi teponema
dari ibu kejanin umumnya terjadi setelah plasenta terbentuk utuh, kira-kira
sekitar umur kehamilan 16 minggu. Oleh karena itu bila sifilis primer atau
sekunder ditemukan pada kehamilan setelah 16 minggu, kemungkinan untuk
timbulnya sifilis kongenital lebih memungkinkan.
2.
Etiologi
Penyebab sifilis adalah masuknya suatu bakteri yang
berbentuk spiral atau spirochete yang disebut Treponema pallidum. Dengan
strategi hampir selalu menular kekorban baru melalui persetubuhan atau seks oral, makhluk kecil ini mencari
jalan masuk melalui kulit dan dari sana, ia menyebar dengan ganas. Beberapa jam
setelah bakteri-bakteri ini masuk kedalam kulit, mereka yang berbentuk spiral
ini biasanya berhasil masuk ke dalam aliran darah, dan dalam satu minggu mereka
telah menyebar keseluruh tubuh. Jika tidak diobati, infeksi tersebut biasanya
berkembang melaui 3 tahap selama bertahun-tahun. Selama tahap pertama (sifilis
awal), sebuah bisul yang tidak sakit muncul di tempat dimana bakteri itu masuk
kedalam tubuh. Bisul ini chancre biasanya muncul berkisar antara 10 hingga 90
hari setelah infeksi dan hampir selalu dibagian genital.
Biasanya, bisul-bisul sifilis meiliki bagian tengah
yang halus dan pinggiran yang menonjol dan keras dan kadang-kadang berisi nanah
kuning seperti sebuah lepuh atau jerawat, kemudian menurut Dr. Whiteside. Pada
laki-laki, bisul itu biasanya muncul pada atau dekat kepala penis. Pada wanita,
bisul-bisul itu biasanya pada labia (bibi-biri vagina), namun kadang berada di
vagina bagian dalam, dimana bisul-bisul itu tidak dpat dilihat atau dirasakan.
Kadang-kadang, bisul-bisul itu juga muncul dimulut, payudara, jari-jari, lidah
atau wajah.
Setelah itu penyakit ini sulit dilacak. Dalam satu
atau dua bulan, bisul-bisul itu sembuh dan lenyap, yang menyebabkan banyak
orang yang terinfeksi juga menyimpulkan kalau infeksinya telah sembuh. Namun,
ini tidak benar.
Penyakit ini
hanya menghilang kedalam tubuh dan terus melakukan kerusakan di tempat-tempat
yang tidak dapat dilihat. (Inilah alasannya mengapa segala jenis bisul genital
harus diperiksa oleh seorang dokter. Jangan hanya menunggu sampai bisul
tersebut lenyap karena pada penyakit sifilis bisul itu akan hilang dengan sendirinya.
Namun Anda masih terinfeksi dan Anda mungkin dapat menular)..
3.
Patogenesis
Kuman penyebab
sifilis disebut Trefonema pallidum. Masa tanpa gejala berlangsung 3-4 minggu,
kadang-kadang sampai 13 minggu. Kemudian timbul bejolan disekitar alat kelamin.
Ada bercak kemerahan pada tubuh sekitar 6-12 minggu setelah hubungan seks,
tetapi akan hilang dengan sendirinya dan sering kali penderita tidak
memperhatikan hal lain.
Selama 2-3 tahun
pertama penyakit ini tidak menunjukkan gejala apa-apa atau disebut masa laten.
Setelah 5-10 tahun penyakit sifilis akan menyerang susunan syaraf otak,
pembuluh darah dan jantung. Pada perempuan hamil sifilis dapat ditularkan pada
bayi yang dikandungnya dan bisa lahir dengan kerusakan kulit, hati, limfa dan
keterbelakangan mental.
Penyebab sifilis
adalah Treponema Pallidum. Abrasi
kecil di mukosa vagina dapat menjadi pintu masuk bagi spirokaeta ini. Eversi,
hiperemia, dan kerapuhan serviks meningkatkan risiko penularan. Spirokaeta
bereplikasi dan kemudian menyebar melalui saluran limfe dalam hitungan jam
sampai hari. Masa tunas rerata adalah 3 minggu-3 sampai 90 hari bergantung pada
faktor penjamu dan besar inokulum. Stadium-stadium awal sifilis mencakup
sifilis primer, sekunder dan laten dini. Stadium-stadium ini mngisyaratkan
jumlah spirokaeta terbesar dan angka
penularan hingga 30-50%. Angka penularan pada penyakit stadium lanjut jauh
lebih kecil lebih rendah karena ukuran inokulum yang jauh lebih kecil.
Janin mendapat
sifilis melalui beberapa rute. Spirokaeta mudah melewati plasenta untuk
menyebabkan infeksi kongenital. Imunokompetensi janin belum ada sebelum sekitar
18 minggu sehingga sebelum periode ini janin umumnya tidak memperlihatkan
respons peradangan inflamatorik khas penyakit (Silverstein,1962). Meskipun
penularan transplasenta adalah rute tersering namun infeksi neonatus dapat
terjadi melalui kontak dengan spirokaeta di lesi saat persalinan atau melalui
selaput ketuban.
Meningkatnya
angka sifilis pada ibu dikaitkan dengan penyalahgunaan narkotika, khususnya
crack cocaine, kurangnya perawatan pranatal, dan kurangnya penapisan
(Johnson,2007; lago,2004; Trepka,2006; Warner,2001; Wilson,2007 dkk.,). Dalam
sebuah studi tentang sifilis pranatal selama empat dekade, Klass dkk., (1994)
menyimpulkan bahwa berlanjtnya prevalensi sifilis pranatal berkaitan dengan
penyalahgunaan narkotik, infeksi HIV, kurangnya perawatan pranatal, kegagalan
pengobatan dan re-infeksi sebuah laopran dari Maricopa County, Arizona,
menambahkan ras atau etnis minoritas sebagai faktor risiko (Taylor dkk.,200).
4.
Prevalensi
Prevalensi
sifilis kongenital di Inggris diperkirakan sekitar 70 per satu juta kelahiran
(Newell 2001). Prevalensi tersebut diklasifikasikan menjadi sifilis tahap wal,
laten dan akhri, serta gambaran klinisnya bervariasi bergantung pada tahapan
infeksinya. Sekitar dua pertiga bayi terinfeksi yang lahir hidup tidak
menunjukkan tanda dan gejala pada saat lahir, tetapi tanda dan gejala tersebut
akan muncul setelah kemudian. Lesi hanya terjadi setelah bayi berusia 4 bulan
saat kompetensi imunologis terbentuk (Wright & Csonka 2000). Tes serologi
pada saat lahir tidak dapat diandalkan karena adanya transfer pasif dari ibu
dan tes IgM spesifik treponema cenderung memberikan hasil positif dan negatif
yang tidak benar.
5.
Diagnosis
Diagnosis penyakit ini
tidak terlalu sukar karena terdapat luka pada daerah genitalia, mulut atau
tempat lainnya. Pengaruhnya pada kehamilan dapat dalam bentuk persalinan
prematur atau kematian dalam rahim dan infeksi bayi dalam bentuk lues
kongenitas (pempigus sifilis, deskuamasi kulit telapak tangan dan kaki,
terdapat kelainan pada mulut dan gigi). Pengobatannya mudah dan sebaiknya
diberikan bersama suami diobati penisilin injeksi, untuk wanita hamil trimester
1 di obati sedini mungkin untuk mencegah penularan janin.
6.
Infeksi sifilis pada kehamilan
Penyebab:
Treponema Pallidum yang dapat menembus plasenta setelah kehamilan 16 minggu,
oleh karena itu baiknya melakukan pemeriksaan serologis sebelum hamil sehingga
pengobatan dapat diterapkan sampai sembuh.
Sifilis yang
tidak dapat diobati pada kehamilan dapat menyebabkan aborsi spontan, kelahiran
prematur, janin lahir mati, kematian neonatus, dan morbiditas bayi yang
signifikan walaupun semua hal tersebut bergantung pada tahap infeksi yang
dialami ibu. Penularan vertikal dapat terjadi kapan saja pada kehamilan, tetapi
hal ini cenderung terjadi jika ibu menderita sifilis primer, sekunder atau
laten awal yang disebabkan oleh banyaknya jumlah organisme yang ada dalam
sirkulasi pada tahap ini (Adler 1998). Infeksi biasanya tidak terjadi sebelum
kehamilan berusia 4 bulan karena treponema dari sirkulasi maternal tidak dapat
menembus lapisan sel Langhanyang terdapat pada plasenta di awal kehamilan.
Setelah lapisan ini mengalami atrofi, janin terpajan risiko pertama infeksi,
meskipun hal ini cenderung terjadi setelah 6 bulan saat atrofi sudah terjadi
secara menyeluruh (Ingal et al 1990). Ibu hamil yang menderita sifilis awal
cenderung mengalami sifilis infeksius tahap awal dan pengobatan yang dilakukan
secara dini dapat mencegah terjadinya sifilis kongenital (Connor & Nicoll
1998). Pada ibu hamil penderita sifilis dini yang tidak diobati, hingga
sepertiga kasus tersebut mengalami janin mati dan 70-100% bayi akan mengalami
ifeksi (Goh 2001).
7.
Prognosis
Prognosis pada
ibu hamil dengan sifilis buruk, jika tidak dilakukan penanganan yang tepat akan
berdampak buruk baik si ibu maupun untuk janin yang dikandungnya.
8.
Gejala subjektif dan obyektif
Secara umum
manifestasi klinik dari penyakit sifilis yaitu: keluarnya cairan dari vagina,
penis, atau dubur yang berbeda dari biasanya. Dapat berwarna putih susu,
kekuningan, kehijauan, atau disertai bercak darah dan bau yang tidak enak;
perih, nyeri atau panas saat BAK atau setelah buang air kecil (BAK) atau
menjadi sering BAK; Adanya luka terbuka (luka besar sekitar alat kemaluan atau
mulut). Dapat terasa nyeri atau tidak; Tumbuh sesuai sepeti jengger ayam atau
kulit sekitar kemaluan, pada pria skrotum menjadi bengkak dan nyeri; sakit
perut bagian bawah terkadang timbul, terkadang hilang, secaa umum merasa tidak
enak badan atau demam.
Secara khusus
manifestasi klinik dari penyakit sifilis antara lain:
Sifilis stadium
I terjadi efek primer berupa papul tidak nyeri sekitar 3 minggu kemudian
terjadi penjalaran ke kelenjar inguinal medial. Timbul lesi pada alat kelamin
ekstra genital seperti bibir, lidah, tonsil, putting susu, jari dan anus
misalnya pada penulaan ekstrakotal.
Sifilis stadium
II gejala konstitusi seperti nyeri kepala subfebris, anoreksia, nyeri pada
tulang, leher timbul macula,papula, pustule, dan rupia. Kelainan selaput
lendir, limfadenitis yang generalisata.
Sifilis stadium
III terjadi setelah 3-7 tahun setelah infeksi guna dapat timbul pda semua
jaringan dan organ, membentuk nekrosis sentral juga ditemukan di organ dalam,
yaitu lambung, paru-paru. Nodus dibawah kulit dapat berskuma tidak nyeri.
Sifilis
congenital, pada kondisi dini dapat muncul beberapa minggu (3 minggu) setelah
bayi dilahirkan. Kelainan berupa vesikel bula, pemfigus sifilitika, papul,
skuma, secret hidung yang sering bercampur darah, adanya osteokondritis pada
foto roentgen.
Kondisi lanjut
dapat terjadi pada usia 2 tahun lebih. Pada 7-9 tahun dengan adanya keratitis
intersial (menyebabkan kebutaan), ketulian, gigi Hutchinson, varises perporasi
palatum durum, serta kelainan tulang tibia dan frontalis.
9.
Klasifikasi
Stadium satu. Stadium
ini ditandai oleh munculnya luka yang kemerahan dan basah di daerah vagina,
poros atau mulut. Luka ini disebut dengan chancre, dan munculnya di tempat
spirochaeta masuk ke tubuh seseorang untuk pertama kalinya. Pembengkakan
kelenjar bening juga ditemukan selama stadium ini. Setelah beberapa minggu,
chancre tersebut akan menghilang. Stadium ini merupakan stadium yang sangat
menular.
Stadium dua.
Kalau sifilis stadium satu tidak diobati, biasanya penderita akan mengalami
ruam, khususnya ditelapak kaki dan tangan. Mereka juga dapat menemukan adanya
luka-luka dibibir, mulut, tenggorokan, vagina dan dubur. Gejala-gejala yang
mirip dengan flu, seperti demam dan pegal-pegal, mungkin juga dialami pada
stadium ini. Stadium ini biasanya berlangsung selama satu sampai dua minggu.
Stadium tiga.
Kalau sifilis dua masih juga belum diobati, para penderitanya akan mengalami
apa yang disebut dengan sifilis laten. Hal ini berarti bahwa semua gejala
penyakit akan menghilang, namun penyakit tersebut sesungguhnya masih bersarang
dalam tubuh, dan bakteri penyebabnya pun masih bergerak diseluruh tubuh.
Sifilis ini dapat berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya.
Stadium empat.
Penyakit ini akhirnya dikenal sebagai sifilis tersier. Pada stadium ini,
spirochaeta telah menyebar ke seluruh tubuh dan dapat merusak otak, jantung,
batang otak dan tulang.
Orang yang telah
tertular oleh spirochaeta penyebab sifilis dapat menemukan adanya chancre
setelah tiga hari tiga bulanbakteri tersebut masuk kedalam tubuh. Kalau sifilis
stadium satu ini tidak diobati, tahap kedua penyakit ini dapat muncul kapan
saja, mulai dari tiga sampai enam minggu setelah timbulnya chancre.
Sifilis dapat
mempertinggi risiko terinfeksi HIV. Hal ini dikarenakan oleh lebih mudahnya
virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang bila terdapat luka. Sifilis yang
diderita juga akan sangat membahayakan kesehatan seseorang jika tidak diobati.
Baik pada penderita lelaki maupun wanita, spirochaeta dapat menyebar keseluruh
tubuh dan menyebabkan rusaknya organ-organ vital yang sebagian besar tidak
dapat dipulihkan. Sifilis ibu hamil yang tidak diobati juga dapat menyebabkan
terjadinya cacat lahir primer pada bayi yang ia kandung.
10.
Penanganan
Sifilis pada stadium I diberikan benzatin penisilin dengan dosis total 4,8
juta unit secara IM berturut-turut 2,4 juta unit selama seminggu. Penisilin
prokain dalam aluminium monostearat (PAM) setiap 3 hari sekali 1,2 juta unit
sehingga mencapai dosis total 4,8 juta unit. Penisilin prokain dalam akua
600.000 unit sehari selama 8 hari sehari-hari.
Sifilis stadium II diberikan benzatin penisilin dengan dosis total 6,0
juta unit secara IM 2,4 juta unit selang seminggu, penisilin Prokain dalam
aluminium monostrearat (PAM) setiap 3 hari sekali 1,2 juta unit sehingga
mencapai dosis total 6 juta unit. Penisilin Prokain dalam akua 600.000 unit
sehari selama 10 hari sehari-hari.
Sifilis stadium III (Sfilis kardiovaskuler atau neuro sifilis) diberikan
benzatin penicilin dosis total 9 juta unit, disuntikan berturut-turut 2,4 dan
1,8 juta unit selang seminggu. Penesilin Prokain dalan aluminium monostearat
(PAM) setiap 3 hari sekali 1,2 juta unit sehingga mencapai dosis total 9 juta
unit. Penesilin Prokain dalam akua 600.000 unit sehari selam 15 hari
sehari-hari.
Apabila
penderita alergi terhadap penisilin untuk sifilis stadium I dan II diberikan
tetrasiklin HCL dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 15 hari. Pada stadium III
diberikan tetra siklin HCL dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 30 hari.
Sesudah
pemberian pengobatan yang cukup, setiap penderita sifilis harus tetap dalam
pengamatan selama kurang lebih 2 tahun. Pemeriksaan ulang eliputi pemeriksaan
fisiki dan serologis dilakukan pada bulan ke 1,3,6,12, dan 24 setelah
pengobatan selesai. Bilamana selama pengamatan titer tes serologis menunjukkan
penurunan dan akhirnya menjadi negatif, maka sesudah 24 bulan penderita dapat
dilepaskan dari pengamatan.
Para ibu di
Inggris harus menjalani skrining sifilis pada saat pemeriksaan antenatal yang
pertama dan jika perlu harus menjalani pengobatan. Namun demikian,pemeriksaan ini tidak dapat
mendeteksi wanita yang mendapatkan infeksi selama kehamilan, atau wanita yang
sifilisnya sedang dalam periode inkubasi pada saat tes serologis dilakukan
(Connor & Nicoll 1998). Beberapa tes serologis yang digunakan untuk
skrining sifilis adalah :
·
Veneral Disease Reseacrh Laboratory (VDRL)
·
Rapid plasma reagin test (RPR)
·
Treponema pallidum haemagglutination assay (TPHA)
·
Treponema pallidum particle agglutination assay (TPPA)
·
Fluorescent treponemal antibody absorption test
(FTA-abs)
·
EIA treponema
Jika hasil
pemeriksaan klinis dicurigai terjadi sifilis, pemeriksaan mikroskopik area
gelap atau pegambilan spesimen lesi unuk tes antibodi fluoresens harus
dilakukan. (Goh 2001).
Tinjauan
sistematis Cochrane terhadap antibiotik untuk sifilis yang terdiagnosis selama
kehamilan menyimpulkan bahwa obat yang terpilih untuk mengatasi hal tersebut
adalah penisilin itramuskular (Walker 2001). Pada kasus alergi penisilin,
alternatifnya adalah eritromisin karena tetrasiklin dikontraindikasikan pada
kehamilan. Namun demikian, karena transfer eritromisin yang buruk melalui
plasenta, obat ini tidak dapat diandalkan untuk menyembuhkan janin, dan sebagai
tindakan pencegahan kepada bayu, dapat diberikan penisilin pada saat lahir
(Adler 1998).
Pasien harus
diberi tahu tentang kemungkinan reaksi terhadap pemberian penisilin. Reaksi
Jarisch Herxheimer adalah penyakit demam akut yang banyak terjadi pada
pengobatan sifilis primer atau sekunder. Hal ini diperkirakan terjadi akibat
pelepasan zat yang serupa dengan endotoksin pada saat sejumlah besar T.pallidum dibunuh oleh antibiotik. Sakit
kepala, mialgia, menggigil, dan kekakuan dapat terjadi 4-12 jam setelah infeksi
pertama penisilin (Wright & Csonka 2000). Pada saat kehamilan, keadaan ini
dapat menyebabkan stres janin dan persalinan prematur (Adler 1998). Sekalipun
selama kehamilan ibu telah mendapatkan pengobatan penisilin yang adekuat, bayi
sebaiknya tetap diperiksa dan menjalani tes serologi. Pemeriksaan dan tes
tersebut juga haus dilakukan pada saat bayi berusia 6 minggu dan 3 bulan,
sambil memberi waktu agar antibodi maternal yang ditransmisikan secara pasif
sudah benar-benar hilang (Adler 1998). Perlu tidaknya pengobatan dilakukan pada
kehamilan berikutnya masih dalam perdebatan. Sekalipun pengobatan telah
dilakukan, terdapat kemungkinan bahwa beberapa treponema masih tetap ada di
dalam tubuh dan dapat ditransfer melalui plasenta. Namun demikian, Adler (1998)
mengemukakan bahwa, jika ibu terus menjalani pemeriksaan tindak lanjut selama 2
tahu setelah pengobatan dan dipulangkan dalam keadaan sembuh, tes serologis
harus dilakukan saat bayi berusia 3 bulan.
Rendahnya
insiden sifilis secara nasional telah menyebabkan profesional layanan kesehatan
mempertanyakan perlu tidaknya dilakukan skrining sifilis antenatal yang
kontinu. Prevalensi sifilis secara keseluruhan pada wanita hamil di Inggris
adalah 0,06 per 1000 kelahiran hidup (Connor & Nicoll 1998). Namun
demikian, pengawasan rutin yang dilakukan oleh klinik GUM tidak mencakup
informasi tentang kehamilan sehingga hal ini cenderung terabaikan. Angka
sifilis infeksius di Inggris dan Wales mengalami peningkatan drastis sejak 1995
pada wanita yang berusia 16 hingga 24 tahun (PHLS et al 2000). Walaupun prevalensi
sifilis pada kehamilan cukup rendah, kebijakan mengenai skrining iniversal
rutin tetap dianggap sebagai pendekatak yang efektif biaya (Welch 1998).
Diagnosis pasti
ditegakkan dengan cara menemukan T.pallidum dalam spesimen dengan menggunakan
mikroskop lapag pandang gelap, perwarnaan burry atau mikroskop
imunofluoresensi. Pemeriksaan bantu lain adalah tes non treponemal (tes reagen)
untuk melacak antibodi IgG dan IgM terhadap lpid yang terdapat pada permukaan
sel treponema misalnya: Rapid Plasma
Reagen (RPR), Veneral Desease
Research Laboratory (VDRL). Hasil positif palsu tes nontreponemal dalam
populasi masyarakat umum mencapai 1-2% (termasuk pada ibu hamil). Tes
treponemal menggunakan T.pallidum
subspecies pallidum sebagai antigen, sehingga tes ini merupakan jenis tes
konfirmatif misalnya: Treponema pallidum
haemaglutination Assay (TPHA). Pada sebagian besar kasus tes treponema
reaktif, hasil reaktif tersebut akan reaktif seumur hidup. Untuk menegakkan
diagnosis sifilis kongenital pemeriksaan IgM , pada bayi sangat diperlukan,
karena IgM dari ibu tidak dapat melaui plasenta. World Health Organization dan CDC telah merekomendasikan pemberian
terapi injeksi penisilin Benzatin 2,4 juta MU untuk sifilis primer, sekundr dan
laten dini. Sedangkan untk sifilis laten lanjut atau tidak diketahui lamanya,
mendapat 3 dosis injeksi tersebut. Alternatif pengobatan bagi yang alergi
penisilin dan tidak hamil dapat diberik doksisiklin per oral 2 x 100 mg/hari
selama 30 hari, atau tetrasiklin per oral 4 x 500 mg/hari selama 30 hari.
Alternatif pengobatan bagi yang alergi terhadap penisilin dan dalam keadaan
hamil, sebaiknya tetap dibseikan penisilin dengan cara desensitisasi. Bila
tidak memungkinkan, pemberian eritromisin per oral 4 x 500 mg/hari selama 30
hari dapat dipertimbangkan. Untuk semua
bayi yang baru lahir dari ibu yang seropositif agar diberi pengobatan dengan
benzatin penisilin 50.000 IU per kg berat badan, dosis tunggal intramuskular.
Untuk memonitor hasil pengobatan dilakuka pemeriksaan serologi non treponemal 1
bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun setelah pengobatan selesai.
B.
Cytomegalovirus
1.
Definisi
Cytomegalovirus
atau lebih sering disebut dengan
CMV adalh infeksi oportiunistik yang berhubungan dengan HIV. Virus ini dibawa
oleh sekitar 50% populasi dan 90% penderita dengan HIV. Cytomegalovirus juga merupakan anggota keluarga virus herpesyang
biasa disebut dengan herpes viridae. CMV sering disebut dengan sebagai “virus
paradoks” karena bila menginfeksi seseorang dapat berakibat fatal, atau dapat
juga hanya diam di dalam tubuh penderita seumur hidupnya.
Sitomegalovirus
merupakan anggota famili virus herpes. Disebut sitomegalovirus karena memiliki
efek memperbesar sel yang terinfeksi. Studi seroepidemiologis menunjukkan bahwa
infeksi sitomegalovirus merupakan hal yang sering terjadi. Sekitar 60% wanita
usia subur di negara maju menunjukkan adanya infeksi di masa lalu dan 100% dari
hal tersebut terjadi di negara berkembang (Griffiths & Baboonian 1984)
Kebanyakan infeksi
sitomegalovirus bersifat subklinis. Namun demikian, manifestasi klinis infeksi
sitomegalovirus bervariasi sesuai usia, cara penularan, dan kompetensi imun
penderita. Infeksi primer dapat menyebabkan gejala umum ringan jenis
mononukleosis, seperti malaise, mialgia dan demam pada orang dewasa yang
imunokompeten, sedangkan gejala yang bersifat patogenik akan muncul pada
individu yang menderita supresi imun, penerima transplantasi organ, bayi
prematur, dan penderita AID (Stagno 2000). Infeksi sitomegalovirus kambuhan
biasanya tidak memiliki abnormalitas klinis yang dapat dikenali.
2.
Epidemiologi
Human Cytomegalovirus (HCMV/CMV) aau human
herpes virus 5 ditularkan melalui kontak intim dan atau berulang-ulang dengan
pengidap virus, melalui trasmisi veritikal dari ibu kjanin, transfusi produk
darah dan transplantasi organ atau sumsum tulang dan donor seropositif CMV, virus
dapat ditemukan dalam urine, sekresi orofaring, sekresi serviks, vagina, semen,
ASI, air mata dan darah.
CMV dapat menyebabkan
infeksi primer atau rekuen sekunder dapat menyebabkan infeksi kongenital.
Infeksi CMV kongenital dapat terjadi pada bayi seorang ibu yang imun terhadap
CMV meskipun terdapat antibodi dalam serum ibu. Di samping itu seorng ibu dapat
melahirkan lebih seorang bayi dengan infeksi kongenital yang disebabkan
reaktivitas infeksi laten. Difuga infeksi CMV kongenital simptomatik terjadi dalam
trimester I atau II, terutama bila mengakibatkan kerusakan susunan syaraf
pusat.
Janin dan bayi yang
baru lahir dapat terinfeksi CMV karena tertular dari ibunya yang baru
terinfeksi pada saat hamil. Atau sang ibu pernah terinfeksi sebelumnya dan pada
saat hamil virus menjadi aktif lagi (oleh CMV jenis yang sama atau jenis
lain)pada saat hamil.
Penularan dari ibu
kepada janin atau bayinya dapat terjadi pada saat: (a) bayi masih didalam
kandungan (infeksi prenatal) dimana virus ditularkan melalui darah, plasenta
yang menyebabkan infeksi kongenital atau infeksi bawaan; (b) proses melahirkan,
dimana bayi kontak langsung dengan lendir vagina/serviks sang ibu yang
mengandung CMV; (c) setelah lahir (infeksi postnatal) terutama dengan kontak
dengan ASI dan air liur.
Terjadinya penularan
dan tingkat keparahan infeksi pada janin dan bayi bervariasi, tergantung tipe
infeksi yang terjadi pada ibu. Jika ibu terinfeksi pertama kali pada saat
kehamilan (infeksi primer), maka kemungkinan janin tertular sekitar 20-40%, dan
dampak pada janin lebih parah sekitar 10-15% janin yang terinfeksi mengalami
gejala klinis pada saat dilahirkan. Bila infeksi pada ibu terjadi sebelum
kehamilan. Terjadinya penularan kepada janin lebih kecil yaitu 0,2-2,2% dan
pada umumnya bayi jarang menunjukkan gejala klinis pada saat dilahirkan.
Frekuensi infeksi
intrauterin pada infeksi maternal primer jauh lebih tinggi daripada infeksi
maternal rekuren, yaitu 40% berbanding 1%. Demikian juga gejala sekuelensinya
jauh lebih sering pada bayi terinfeksi kongenital dari ibu dengan infeksi
primer sewaktu atau beberapa waktu sebelum kehamilannya kurang lebih 1% (antara
0,4%-2,3%) bayi baru lahir terinfeksi CMV merupakan infeksi kongenital yang
paling sering terjadi pada manusia. Sebanyak 5%-10% bayi-bayi tersebut akan
menunjukkan gejal-gejala (sympomatik) pada masa bayi dan akan mengalami sekuele neurologik.
Sisanya sebanyak
90%-95% bayi tidak menunjukkan gejala (asymtomatik) sewaktu dilahirkan.
Sebanyak 13-24% bayi-bayi asimptomatik tersebut dapat mengalami cacat bermakna
di kemudian hari seperti tuli saraf dan gangguan perkembangan sekitar 2-28% ibu
hamil yang terinfeksi dapat menularkan. CMV kepada bayinya melalui lendir
vagina/serviks pada saat proses melahirkan. Rata-rata 50% bayi yang terpapar
CMV akan mengalami infeksi muncul pada usia bayi 4-6 minggu.
ASI yang terinfeksi
mengandung CMV dapat menjadi sumber penularan bagi bayi saat menyusui.
Rata-rata 50-60% bayi yang mengonsumsi ASI yang mengandung CMV akan terinfeksi.
Tetapi karena CMV yang terdapat pada ASI umumnya akibat reaktivitas virus
(infeksi sekunder) maka kebanyakan bayi yang tertular tidak sakit karena telah
memiliki antibodi dari ibunya. Tingkat antibodi maternal tidak mempengaruhi
frekuensi dan onset infeksi pada bayinya.
3.
Tanda dan gejala
Sebagian
besar infeksi tidak menimbulkan gejala, tetapi sekitar 155 orang dewasa yang
terinfeksi memperlihatkan sindrom mirip mononukleosis infeksiosa yang ditandai
oleh demam, aringitis, limfadenopati dan poliarteritis. Wanita dengan gangguan
imunitas mungkin mengalami miokarditis,pneumonitis, hepatitis, retinitis,
gastroenteritis atau meningoensefalitis.
4.
Manifestasi klinik (gejala yang timbul)
Pada manusia sehat dengan kehamilan atau imunokompeten penyakit infeksi CMV sering sekali asymptomatik.
Gejala yang kadang timbul berupa gejala mirip mononukleus tanpa disertai
faringitis tonsilitis, atau limfedenopati. Peularan secara veritikal pada
infeksi primer maupun sekunder/rekuren belum dapat di prediksi. Janin dalam
kandungan tidak atau dapat terinfeksi baik pada infeksi primer ataupun
sekunder/rekuren. Pada infeksi CMV kongenital symtomatik diagnosisnya dapat
diperlukan secara klinis manifestasi klinisnya antara lain berupa retardasi
pertumbuhan, intrauterin, kuning, hepatosplenomegali, asites, petekie, atau
pupura, pneumonitis, trombositopenia, hepatitis, hiperbilirubinemi, anemia
hemolitik.
5.
Infeksi sitomegalovirus pada kehamilan
Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa infeksi primer terjadi pada semua trimester dengan sekitar
37% neonatus lahir dengan infeksi kongenital. Tidak jelas mengapa pada kasus
lainnya infeksi primer tidak menembus plasenta, tetapi karena mayoritas
neonatus yang terinfeksi tidak mengalami penyakit ini, risiko ibu yang
menderita infeksi primer untuk memiliki bayi yang terkena sitomegalovirus
kongenital hanya sekitar 7% (Griffiths 2001). Telah dikemukakan bahwa infeksi
primer maternal itu sendiri tidak dapat dijadikan kriteria untuk melakukan
aborsi elektif (Griffiths & Baboonian 1984).
Wanita sudah imun
terhadap sitomegalovirus sebelum kehamilan masih dapat melahirkan bayi yang
menderita infeksi sitomegalovirus kongenital (Rutter et al 1985). Pada kasus
semacam ini, jenis infeksi kambuhan tidak mungkin dapat dibedakan; dalam hal
ini, infeksi cenderung terjadi karena reaktivasi sitomegalovirus laten maternal
bukan karena reinfeksi dar sumber lain, misalnya dari ayah.
Insiden penularan
veritikal dengan infeksi kambuhan dapat bervariasi antara 0,15% dan 1,5% pada
wanita seropositif, bergantung pada prevalensinya. Hal ini menunjukkan bahwa
sirkulasi sitomegalovirus dikomunitas merupakan faktor risiko terjadinya
infeksi primer selama kehamilan dan juga infeksi kambuhan pada ibu (Griffithas
2001).
6.
Infeksi janin dan neonatus
Sitomegalovirus
merupakan infeksi intrauterus yang paling sering terjadi, menyerang 0,4 hingga
2,3% dari semua kelahiran hidup. Tidak seperti rubella yang memiliki efek
teratogenik, sitomegalovirus memungkinkan organ janin berkembang normal, tetapi
menyebabkan penyakit akibat perusakan sekunder terhadap sel. Hingga 18% bayi yang
lahir dari ibu yang menderita infeksi primer dapat mengalami gejala pada saat
lahir. Oleh sebab itu, prognosisnya tidak baik. Lebih dari 90% pasien yang
simptomatik mengalami tuli
sensorineural, retardasi mental, korioretinitis dan komplikasi lain pada
tahun berikutnya (Fowler et al 1992; Stagno et al 1986). Bayi yang menderita
infeksi subklinis prognosisnya lebih baik, tetapi 5-15% akan menderita sukuela
yang biasanya tidak begitu berat dibandingkan bayi yang menderita infeksi
simptomatik pada saat lahir. Sebagian besar infeksi kongenital simptomatik, dan
infeksi yang menyebabkan sekuela terjadi akibat infeksi primer yang didapat
selama kehamilan (10-15%), bukan infeksi kambuhan pada wanita hamil (0-2%)
(Stagno 2000).
Infeksi perinatal
terjadi akibat pajanan sitomegalovirus pada saluran genital maternal saat
persalinan atau melalui ASI. Infeksi ini biasanya terjadi dengan adanya
antibodi maternal yang didapatkan secara pasif. Sebagian besar bayi yang
terkena infeksi bersifat asimptomatik, tetapi terkadang infeksi yang diperoleh
pada periode perinatal yang menyebabkan pneumonitis pada bayi prematur dan bayi
cukup bulan yang sakit, Sukuela neurologis, dan retardasi psikomotor.
7.
Diagnosis dan pengobatan
Infeksi CMV pada ibu
hamil dapt memberikan gejala asimptomatis atau gejala tidak khas dan mempunyai
spectrum yang luas sehingga memerlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan
diagnosis. Bila pemeriksaan serologis menunjukkan hasil negatif atau positif
maka perlu dilakukan konseling untuk mencegah infeksi CMV baik primer maupun
sekunder/rekuren. Pada skrining ibu hamil dengan pemeriksaan serologis
digunakan kombinasi anti CMV IgG dan IgM pada ibu hamil kurang dari 12 minggu.
Pada ibu seronegatif dilakukan pemeriksaan ulangan pada kehamilan 6-18 minggu.
Pada ibu dengan serokonversi atau anti CMV positif dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Penentuan infeksi CMV aktif dapat juga ditentukan oleh pemeriksaan
antignmiam, deteksi dan pngukuran dengan pp65 pada lukosit darah tepi hasil
pemeriksaan antigenemia mempunyai sensitivitas 60-70%.
Infeksi sitomegalovirus
dapat didagnosis dengan metode langsung seperti kultur virus, (dari urine,
saliva, ASI, sekresi serviks, biopsi, dan spesimen otopsi), PCR, dan deteksi
antigen. Viremia menunjukkan keaktifan penyakit dan prognosis yang buruk, baik
pada infeksi primer, infeksi kambuhan, atau infeksi yang tidak diketahui.
Metode langsung tidak dapat membedakan antara infeksi primer dan infeksi
kambuhan. Cara terbaik untuk membedakan antara infeksi sitomegalovirus
kongenital dan infeksi sitomegalovirus perinatal adalah dengan mengisolasi
virus dari urine atau saliva selama 2 minggu pertama setelah kelahiran.
Infeksi primer
dipastikan dengan serokonversi atau deteksi simultan terhadap antibodi IgG dan
IgM. Antibodi IgG dapat terus ada seumur hidup dan peningkatan titer dapat
terjadi setelah infeksi primer atau infeksi kambuhan. Antibodi IgM hanya muncul
aementara (4-16 minggu) selama fase akut infeksi primer simptomatik atau
asimptimatik pada orang dewasa. Metode lain meliputi radioimmunoassay, enzim immunoassay,
dan IgM-capture radioimmunoassay.
Gansiklovir dan
foskarnet telah digunakan dengan hasil yang baik untuk mengatasi infeksi
sitomegalovirus yang membahayakan jiwa penjamu yang menderita gangguan imun.
Kedua obat tersebut, bagaimanapun juga bersifat toksik (Stagno 2000). Tindakan
lain, seperti penggunaan darah dan produk darah yang bebas dari
sitomegalovirus, dan kemungkinan penggunaan organ dari donor yang bebas dari
sitomegalovirus, merupakan cara penting mencegah penyakit dan infeksi
sitomegalovirus pada pasien yang non-imun.
C.
Rubella
1.
Definisi
Infeksi virus Rubella
merupakan penyakit ringan pada anak dan dewasa, tetapi apabila terjadi pada ibu
yang sedang mengandung virus ini dapat menembus dinding plasenta dan langsung menyerang
janin. Rubella atau dikenal juga dengan nama campak jerman adalah penyakit menular yang disebabkan oleh vius
Rubella. Virus biasanya menginfeksi tubuh melalui pernafasan seperti hidung dan
tenggorokkan. Anak-anak biasanya lebih cepat sembuh dibandingkan dengan oang
dewasa.
Virus ini dapat menukar
lewat udara. Selain itu vius Rubella dapat ditularkan melalui urine, kontak
pernafasan dan memiliki masa inkubasi 2-3 minggu. Penderita dapat menularkan
virus selama seminggu sebelum dan sesudah timbulnya Rush (ruam) pada kulit.
Rash Rubella berwarna merah jambu, akan menghilang dalam 2-3 hari, dan tidak
selalu muncul dalam setiap kasus infeksi. Sindroma congenital terjadi pada 25%
atau lebih pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita Rubella pada trimester
pertama. Jika ibu menderita infeksi ini setelah kehamilan berusia lebih dari 2
minggu, jarang terjadi kelainan bawaan pada bayi. Kelainan bawaan yang bisa
ditemukan pada bayi baru lahir adalah tuli, katarak, mikrosefalus,
keterbelakangan mental, kelainan jantung bawaan dan kelainan lainnya.
Rubella walaupun
merupakan penyakit yang tidak berarti diluar kehamilan. Jelas meningkatkan
angka kematian perinatal yang sering menyebabkan cacat bawaan pada janin. Yang
terakhir terutama dijumpai apabila infeksi terjadi dalam kehamilan triwulan I
(30-50%), lebih dini lebih besar kemungkinannya. Diagnosis pasti dapat dibuat
dengan isolasi virus, atau dngan ditemukannya titer antibody Rubella dalam
serum. Pemeriksaan satu kali saja tidak memberi kepastian karena banyak orang
dewasa sudah kebal terhadap Rubella. Apabila titer 1:10 atau lebih, maka ini
dapat dianggap bahwa wanita sudah kebal. Apabila titer mula-mula 1:8 atau
kurang, pada pemeriksaan 10-14 hari berikutnya ditemukan titer yag 4 kali lebih
tinggi, maka kemungkinan viremia sangat besar, walaupun gejala-gejala klinisnya
tidak timbul.
Penyakit ini disebabkan
oleh virus Rubella, walaupun indikasi atau penyakitnya mirip, dengan campak,
tetapi penyakit ini disebabkan virus yang berbeda dengan virus campak. Penyakit
ini biasa meyerang sekali seumur hidup. Jika terkena pada ibu-ibu hamil, virus
Rubella dapat menembus plasenta dan menyerang janin yang sedang tumbuh sehingga
menyebabkan janin yang dikandung akan cacat.
Infeksi Rubella
berbahaya bila terjadi pada hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada
bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan, maka terjadi
risioko kelainan adalah 50% sedangkan jika infeksi terjadi pada trimester
pertama maka risikonya menjadi 25%.
2.
Tanda dan Gejala
Gejala-gejala Rubella
pada dasarnya hampir sama dengan campak biasa yang telah dikenal dengan
ciri-ciri panas tinggi, pusing kepala, sakit yang berkesinambungan,dan
tenggorokkan kering. Selain itu biasanya juga disertai dengan timbulnya
bercak-bercak merah layaknya gejala DBD (Demam Berdarah Dengue).
Gejala-gejala infeksi
Rubella: Pembengkakan pada kelenjar getah bening, demam diatas 38o
C, maka terasa nyeri, muncul bintik-bintik merah diseluruh tubu, kulit kering,
sakit pada persendian, sakit kepala, hilang nafsu makan.
3.
Komplikasi terhadap ibu dan janin
a.
Efek pada janin
Pada trimester I (minggu pertama-13), jika ibu hamil
mendapatkan Rubella pada masa ini maka kemungkinan akan brakibat fatal (+
90%) pada janin. Semakin awal usia kehamilan, maka semakin besar risiko hal ini
akan tertular pada janin. Sesudah miggu kesepuluh, risiko cacat fisik dan
non-fisik pada janin juga berkurang namun masih dimunkinkan terjadinya cacat
non-fisik berupa kurang berfungsinya pendengaran ataupun penglihatan pada bayi
yang kemungkinan baru bisa disembuhkan ketika mereka beranjak dewasa. Pada masa
ini bisa jadi para dokter kandungan merekomendasikan untuk menggugurkan
kandungan. Pada trimester kedua pada minggu ke-14 dan ke-15 pada umumnya risiko
penularan ke janin juga semakin kecil. Namun masih dimungkinkan terjadi
kecacatan pada pendengaran dan penglihatan. Pada trimester ketiga setalah
mibggu ke-16 risiko cacat pada janin boleh dibiang sudah hampir tidak ada. Oleh
karena itu sangat disarankan kepada para ibu hamil untuk menghidarai orang yang
sedang terkenan Rubella khususnya pada trimester pertama.
Visus tampaknya tidak teratogenik (Siegel,1973).
Terjadi peningkatam frekuensi abortus, peralinan kurang bulan, dan berat lahir
rendah pada wanita hamil dengan campak (Amerika Academy of Pediatrics,2006;
siegel dan Fuerst 1966). Jika seorang wanita terjangkit campak segera sebelum
melahirkan, terdapat risiko signifikan infeksi yang serius pada neonatus,
khususnya neonatus kurang bulan.
4.
Mendeteksi Infeksi Rubella pada Ibu Hamil dan
Janinnya
Lebih dari 50% kasus
infeksi Rubella pada ibu hamil bersifat subklinis atau gejala sehingga sering
tidak disadar. Karena dapat berdampak negatif bagi janin yang dikandungnya maka
deteksi infeksi Rubella pada ibu hamil yang belum memiliki kekebalan terhadap
infeksi Rubella sangat penting, risiko tertularnya jain yang dikandung oleh ibu
terinfeksi Rubella bervariasi, tergantung kapan ibu terinfeksi. Risiko janin
tertular meningkat hingga 100% jika ibu terinfeksi saat usia kehamilan > 36
minggu. Janin yang tertular berisiko mengalami sindrom Rubella Kongenital,
terutama bila infeksi terjadi pada usia janin < 4 bulan. Meskipun infeksi
dapat terjadi sepanjang kehamilan, namun jarang terjadi kelainan bila infksi
terjadi setelah usia kehamilan > 20 minggu.
5.
Pemeriksaan Rubella
Ada beberapa
pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi infeksi Rubella, yang lazimnya
dilakukan adalah pemeriksaan anti Rubella IgM dan anti Rubella IgG pada darah
ibu. Seorang ibu positif Rubella apabila hasil laboratorium menunjukkan Rubella
IgM-nya negatif dan Rubella IgG-nya positif. Pemeriksaan anti Rubella dapat
digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil, jika
ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan
anti-Rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut
pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi Rubella bawaan.
Untuk memastikan apakah
janin terinfeksi atau tidak, maka dilakukan pendeteksian virus Rubella dengan
tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction).
Bahan pemeriksaan diambil dari air ketuban (cairan Amnion) atau darah janin.
Pengambilan sample air ketuban ataupun darah janin harus dilakukan oleh dokter
ahli kandungan dan kebidanan, dan hanya dapat dilakukan setelah usia diatas 22
minggu. Infeksi terjadi melalui kontak langsung dengan penderita.
6.
Cara pencegahan Rubella
Lakukan peyuluhan
kepada masyarakat umum mengenai cara penularan dan pentingnya imunisasi Rublla.
Penyuluhan oleh petugas kesehatan sebaiknya menganjurkan pemberian imunisasi
rubella untuk semua orang yang rentan. Upaya diarahkan untuk meningkatkan
cakupan imunisasi Rubella pada orang dewasa dan berupa muda yang rentan.
Memberikan dosis tunggal vaksin hidup, yaitu virus Rubella yang dilemahkan,
dosis tunggal ini memberikan antibody yang signifikan, yaitu kira-kira 98-99%
dari orang yang rentan. Vaksin dikemas dalam bentuk kering dan sesudah
dilarutkan harus disimpan dalam suhu 2-8o C. Jika diketahui adanya
infksi alamiah pada awal kehamilan, tindakan aborsi sebaiknya dipertimbangkan
karena terjadinya risiko cacat pada janin sangat tinggi. Pada beberapa
penelitian yang dilakukan pada wanita hamil yang tidak sengaja diimunisasi,
kecacatan kongenital pada bayi yang lahir hidup tidak ditemukan, dengan
demikian imunisasi yang terlanjur diberikan pada wanita yang kemudian ternyata
hamil tidak perlu dilakukan aborsi tetapi risiko mungkin terjadi dan sebaiknya
harus dijelaskan. Keputusan akhir apabila akan dilakukan aborsi diserahkan pada
wanita tersebut dan dokter yang merawatnya
7.
Penyakit Rubella pada Kehamilan
Pada umunya sebelum
pasangan merencanakan untuk hamil, dianjurkan untuk melakukan test TORCH,
dimana salah satu yang ditest adalah memastikan bahwa pasangan yang bersangkutan
telah memiliki kekebalan terhadap Rubella.
D.
Varicella
1.
Definisi
Cacar Air, dalam bahasa
Inggris disebut sebagai Chickenpox,
atau dalam bahasa kedokteran disebut sebagai Varicella. Penyakit yang sangat menular ini disebabkan virus
bernama Varicella Zooster Virus
(VZV). Varicella atau Cacar Air merupakan infksi akut menular. Cacar air adalah
salah satu pnyakit yang umum ditemui pada anak-anak. 90% kasus cacar air
terjadi pada anak di bawah sepuluh tahun. Dan lebih dari 90% orang telah
mengalami cacar air pada saat mereka berusia 15 tahun. Insiden penyakit ini
paling tinggi terlihat pada usia 5-9 tahun. Cacar air terjadi akibat infeksi
primer (pertama kali) Varicella Zoster
Virus (VZV). Karena disebabkan virus, penyakit ini sembuh dengan
sendirinya. Namun setelah sembuh, VZV tidak benar-benar hilang dari tubuh.
Virus ini akan menetap dibagian saraf tertentu dan nantinya dapat terakivasi
kembali dalam bentuk herpes zoster (cacar ular atau shingles). Herpes zooster
ini umumnya terjadi pada usia di atas 60 tahu dan pada sebagian besar kasus
hanya terjadi sekali.
2.
Etiologi
Penyebab penyakit ini
adalah oleh infeksi dari virus Varicella-Zoster (VZV), virus ini ditularkan
melalui percikan ludah penderita atau melaui benda-benda yang terkontaminasi
oleh cairan dari lepuhan kulit. Penderita bisa menularkan penyakitnya mulai
dari timbulnya gejala sampai lepuhan yang terakhir telah mengering. Untuk
mencegah penularan, sebaiknya penderita diisolasi (diasingkan). Jika seseorang
pernah menderita cacar air, maka dia akan memiliki kekebalan dan tidak akan
menderita cacar air lagi. Tetapi virusnya bisa tetap tertidur di dalam tubuh
manusia, lalu kadang menjadi aktif kembali dan menyebabkan herpes zoster.
3.
Patogenesis
Infeksi virus masuk
bersama air borne droplet (udara)
masuk ke traktus respiratorius (pernafasan), tidak tetutup kemungkinan
penularan juga lewat lesi kuit tapi penyebaran paling efektif melalui sistem
respirasi. Selanjutnya virus akan berkembang di dalam sistem
retikuloendotelial, kemudian akan terjadi viremia disertai gejala konstitusi
yang diikuti dengan munculnya lesi di permukaan virus.
4.
Manifestasi klinik
Masa inkubasi 14-21
hari, penyakit yang umumnya ringan ini ditandai dengan demam ringan dan ruam
yang gatal diseluruh tubuh. Seblum ruam tersebut muncul, biasanya dapat
mengalami gejala awal (prodrome) seperti demam ringan, sakit kepala, sore
throat, rasa lemas, atau pembesaran kelenjar getah bening di leher bagian
belakang. Gejala awal ini dapat brlangsung 1-6 hari sebelum ruam cacar muncul.
Ruam cacar air pertama
muncul di badan untuk kemudian menyebar ke wajah, lengan, dan tungkai. Ruam
awalnya tampak sebagai bintik-bintik merah, lalu menjadi benjolan-benjolan
kecil berisi cairan jernih (vesikel), untuk kemudian pecah dan mengering. Ruam
ini muncul secara bertahap selama 3-4 hri sehingga pada puncak masa sakit dapat
ditemui ruam dalam semua tahapannya (bintik-bintik, benjolan berisi cairan, dan
ruam yang mngering). Selain di kulit, ruam juga dapat muncul di selaput mukosa
seperti bagian dalam mulut atau vagina.
Umumnya ruam
membutuhkan sekitar 7-14 hari untuk sembuh, sementara proses berlangsung muncul
lagi vesikel baru sehingga menimbulkan gambaran yang polimorf. Penyebaran
Varicella: (1) biasanya dimulai dari
badan (dada), menyebarn ke wajah dan ekstremitas; (2) bentuk makula, papula,
vesikula, dan krusta dan dapat terjadi pada waktu yang sama, bila terjadi
infeksi sekundr, cairan vesikula yang jernih akan berubah menjadi nanah
lymfodenopati.
Infeksi varicella
berawal sebagai gejala mirip flu yang berlangsung 1 atau 2 hari, yang diikuti
oleh lesi-lesi vesikular gatal yang mengalami krustasi dalam 3 sampai 7 hari.
Infeksi cenderung lebih parah pada orang dewas, dan hampir separuh dari
kematian akibat varicella terjadi pada orang dewasa non-imun yang jumlahnya 5
persen (Centers for Disease Control and Prevention,1999).
Kematian pertama
disebabkan oleh pneumonia varisela, yang diperkirakan lebih parah pada masa
dewasa dan terutama pada kehamilan. Harger dkk., (2002) melaporkan bahwa 5%
wanita hamil yang terinfeksi mengalami pneumonitis. Angka kematian ibu pada
pneumonia telah menurun sebesar 1-2% (Chandra dkk.,1998). Gejala pneumonia
biasanya muncul 3-5 hari setelah awitan penyakit. Gejala berupa demam, takipnu,
batuk kering, dan nyeri pleuritik. Infiltrat nodular serupa dengan virus
pneumonia lainnya. Meskipun resolusi pneumonitis paralel dengan perbaikan lesi
kulit namun demam dan gangguan fungsi paru dapat menetap berminggu-minggu.
5.
Efek ibu
Bahkan ibu bisa
mengalami komplikasi berupa radang otak atau radang paru. Bagi ibu hamil, cacar
air bisa membahayakan kesehatan ibu dan janin dalam kandungan.
Infeksi varicella pada
ibu hamil trimester I mungkin menyebabkan cacat bawaan sperti korioretinitis,
atrofi korteks selebri, hidronefrosis dan kelainan pada tulang dan kulit. Jika
infeksi pada kehamilan kurang dari 13 minggu, cacat bawaan terjadi sebesar
0,2%, jika pada kehamilan 13-20 minggu sebesar 2%, tetapi jika infeksi terjadi
setelah 20 minggu umumnya tidak terjadi kelainan. Masa inkubasi varicella virus
umumnya kurang dari 2 minggu. Jika persalinan terjadi sebelum masa inkubasi
atau pada persalinan , maka karena antibodi pada tubuh ibu belum terbentuk ,
bayi akan terinfeksi dan menimbulkan cacat pada usus dan susunan saraf pusat.
Karena hal tersebut bayi yang lahir dari ibu hamil seperti disampaikan di atas
harus disuntik dengan VZIG atau ZIG, meskipun daya proteksinya 60-70%.
6.
Efek janin
Jika ibu hamil
terjangkit cacar air akan menambah risiko pada janin : kematian janin atau
sindroma varicella kongenital berupa kelainan bentuk dan saraf yang parah
sehingga bayi mengalami retardasi mental. Bisa juga bayi lahir prematur.
Sekitar 20% janin dari ibu penderita cacar air berisiko meninggal dunia dalam
waktu lima hingga sepuluh hari setelah dilahirkan.
Jika cacar air
menyerang ibu hamil dalam trimester pertama, bisa saja bayi lahir dengan berat
badan rendah atau kelainan janin. Misalnya kelainan mata, otak, kaki, tangan,
paru, dan tulang rahang mengecil. Jika terjadi pada trimester kedua dan ketiga,
cacar ai umumnya tak menyebabkan kelainan bawaan. Namun kemungkinan bayi lahir
prematur atau menderita bintil-bintil berisi air setelah sepuluh hari
dilahirkan. Pencegahan hanya bisa dilakukan dengan vaksinasi.
Seorang ibu hamil yang
belum pernah terkena penyakit cacar air, dan dia tidak menderita penyakit
gangguan imunitas lainnya; jika ia terjangkit penyakit cacar air, virus ditubuh
ibunya dapat menulari bayi dalam kandungannya melalui plasenta. Pentig untuk
diingat; jika infeksi terjadi dalam 28 minggu pertama kehamilannya dapat
terjadi sebuah kelainan bernama congenital
varicella syndrome atau fetal
variclla syndrome (sindroma cacar air pada bayi dalam perut ibu).
Efek dari penyakit ini
bagi sang bayi bermacam-macam tingkat bahayanya, yaitu: kerusakan otak, ensefalitis (radang otak), mikrosefal (perkembangan
otak terhambat, sehingga otaknya menjadi kecil), hidrosefal (gangguan sirkulasi
cairan otak, sehingga otaknya menjadi besar), aplasia otak, dan lain-lain; kerusakan mata : mikro-oftalmik (ukuran
kecil), katarak, korioretinitis, gangguan saraf mata, dan lain-lain; gangguan saraf : kerusakan saraf spinal
(tulang belakang), gangguan saraf motorik
(penggerak) dan sensorik (perasa), hilangnya reflex, sindroma Horner,
dan lain-lain; kerusakan tubuh :
kegagalan pembentukan tungkai tubuh (jari, tangan, kaki), gangguan anus dan
otot kandung kencing dan lain-lain; gangguan
kulit : timbul jaringan parut (seperti luka dalam), gangguan warna kulit,
dan lain-lain.
Infeksi bayi pada usia
tua kehamilan atau sesaat setelah lahir disebut sebagai varicella neonatus. Pada
usia kehamilan yang lanjut infeksi cacar air berisiko menimbulkan kelahiran
prematur.
7.
Pencegahan
Varicella (cacar air)
dapat dicegah dengan beberapa cara Vaksinasi: vaksinasi memberikan perlindungan
penuh dari cacar air pada 8-9 dari 10 orang. Pada orang tetap mengalami cacar
air setelah vaksinasi, cacar ir yang dialami sangat ringan, dengan jumlah ruam
dibawah 50, demam ringan atau tanpa
demam, dan hanya berlangsung beberapa hari. Vaksinasi diberikan pada kelompok-kelompok
berikut: anak dengan usia antara 12-18 bulan yang belum pernah mengalami cacar
air harus mendapatkan satu dosis vaksinasi; anak dengan usia antara 19 bulan
higga 13 tahun yang belum pernah mengalami cacar air harus mendapatkan satu
dosis vaksinasi; orang dewasa yang belum pernah mengalami cacar air dan bekerja
atau tinggal di lingkungan di mana penularan cacar air sangat mungkin terjadi,
misalnya di sekolah, penitipan anak, rumah sakit, asrama, penjara, atau barak
militer.
Wanita usia reproduktif
yang belum pernah mengalami cacar air dan tidak dalam keadaan hamil; orang
dewasa dan remaja yang belumpernah mengalami cacar air dan tiggal dengan
anak-anak; orang yang hendak bepergian ke luar negeri dan belum pernah mengalami cacar air.
Varicella
Zoster Immunoglobulin (VZIG)
direkomendasikan oleh CDC and prevention
1996 untuk pencegahan dengan dosis 125 U/10 kgBB, maksimum 625 unit atau 5
vial untuk pencegahan pre atau pascatercemar. Varicella Vaccine (Varivax), merupakan life virus vaksin terapi
tidak direkomendasikan pada perempuan hamil. Terjadinya infeksi virus ini pada
kehamilan 13-20 minggu akan menyebabkan terjadinya cacat bayi pada 0,4-2% dari
kehamilan. Kelainan dapat merupakan korioretinitis, atrofi kortek selebri,
hidronefrosis, dan cacat pada kulit serta kaki. Jika infeksi terjadi sesaat
sebelum dan sesudah persalinan juga berbahaya bagi bayi karena antibodi ibu
belum terbentuk (masa inkubasi virus ini umunya kurang dari 14 hari). Karena
itu bayi yang lahir dari ibu hamil dengan infeksi virus ini 5 hari sebelum dan
sesudah persalinan harus segera divaksin dengan VZIG atau ZIG (zoster
immunoglobulin). Dengan pemberian vaksin ini 30-40% bayi masih bisa mengalami
infeksi, tetapi komplikasi dan kematian sangat dikurangi.
8.
Penanganan (pengawasan dokter)
Karena cacar air pada
umumnya ringan dan sembuh dengan sendirinya, penanganan cacar air terutama
ditujukan untuk meringankan gejala yang dapat dilakukakn, yaitu: Tirah baring
secukupnya, parasetamol untuk menurunkan demam, Calamine dan mandi dengan air
suam-suam kuku untuk meringankan rasa gatal, sarung tangan untuk mencegah anak
mnggaruk ruam mungkn dibutuhkan pada anak-anak yang sangat kecil; Makanan yang
lebih lembut dan menyejukkan jika ada ruam di dalam mulut; sedangkan beberapa
penanganan yang tidak dianjurkan adalah , yaitu: Antihistamin yang brsifat
sedatif (membuat tidur) seperti chlorpheniramine. Obat golongan ini tidak
signifikan untuk menangani rasa gatal pada cacar air; Antivirus tidak
direkomendasikan penggunaanya pada cacar air tanpa komplikasi. Bahkan jika
mulai diberikan pada hari dimana ruam pertama kali muncul, antivirus hanya
mengurangi satu hari dari lamanya sakit. Penelitian yang dilakukan juga
menunjukkan bahwa acyclovir (salah satu antivirus) tidak bermakna dalam menurunkan
risiko komplikasi pada cacar air. Selain itu penggunaan antivirus secara teori
juga dapat merubahnya respon kekebalan tubuh sehingga virus dapat teraktivasi
kembali lebih cepat dalam bentuk herpes zoster (cacar ular). Antivirus dapat
diprtimbangkan untuk digunakan pada cacar air dengan komplikasi yang berat,
cacar air pada bayi di bawah usia 28 hari, atau pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang rendah. Pemberian antivirus ini harus dilakukan dalam
jangka waktu 48 jam setelah ruam pertama kali muncul. Antibiotik hanya
dibutuhkan jika ada infeksi kulit oleh bakteri.
Oleh karena sebagian
besar orang dewasa 95% seropositif VZV,
bahkan wanita hamil tanpa riwayat varisela yang terpajan tetap perlu diperiksa
untuk serologi VZV. Paling tidak 70% dari mereka akan seropositif dan karenanya
kebal. Wanita hamil yang terpajan dan rentan perlu diberi variZIG dalam 96 jam
pajanan untuk mencegah atau memperlemah infeksi varisela.
Wanita hamil yang
didiagnosis menderita infeksi varisela primer perlu diisolasi dari wanita hamil
lainnya. Pneumonia sering tidak memperlihatkan foto toraks. Sebagian besar
wanita hanya memerlukan terapi suportif, tetapi mereka yang memerlukan cairan
intravena dan khususnya mereka yang mengidap pneumonia perlu dirawat-inap.
Terapi asiklovir intravena diberikan dengan dosis 500 mg/m2 atau 10-15 mg/kg
setiap 8 jam.
Suatu vaksin virus
hidup yang telah dilemahkan varivax telah disetujui pemakaiannya pada tahun
1995. Dua dosis, yang diberikan terpisah 4-8 minggu, dianjurkan untuk remaja
dan dewasa tanpa riwayat varisela. Vaksinasi ini menghasilkan serokonversi 97%
(Centers for Disease Control and Prevention,2007e). Imunitas yang dipicu oleh
vaksin berkurang seiring waktu, dan angka infeksi breakthrough adalah sekitar 5% pada 10 tahun (Chaves dkk., 2007).
Vaksin ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan jangan diberikan pada wanita
yang mungkin hamil dalam 1 bulan setelah setiap pemberian dosis vaksin.suatu
data tentang 362 kehamilan yang terpajan vaksin tidak melaporkan adanya sindrom
varisela kongenital atau malformasi kongenital terkait lainnya (Shields
dkk.,2001). Virus yang telah dilemahkan tersebut tidak disekresikan di air
susu. Karena itu, vaksinasi pascapartum jangan ditunda dengan alasan menyusui
(Bohlke dkk., 2003).
Vaksin untuk mencegah
herpes zoster-zostavax- mendapat lisensi
pada tahun 2006 tetapi saat ini tidak dianjurkan untuk orang yang berusia
kurang dari 60 tahun (Centers for Disease Control and Prevention,2007a).
E.
Toxoplasmosis
1.
Definisi
Infeksi toksoplasmosis
dapat menyerang pada manusia akibat termakannya spora toksoplasma gondii.
Penyebab dari infeksi tersebut adalah : makan daging mentah yang mengandung
telur (ookista) toksoplasma; sayuran terkontaminasi telur (ookista)
toksoplasma; melalui tangan yang terkontaminasi (misalkan pada petugas
laboratorium, perkebunan, peternakan, dan lain-lain); kontak yang tidak sengaja
dengan tinja kucing; bermain-main dengan kucing selama hamil.
To xsoplasma gondii
memiliki daur hidup kompleks dengan tiga bentuk; 910 suatu tokizoit yang mnginvasi
dan bereplikasi didalam sel selama infeksi, (2) suatu bradizoit, yang membentuk
kista di jaringan selama infeksi laten dan (3) suatu sporozoit yang ditemukan
dalam ookista yang tahan terhadap pengaruh lingkungan (Jones dkk., 2001).
Protozoa yang ditemukan di mana-mana ini ditularkan melalui konsumsi daging
mentah atau setengah matang yang telah terinfeksi oleh kista jaringan atau
melalui kontak dengan ookista tinja kucing yang terinfeksi dalam air, tanah,
atau sampah yang tercemar.
2.
Tanda dan gejala
Tidak menunjukkan
tanda-tanda yang jelas. Kadang-kadang hanya ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening leher disertai rasa nyeri, sakit tenggorokan, gangguan pada kulit dan
juga demam. Diagnosis toksoplasmosis pada orang dewasa sangat sulit karena
penyakit ini biasanya tidak disertai gejala-gejal. Karena gejala klinisnya
kurang spesifik, diagnosis pada umunya didapat melalui uji serulogik rutin pada
kehamilan muda.
3.
Komplikasi pada ibu dan janin
a.
Efek janin
Kelainan pada saraf mata dan infeksi mata yang
berat, kelainan sistemik seperti pucat, kuning, demam, pembesaran hati dan
limpa atau perdarahan, encephalus 9tidak memiliki tulang tengkorak),
hydrocephalus (pembesaran kepala), pertumbuhan janin terhambat. Keterlambatan
perkembangan psikomotor dalam bentuk retardasi mental, dang gangguan bicara,
kelainan kongenital, kematian.
b.
Efek ibu
Abortus, kelahiran prematur, kematian janin, partus
prematurus, kematian neonatal, kelainan kongenital pada bayi.
4.
Penanganan
Infeksi toksoplasmosis dapat kita cegah melalui:
hindari makan-makanan yang dimasak setengah matang dan mentah, bersihkan
sayuran dan buah-buahan sebelum dimakan dengan benar, bila anda membersihkan
sampah atau tempat sampah jangan lupa menggunakan sarungan tangan, sebaiknya
serahkan tugas ini pada anggota keluarag lain, pakailah sarung tangan bila anda
ingin mengerjakan pekerjaan kebun atau pekarangan anda, untuk menghindari
kontak langsung dari kotoran terinfeksi, konseling yang berkaitan dengan
infeksi toksoplasmosis risikon terhadap fungsi reproduksi dan hasil konsepsi,
dapat dilakukan dengan rawat jalan, selama kehamilan ibu dapat diterapi dengan
spiramisin atau setelah kehamilan 14 minggu ibu diterapi dengan pirimethamin
dan sulfonamide, evaluasi kondisi antigen dan titer immunoglobin toksoplasma,
upayakan persalinan pervaginam dan apabila terjadi disproporsi kepala panggul
yang disebabkan oleh hidrosefalus, lakukan kajian ultrasonografi ketebalan
kortek untuk pilihan penyelesaian masalah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis
dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tetapi masih
merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyerang seluruh organ tubuh
termasuk sistem peredaran darah, syaraf dan dapat ditularkan oleh ibu hamil
kepada bayi yang dikandungnya, sehingga menyebabkan kelainan bawaan pada bayi
tersebut. Sifilis sering dikenal sebagai lues, Raja Singa.
Cytomegalovirus atau lebih sering disebut dengan CMV adalh infeksi
oportiunistik yang berhubungan dengan HIV. Virus ini dibawa oleh sekitar 50%
populasi dan 90% penderita dengan HIV. Cytomegalovirus
juga merupakan anggota keluarga virus herpesyang biasa disebut dengan
herpes viridae. CMV sering disebut dengan sebagai “virus paradoks” karena bila
menginfeksi seseorang dapat berakibat fatal, atau dapat juga hanya diam di
dalam tubuh penderita seumur hidupnya.
Infeksi virus Rubella merupakan penyakit ringan pada
anak dan dewasa, tetapi apabila terjadi pada ibu yang sedang mengandung virus
ini dapat menembus dinding plasenta dan langsung menyerang janin. Rubella atau
dikenal juga dengan nama campak jerman
adalah penyakit menular yang disebabkan oleh vius Rubella. Virus biasanya
menginfeksi tubuh melalui pernafasan seperti hidung dan tenggorokkan. Anak-anak
biasanya lebih cepat sembuh dibandingkan dengan oang dewasa.
Cacar Air, dalam bahasa Inggris disebut sebagai Chickenpox, atau dalam bahasa kedokteran
disebut sebagai Varicella. Penyakit
yang sangat menular ini disebabkan virus bernama Varicella Zooster Virus (VZV). Varicella atau Cacar Air merupakan
infksi akut menular. Cacar air adalah salah satu pnyakit yang umum ditemui pada
anak-anak. 90% kasus cacar air terjadi pada anak di bawah sepuluh tahun.
Infeksi toksoplasmosis dapat menyerang pada manusia
akibat termakannya spora toksoplasma gondii. Penyebab dari infeksi tersebut
adalah : makan daging mentah yang mengandung telur (ookista) toksoplasma;
sayuran terkontaminasi telur (ookista) toksoplasma; melalui tangan yang
terkontaminasi (misalkan pada petugas laboratorium, perkebunan, peternakan, dan
lain-lain); kontak yang tidak sengaja dengan tinja kucing; bermain-main dengan
kucing selama hamil.
Daftar Pustaka
MMK,Ai yeyeh Rukiyah,S.Si.T.MMK,Lia
Yulianti,Am.keb.2010.Asuhan Kebidanan 4
(Patologi).Jakarta:Trans Info Media
Gunggingham,F.Gary.2012.Obstetri Williams edisi 23.Jakarta:EGC
Fraser,Diane M.Cooper,Margaret A.2009.Buku Ajar Bidan Myles.Jakarta:EGC
Sarwono Prawirohardjo.2010.Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar