Sabtu, 08 Maret 2014

Penyakit Komplikasi pada ibu hamil: Sypilis, cytomegalovirus, Rubella, Varicella, Toxsoplasmosis

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Angka penyakit menular seksual (PMS) di Inggris mengalami peningkatan drastis sejak 1995, dan kasus baru yang ditemukan diklinik GUM saat ini berjumlah lebih dari satu juta kasus per tahun. Angka PMS tertinggi terjadi pada wanita, pria gay, remaja, dewasa muda, dan kelompok etnik kulit hitam serta minoritas (DoH 2001). Sebagian besar wanita tersebut menderita klamidia tanpa komplikasi dan serangan herpes yang pertama, dan pada pria, kebanyakan mereka mengalami kasus sifilis primer dan sekunder serta gonore tanpa komplikasi. Jumlah kasus serangan pertama virus kutil sedikit lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita (PHLS 2001).
Sebelum tahun 1995, jumlah diagnosis PMS akut masih stabil atau rendah (PHLS et al 2000). Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan perilaku seksual akibat adanya epidemik HIV. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka PMS saat ini adalah deteksi penyakit yang lebih baik, kontrol infeksi yang buruk, peningkatan praktik seksual yang tidak aman, perubahan perilaku seksual, dan menurunnya kewaspadaan terhadap HIV dan AIDS dikalangan kaum muda. Namun demikian, terdapat kemungkinan bahwa seperti halnya peningkatan penularan, faktor-faktor seperti layanan klinik GUM yang lebih baik yang disertai dengan kesadaran masyarakat dan kesadaran profesional yang lebih besar juga berperan dalam meningkatnya diagnosis PMS akut (PHLS et al 2000).
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian tentang Sifilis?
2.      Bagaimana pengertian tentang Cytomegalovirus?
3.      Bagaimana pengertian tentang Rubella?
4.      Bagaimana pengertian tentang Varicella?
5.      Bagaimana pengertian tentang Toxsoplasma?
C.    Tujuan
1.      Mengerti dan memahami tentang sifilis.
2.      Mengerti dan memahami tentang Cytomegalovirus.
3.      Mengerti dan memahami tentang Rubella.
4.      Mengerti dan memahani tentang Varicella.
5.      Mengerti dan memahami tentang Toxsoplasma.



















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Sifilis
1.      Definisi
Sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tetapi masih merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyerang seluruh organ tubuh termasuk sistem peredaran darah, syaraf dan dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, sehingga menyebabkan kelainan bawaan pada bayi tersebut. Sifilis sering dikenal sebagai lues, Raja Singa.
Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema Pallidum yang merupakan organisme spiral (spirochate), dan biasanya ditularkan melalui kontak seksual dan juga secara kongenital. Sifilis merupakan penyakit sistemik kompleks yang dapat menyerang semua organ tubuh. Sifilis pada kehamilan dan sifilis kongenital jarang terjadi di Inggris, tetapi tetap menjadi penyebab utama kematian janin dan neonatus di berbagai negara berkembang, terutama dinegara Afrika (Brocklehurst 1999). Sifilis dapat dibagi menjadi beberapa tahap berikut ini (Adler 1998).
1.      Infeksius Awal
·         Primer 9-90 hari setelah pajanan (rata-rata 21 hari)
·         Sekunder 6 minggu-6 bulan setelah pajanan (4-8 minggu setelah lesi primer)
·         Laten (awal) 2 tahun setelah pajanan
2.      Non-infeksius akhir
·         Laten (akhir) > 2 tahun setelah pajanan tanpa tanda atau gejala
·         Neurosifilis, sifilis kardiovaskular, sifilis gumatosa 3-20 tahun setelah pajanan.
Sifilis merupakan penyakit infeksi sistemik disebabkan oleh Treponema Pallidum yang dapat mengenai seluruh organ tubu, mulai dari kulit, mukosa, jantung, jantung hingga susunan saraf pusat, dan juga dapat tanpa manifestasi lesi ditubuh. Infeksi terbagi atas beberapa fase yaitu sifilis primer, sifilis sekunder, sifilis laten dini dan lanjut serta neurosifilis (sifilis tersier). Sifilis umumnya ditularkan lewat kontak seksual, namun juga dapat secara vertikal pada masa kehamilan.
Lesi primer berupa tukak yang biasanya timbuk di daerah genital eksternal dalam waktu 3 minggu setelah kontak. Pada perempuan kelainan sering ditemukan di labia mayor, labia minor, fourchette atau serviks. Gambaran klinik dapat khas, akan tetapi dapat juga tidak khas. Lesi awal berupa papul berindurasi yang tidak nyersi, kemudian permukaannya mengalami nekrosis dan ulserasi dengan tepi yang meninggi, teraba keras, dan berbatas tegas. Jumlah ulserasi biasanya hany satu, namun dapat juga multipel.
Lesi sekunder ditandai dengan malase, demam, nyeri kepala, limfadenopati, generalisata dengan lesi dipalmar, plantar, mukosa oral atau genital, kondiloma lata didaerah intertrigenosa dan alopesia. Lesi kulint biasanya simetris dapat berupa makula, papula, papuloskuamosa, dan pustul yang jarang disertai keluhan gatal. T.pallidum banyak ditemukan pada lesi di selaput lendir atau lesi yang basah seperti kondiloma lata.
Sifilis laten merupakan fase sifilis tanpa gejala klinik dan hanya pemeriksaan serologik yang reaktif. Hal ini mengindikasikan organisme ini masih tetap ada didalam tubuh, dan dalam perjalanannya fase ini dapat berlangsung bertahun-tahun, bahkan seumur hidup. Kurang lebih 2/3 pasien sifilis laten yang tidak diobati akan tetap dalam fae ini selama hidupnya.
Sifilis tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak diobati. Fase ini dapat terjadi sejak beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah fase laten dimulai. T.pallidum menginvasi dan menimbulkan kerusakan pada sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular, mata, kulit, serta organ lain. Pada sistem kardiovaskular dapat terjadi aneurisma aorta dan endokarditis. Gumma timbul akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen T.pallidum, lesi tersebut bersifat destruktif dan biasanya muncul dikulit, tulang atau organ dalam.
Pada kehamilan gejala klinik tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil, hany perlu diwaspadai hasil tes serologi sifilis pada kehamilan normal bisa memberikan hasil positif palsu. Transmisi teponema dari ibu kejanin umumnya terjadi setelah plasenta terbentuk utuh, kira-kira sekitar umur kehamilan 16 minggu. Oleh karena itu bila sifilis primer atau sekunder ditemukan pada kehamilan setelah 16 minggu, kemungkinan untuk timbulnya sifilis kongenital lebih memungkinkan.

2.      Etiologi
Penyebab sifilis adalah masuknya suatu bakteri yang berbentuk spiral atau spirochete yang disebut Treponema pallidum. Dengan strategi hampir selalu menular kekorban baru melalui persetubuhan  atau seks oral, makhluk kecil ini mencari jalan masuk melalui kulit dan dari sana, ia menyebar dengan ganas. Beberapa jam setelah bakteri-bakteri ini masuk kedalam kulit, mereka yang berbentuk spiral ini biasanya berhasil masuk ke dalam aliran darah, dan dalam satu minggu mereka telah menyebar keseluruh tubuh. Jika tidak diobati, infeksi tersebut biasanya berkembang melaui 3 tahap selama bertahun-tahun. Selama tahap pertama (sifilis awal), sebuah bisul yang tidak sakit muncul di tempat dimana bakteri itu masuk kedalam tubuh. Bisul ini chancre biasanya muncul berkisar antara 10 hingga 90 hari setelah infeksi dan hampir selalu dibagian genital.
Biasanya, bisul-bisul sifilis meiliki bagian tengah yang halus dan pinggiran yang menonjol dan keras dan kadang-kadang berisi nanah kuning seperti sebuah lepuh atau jerawat, kemudian menurut Dr. Whiteside. Pada laki-laki, bisul itu biasanya muncul pada atau dekat kepala penis. Pada wanita, bisul-bisul itu biasanya pada labia (bibi-biri vagina), namun kadang berada di vagina bagian dalam, dimana bisul-bisul itu tidak dpat dilihat atau dirasakan. Kadang-kadang, bisul-bisul itu juga muncul dimulut, payudara, jari-jari, lidah atau wajah.
Setelah itu penyakit ini sulit dilacak. Dalam satu atau dua bulan, bisul-bisul itu sembuh dan lenyap, yang menyebabkan banyak orang yang terinfeksi juga menyimpulkan kalau infeksinya telah sembuh. Namun, ini tidak benar.
Penyakit ini hanya menghilang kedalam tubuh dan terus melakukan kerusakan di tempat-tempat yang tidak dapat dilihat. (Inilah alasannya mengapa segala jenis bisul genital harus diperiksa oleh seorang dokter. Jangan hanya menunggu sampai bisul tersebut lenyap karena pada penyakit sifilis bisul itu akan hilang dengan sendirinya. Namun Anda masih terinfeksi dan Anda mungkin dapat menular)..
3.      Patogenesis
Kuman penyebab sifilis disebut Trefonema pallidum. Masa tanpa gejala berlangsung 3-4 minggu, kadang-kadang sampai 13 minggu. Kemudian timbul bejolan disekitar alat kelamin. Ada bercak kemerahan pada tubuh sekitar 6-12 minggu setelah hubungan seks, tetapi akan hilang dengan sendirinya dan sering kali penderita tidak memperhatikan hal lain.
Selama 2-3 tahun pertama penyakit ini tidak menunjukkan gejala apa-apa atau disebut masa laten. Setelah 5-10 tahun penyakit sifilis akan menyerang susunan syaraf otak, pembuluh darah dan jantung. Pada perempuan hamil sifilis dapat ditularkan pada bayi yang dikandungnya dan bisa lahir dengan kerusakan kulit, hati, limfa dan keterbelakangan mental.
Penyebab sifilis adalah Treponema Pallidum. Abrasi kecil di mukosa vagina dapat menjadi pintu masuk bagi spirokaeta ini. Eversi, hiperemia, dan kerapuhan serviks meningkatkan risiko penularan. Spirokaeta bereplikasi dan kemudian menyebar melalui saluran limfe dalam hitungan jam sampai hari. Masa tunas rerata adalah 3 minggu-3 sampai 90 hari bergantung pada faktor penjamu dan besar inokulum. Stadium-stadium awal sifilis mencakup sifilis primer,  sekunder dan laten  dini. Stadium-stadium ini mngisyaratkan jumlah  spirokaeta terbesar dan angka penularan hingga 30-50%. Angka penularan pada penyakit stadium lanjut jauh lebih kecil lebih rendah karena ukuran inokulum yang jauh lebih kecil.
Janin mendapat sifilis melalui beberapa rute. Spirokaeta mudah melewati plasenta untuk menyebabkan infeksi kongenital. Imunokompetensi janin belum ada sebelum sekitar 18 minggu sehingga sebelum periode ini janin umumnya tidak memperlihatkan respons peradangan inflamatorik khas penyakit (Silverstein,1962). Meskipun penularan transplasenta adalah rute tersering namun infeksi neonatus dapat terjadi melalui kontak dengan spirokaeta di lesi saat persalinan atau melalui selaput ketuban.
Meningkatnya angka sifilis pada ibu dikaitkan dengan penyalahgunaan narkotika, khususnya crack cocaine, kurangnya perawatan pranatal, dan kurangnya penapisan (Johnson,2007; lago,2004; Trepka,2006; Warner,2001; Wilson,2007 dkk.,). Dalam sebuah studi tentang sifilis pranatal selama empat dekade, Klass dkk., (1994) menyimpulkan bahwa berlanjtnya prevalensi sifilis pranatal berkaitan dengan penyalahgunaan narkotik, infeksi HIV, kurangnya perawatan pranatal, kegagalan pengobatan dan re-infeksi sebuah laopran dari Maricopa County, Arizona, menambahkan ras atau etnis minoritas sebagai faktor risiko (Taylor dkk.,200).
4.      Prevalensi
Prevalensi sifilis kongenital di Inggris diperkirakan sekitar 70 per satu juta kelahiran (Newell 2001). Prevalensi tersebut diklasifikasikan menjadi sifilis tahap wal, laten dan akhri, serta gambaran klinisnya bervariasi bergantung pada tahapan infeksinya. Sekitar dua pertiga bayi terinfeksi yang lahir hidup tidak menunjukkan tanda dan gejala pada saat lahir, tetapi tanda dan gejala tersebut akan muncul setelah kemudian. Lesi hanya terjadi setelah bayi berusia 4 bulan saat kompetensi imunologis terbentuk (Wright & Csonka 2000). Tes serologi pada saat lahir tidak dapat diandalkan karena adanya transfer pasif dari ibu dan tes IgM spesifik treponema cenderung memberikan hasil positif dan negatif yang tidak benar.
5.      Diagnosis
Diagnosis penyakit ini tidak terlalu sukar karena terdapat luka pada daerah genitalia, mulut atau tempat lainnya. Pengaruhnya pada kehamilan dapat dalam bentuk persalinan prematur atau kematian dalam rahim dan infeksi bayi dalam bentuk lues kongenitas (pempigus sifilis, deskuamasi kulit telapak tangan dan kaki, terdapat kelainan pada mulut dan gigi). Pengobatannya mudah dan sebaiknya diberikan bersama suami diobati penisilin injeksi, untuk wanita hamil trimester 1 di obati sedini mungkin untuk mencegah penularan janin.
6.      Infeksi sifilis pada kehamilan
Penyebab: Treponema Pallidum yang dapat menembus plasenta setelah kehamilan 16 minggu, oleh karena itu baiknya melakukan pemeriksaan serologis sebelum hamil sehingga pengobatan dapat diterapkan sampai sembuh.
Sifilis yang tidak dapat diobati pada kehamilan dapat menyebabkan aborsi spontan, kelahiran prematur, janin lahir mati, kematian neonatus, dan morbiditas bayi yang signifikan walaupun semua hal tersebut bergantung pada tahap infeksi yang dialami ibu. Penularan vertikal dapat terjadi kapan saja pada kehamilan, tetapi hal ini cenderung terjadi jika ibu menderita sifilis primer, sekunder atau laten awal yang disebabkan oleh banyaknya jumlah organisme yang ada dalam sirkulasi pada tahap ini (Adler 1998). Infeksi biasanya tidak terjadi sebelum kehamilan berusia 4 bulan karena treponema dari sirkulasi maternal tidak dapat menembus lapisan sel Langhanyang terdapat pada plasenta di awal kehamilan. Setelah lapisan ini mengalami atrofi, janin terpajan risiko pertama infeksi, meskipun hal ini cenderung terjadi setelah 6 bulan saat atrofi sudah terjadi secara menyeluruh (Ingal et al 1990). Ibu hamil yang menderita sifilis awal cenderung mengalami sifilis infeksius tahap awal dan pengobatan yang dilakukan secara dini dapat mencegah terjadinya sifilis kongenital (Connor & Nicoll 1998). Pada ibu hamil penderita sifilis dini yang tidak diobati, hingga sepertiga kasus tersebut mengalami janin mati dan 70-100% bayi akan mengalami ifeksi (Goh 2001).
7.      Prognosis
Prognosis pada ibu hamil dengan sifilis buruk, jika tidak dilakukan penanganan yang tepat akan berdampak buruk baik si ibu maupun untuk janin yang dikandungnya.
8.      Gejala subjektif dan obyektif
Secara umum manifestasi klinik dari penyakit sifilis yaitu: keluarnya cairan dari vagina, penis, atau dubur yang berbeda dari biasanya. Dapat berwarna putih susu, kekuningan, kehijauan, atau disertai bercak darah dan bau yang tidak enak; perih, nyeri atau panas saat BAK atau setelah buang air kecil (BAK) atau menjadi sering BAK; Adanya luka terbuka (luka besar sekitar alat kemaluan atau mulut). Dapat terasa nyeri atau tidak; Tumbuh sesuai sepeti jengger ayam atau kulit sekitar kemaluan, pada pria skrotum menjadi bengkak dan nyeri; sakit perut bagian bawah terkadang timbul, terkadang hilang, secaa umum merasa tidak enak badan atau demam.
Secara khusus manifestasi klinik dari penyakit sifilis antara lain:
Sifilis stadium I terjadi efek primer berupa papul tidak nyeri sekitar 3 minggu kemudian terjadi penjalaran ke kelenjar inguinal medial. Timbul lesi pada alat kelamin ekstra genital seperti bibir, lidah, tonsil, putting susu, jari dan anus misalnya pada penulaan ekstrakotal.
Sifilis stadium II gejala konstitusi seperti nyeri kepala subfebris, anoreksia, nyeri pada tulang, leher timbul macula,papula, pustule, dan rupia. Kelainan selaput lendir, limfadenitis yang generalisata.
Sifilis stadium III terjadi setelah 3-7 tahun setelah infeksi guna dapat timbul pda semua jaringan dan organ, membentuk nekrosis sentral juga ditemukan di organ dalam, yaitu lambung, paru-paru. Nodus dibawah kulit dapat berskuma tidak nyeri.
Sifilis congenital, pada kondisi dini dapat muncul beberapa minggu (3 minggu) setelah bayi dilahirkan. Kelainan berupa vesikel bula, pemfigus sifilitika, papul, skuma, secret hidung yang sering bercampur darah, adanya osteokondritis pada foto roentgen.
Kondisi lanjut dapat terjadi pada usia 2 tahun lebih. Pada 7-9 tahun dengan adanya keratitis intersial (menyebabkan kebutaan), ketulian, gigi Hutchinson, varises perporasi palatum durum, serta kelainan tulang tibia dan frontalis.
9.      Klasifikasi
Stadium satu. Stadium ini ditandai oleh munculnya luka yang kemerahan dan basah di daerah vagina, poros atau mulut. Luka ini disebut dengan chancre, dan munculnya di tempat spirochaeta masuk ke tubuh seseorang untuk pertama kalinya. Pembengkakan kelenjar bening juga ditemukan selama stadium ini. Setelah beberapa minggu, chancre tersebut akan menghilang. Stadium ini merupakan stadium yang sangat menular.
Stadium dua. Kalau sifilis stadium satu tidak diobati, biasanya penderita akan mengalami ruam, khususnya ditelapak kaki dan tangan. Mereka juga dapat menemukan adanya luka-luka dibibir, mulut, tenggorokan, vagina dan dubur. Gejala-gejala yang mirip dengan flu, seperti demam dan pegal-pegal, mungkin juga dialami pada stadium ini. Stadium ini biasanya berlangsung selama satu sampai dua minggu.
Stadium tiga. Kalau sifilis dua masih juga belum diobati, para penderitanya akan mengalami apa yang disebut dengan sifilis laten. Hal ini berarti bahwa semua gejala penyakit akan menghilang, namun penyakit tersebut sesungguhnya masih bersarang dalam tubuh, dan bakteri penyebabnya pun masih bergerak diseluruh tubuh. Sifilis ini dapat berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya.
Stadium empat. Penyakit ini akhirnya dikenal sebagai sifilis tersier. Pada stadium ini, spirochaeta telah menyebar ke seluruh tubuh dan dapat merusak otak, jantung, batang otak dan tulang.
Orang yang telah tertular oleh spirochaeta penyebab sifilis dapat menemukan adanya chancre setelah tiga hari tiga bulanbakteri tersebut masuk kedalam tubuh. Kalau sifilis stadium satu ini tidak diobati, tahap kedua penyakit ini dapat muncul kapan saja, mulai dari tiga sampai enam minggu setelah timbulnya chancre.
Sifilis dapat mempertinggi risiko terinfeksi HIV. Hal ini dikarenakan oleh lebih mudahnya virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang bila terdapat luka. Sifilis yang diderita juga akan sangat membahayakan kesehatan seseorang jika tidak diobati. Baik pada penderita lelaki maupun wanita, spirochaeta dapat menyebar keseluruh tubuh dan menyebabkan rusaknya organ-organ vital yang sebagian besar tidak dapat dipulihkan. Sifilis ibu hamil yang tidak diobati juga dapat menyebabkan terjadinya cacat lahir primer pada bayi yang ia kandung.
10.  Penanganan
Sifilis pada stadium I diberikan benzatin penisilin dengan dosis total 4,8 juta unit secara IM berturut-turut 2,4 juta unit selama seminggu. Penisilin prokain dalam aluminium monostearat (PAM) setiap 3 hari sekali 1,2 juta unit sehingga mencapai dosis total 4,8 juta unit. Penisilin prokain dalam akua 600.000 unit sehari selama 8 hari sehari-hari.
Sifilis stadium II diberikan benzatin penisilin dengan dosis total 6,0 juta unit secara IM 2,4 juta unit selang seminggu, penisilin Prokain dalam aluminium monostrearat (PAM) setiap 3 hari sekali 1,2 juta unit sehingga mencapai dosis total 6 juta unit. Penisilin Prokain dalam akua 600.000 unit sehari selama 10 hari sehari-hari.
Sifilis stadium III (Sfilis kardiovaskuler atau neuro sifilis) diberikan benzatin penicilin dosis total 9 juta unit, disuntikan berturut-turut 2,4 dan 1,8 juta unit selang seminggu. Penesilin Prokain dalan aluminium monostearat (PAM) setiap 3 hari sekali 1,2 juta unit sehingga mencapai dosis total 9 juta unit. Penesilin Prokain dalam akua 600.000 unit sehari selam 15 hari sehari-hari.
Apabila penderita alergi terhadap penisilin untuk sifilis stadium I dan II diberikan tetrasiklin HCL dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 15 hari. Pada stadium III diberikan tetra siklin HCL dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 30 hari.
Sesudah pemberian pengobatan yang cukup, setiap penderita sifilis harus tetap dalam pengamatan selama kurang lebih 2 tahun. Pemeriksaan ulang eliputi pemeriksaan fisiki dan serologis dilakukan pada bulan ke 1,3,6,12, dan 24 setelah pengobatan selesai. Bilamana selama pengamatan titer tes serologis menunjukkan penurunan dan akhirnya menjadi negatif, maka sesudah 24 bulan penderita dapat dilepaskan dari pengamatan.
Para ibu di Inggris harus menjalani skrining sifilis pada saat pemeriksaan antenatal yang pertama dan jika perlu harus menjalani pengobatan. Namun  demikian,pemeriksaan ini tidak dapat mendeteksi wanita yang mendapatkan infeksi selama kehamilan, atau wanita yang sifilisnya sedang dalam periode inkubasi pada saat tes serologis dilakukan (Connor & Nicoll 1998). Beberapa tes serologis yang digunakan untuk skrining sifilis adalah :
·         Veneral Disease Reseacrh Laboratory (VDRL)
·         Rapid plasma reagin test (RPR)
·         Treponema pallidum haemagglutination assay (TPHA)
·         Treponema pallidum particle agglutination assay (TPPA)
·         Fluorescent treponemal antibody absorption test (FTA-abs)
·         EIA treponema
Jika hasil pemeriksaan klinis dicurigai terjadi sifilis, pemeriksaan mikroskopik area gelap atau pegambilan spesimen lesi unuk tes antibodi fluoresens harus dilakukan. (Goh 2001).
Tinjauan sistematis Cochrane terhadap antibiotik untuk sifilis yang terdiagnosis selama kehamilan menyimpulkan bahwa obat yang terpilih untuk mengatasi hal tersebut adalah penisilin itramuskular (Walker 2001). Pada kasus alergi penisilin, alternatifnya adalah eritromisin karena tetrasiklin dikontraindikasikan pada kehamilan. Namun demikian, karena transfer eritromisin yang buruk melalui plasenta, obat ini tidak dapat diandalkan untuk menyembuhkan janin, dan sebagai tindakan pencegahan kepada bayu, dapat diberikan penisilin pada saat lahir (Adler 1998).
Pasien harus diberi tahu tentang kemungkinan reaksi terhadap pemberian penisilin. Reaksi Jarisch Herxheimer adalah penyakit demam akut yang banyak terjadi pada pengobatan sifilis primer atau sekunder. Hal ini diperkirakan terjadi akibat pelepasan zat yang serupa dengan endotoksin pada saat sejumlah besar T.pallidum dibunuh oleh antibiotik. Sakit kepala, mialgia, menggigil, dan kekakuan dapat terjadi 4-12 jam setelah infeksi pertama penisilin (Wright & Csonka 2000). Pada saat kehamilan, keadaan ini dapat menyebabkan stres janin dan persalinan prematur (Adler 1998). Sekalipun selama kehamilan ibu telah mendapatkan pengobatan penisilin yang adekuat, bayi sebaiknya tetap diperiksa dan menjalani tes serologi. Pemeriksaan dan tes tersebut juga haus dilakukan pada saat bayi berusia 6 minggu dan 3 bulan, sambil memberi waktu agar antibodi maternal yang ditransmisikan secara pasif sudah benar-benar hilang (Adler 1998). Perlu tidaknya pengobatan dilakukan pada kehamilan berikutnya masih dalam perdebatan. Sekalipun pengobatan telah dilakukan, terdapat kemungkinan bahwa beberapa treponema masih tetap ada di dalam tubuh dan dapat ditransfer melalui plasenta. Namun demikian, Adler (1998) mengemukakan bahwa, jika ibu terus menjalani pemeriksaan tindak lanjut selama 2 tahu setelah pengobatan dan dipulangkan dalam keadaan sembuh, tes serologis harus dilakukan saat bayi berusia 3 bulan.
Rendahnya insiden sifilis secara nasional telah menyebabkan profesional layanan kesehatan mempertanyakan perlu tidaknya dilakukan skrining sifilis antenatal yang kontinu. Prevalensi sifilis secara keseluruhan pada wanita hamil di Inggris adalah 0,06 per 1000 kelahiran hidup (Connor & Nicoll 1998). Namun demikian, pengawasan rutin yang dilakukan oleh klinik GUM tidak mencakup informasi tentang kehamilan sehingga hal ini cenderung terabaikan. Angka sifilis infeksius di Inggris dan Wales mengalami peningkatan drastis sejak 1995 pada wanita yang berusia 16 hingga 24 tahun (PHLS et al 2000). Walaupun prevalensi sifilis pada kehamilan cukup rendah, kebijakan mengenai skrining iniversal rutin tetap dianggap sebagai pendekatak yang efektif biaya (Welch 1998).
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menemukan T.pallidum dalam spesimen dengan menggunakan mikroskop lapag pandang gelap, perwarnaan burry atau mikroskop imunofluoresensi. Pemeriksaan bantu lain adalah tes non treponemal (tes reagen) untuk melacak antibodi IgG dan IgM terhadap lpid yang terdapat pada permukaan sel treponema misalnya: Rapid Plasma Reagen (RPR), Veneral Desease Research Laboratory (VDRL). Hasil positif palsu tes nontreponemal dalam populasi masyarakat umum mencapai 1-2% (termasuk pada ibu hamil). Tes treponemal menggunakan T.pallidum subspecies pallidum sebagai antigen, sehingga tes ini merupakan jenis tes konfirmatif misalnya: Treponema pallidum haemaglutination Assay (TPHA). Pada sebagian besar kasus tes treponema reaktif, hasil reaktif tersebut akan reaktif seumur hidup. Untuk menegakkan diagnosis sifilis kongenital pemeriksaan IgM , pada bayi sangat diperlukan, karena IgM dari ibu tidak dapat melaui plasenta. World Health Organization dan CDC telah merekomendasikan pemberian terapi injeksi penisilin Benzatin 2,4 juta MU untuk sifilis primer, sekundr dan laten dini. Sedangkan untk sifilis laten lanjut atau tidak diketahui lamanya, mendapat 3 dosis injeksi tersebut. Alternatif pengobatan bagi yang alergi penisilin dan tidak hamil dapat diberik doksisiklin per oral 2 x 100 mg/hari selama 30 hari, atau tetrasiklin per oral 4 x 500 mg/hari selama 30 hari. Alternatif pengobatan bagi yang alergi terhadap penisilin dan dalam keadaan hamil, sebaiknya tetap dibseikan penisilin dengan cara desensitisasi. Bila tidak memungkinkan, pemberian eritromisin per oral 4 x 500 mg/hari selama 30 hari  dapat dipertimbangkan. Untuk semua bayi yang baru lahir dari ibu yang seropositif agar diberi pengobatan dengan benzatin penisilin 50.000 IU per kg berat badan, dosis tunggal intramuskular. Untuk memonitor hasil pengobatan dilakuka pemeriksaan serologi non treponemal 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun setelah pengobatan selesai.


B.     Cytomegalovirus
1.      Definisi
Cytomegalovirus atau lebih sering disebut dengan CMV adalh infeksi oportiunistik yang berhubungan dengan HIV. Virus ini dibawa oleh sekitar 50% populasi dan 90% penderita dengan HIV. Cytomegalovirus juga merupakan anggota keluarga virus herpesyang biasa disebut dengan herpes viridae. CMV sering disebut dengan sebagai “virus paradoks” karena bila menginfeksi seseorang dapat berakibat fatal, atau dapat juga hanya diam di dalam tubuh penderita seumur hidupnya.
Sitomegalovirus merupakan anggota famili virus herpes. Disebut sitomegalovirus karena memiliki efek memperbesar sel yang terinfeksi. Studi seroepidemiologis menunjukkan bahwa infeksi sitomegalovirus merupakan hal yang sering terjadi. Sekitar 60% wanita usia subur di negara maju menunjukkan adanya infeksi di masa lalu dan 100% dari hal tersebut terjadi di negara berkembang (Griffiths & Baboonian 1984)
Kebanyakan infeksi sitomegalovirus bersifat subklinis. Namun demikian, manifestasi klinis infeksi sitomegalovirus bervariasi sesuai usia, cara penularan, dan kompetensi imun penderita. Infeksi primer dapat menyebabkan gejala umum ringan jenis mononukleosis, seperti malaise, mialgia dan demam pada orang dewasa yang imunokompeten, sedangkan gejala yang bersifat patogenik akan muncul pada individu yang menderita supresi imun, penerima transplantasi organ, bayi prematur, dan penderita AID (Stagno 2000). Infeksi sitomegalovirus kambuhan biasanya tidak memiliki abnormalitas klinis yang dapat dikenali.
2.      Epidemiologi
Human Cytomegalovirus (HCMV/CMV) aau human herpes virus 5 ditularkan melalui kontak intim dan atau berulang-ulang dengan pengidap virus, melalui trasmisi veritikal dari ibu kjanin, transfusi produk darah dan transplantasi organ atau sumsum tulang dan donor seropositif CMV, virus dapat ditemukan dalam urine, sekresi orofaring, sekresi serviks, vagina, semen, ASI, air mata dan darah.
CMV dapat menyebabkan infeksi primer atau rekuen sekunder dapat menyebabkan infeksi kongenital. Infeksi CMV kongenital dapat terjadi pada bayi seorang ibu yang imun terhadap CMV meskipun terdapat antibodi dalam serum ibu. Di samping itu seorng ibu dapat melahirkan lebih seorang bayi dengan infeksi kongenital yang disebabkan reaktivitas infeksi laten. Difuga infeksi CMV kongenital simptomatik terjadi dalam trimester I atau II, terutama bila mengakibatkan kerusakan susunan syaraf pusat.
Janin dan bayi yang baru lahir dapat terinfeksi CMV karena tertular dari ibunya yang baru terinfeksi pada saat hamil. Atau sang ibu pernah terinfeksi sebelumnya dan pada saat hamil virus menjadi aktif lagi (oleh CMV jenis yang sama atau jenis lain)pada saat hamil.
Penularan dari ibu kepada janin atau bayinya dapat terjadi pada saat: (a) bayi masih didalam kandungan (infeksi prenatal) dimana virus ditularkan melalui darah, plasenta yang menyebabkan infeksi kongenital atau infeksi bawaan; (b) proses melahirkan, dimana bayi kontak langsung dengan lendir vagina/serviks sang ibu yang mengandung CMV; (c) setelah lahir (infeksi postnatal) terutama dengan kontak dengan ASI dan air liur.
Terjadinya penularan dan tingkat keparahan infeksi pada janin dan bayi bervariasi, tergantung tipe infeksi yang terjadi pada ibu. Jika ibu terinfeksi pertama kali pada saat kehamilan (infeksi primer), maka kemungkinan janin tertular sekitar 20-40%, dan dampak pada janin lebih parah sekitar 10-15% janin yang terinfeksi mengalami gejala klinis pada saat dilahirkan. Bila infeksi pada ibu terjadi sebelum kehamilan. Terjadinya penularan kepada janin lebih kecil yaitu 0,2-2,2% dan pada umumnya bayi jarang menunjukkan gejala klinis pada saat dilahirkan.
Frekuensi infeksi intrauterin pada infeksi maternal primer jauh lebih tinggi daripada infeksi maternal rekuren, yaitu 40% berbanding 1%. Demikian juga gejala sekuelensinya jauh lebih sering pada bayi terinfeksi kongenital dari ibu dengan infeksi primer sewaktu atau beberapa waktu sebelum kehamilannya kurang lebih 1% (antara 0,4%-2,3%) bayi baru lahir terinfeksi CMV merupakan infeksi kongenital yang paling sering terjadi pada manusia. Sebanyak 5%-10% bayi-bayi tersebut akan menunjukkan gejal-gejala (sympomatik) pada masa bayi dan akan mengalami sekuele neurologik.
Sisanya sebanyak 90%-95% bayi tidak menunjukkan gejala (asymtomatik) sewaktu dilahirkan. Sebanyak 13-24% bayi-bayi asimptomatik tersebut dapat mengalami cacat bermakna di kemudian hari seperti tuli saraf dan gangguan perkembangan sekitar 2-28% ibu hamil yang terinfeksi dapat menularkan. CMV kepada bayinya melalui lendir vagina/serviks pada saat proses melahirkan. Rata-rata 50% bayi yang terpapar CMV akan mengalami infeksi muncul pada usia bayi 4-6 minggu.
ASI yang terinfeksi mengandung CMV dapat menjadi sumber penularan bagi bayi saat menyusui. Rata-rata 50-60% bayi yang mengonsumsi ASI yang mengandung CMV akan terinfeksi. Tetapi karena CMV yang terdapat pada ASI umumnya akibat reaktivitas virus (infeksi sekunder) maka kebanyakan bayi yang tertular tidak sakit karena telah memiliki antibodi dari ibunya. Tingkat antibodi maternal tidak mempengaruhi frekuensi dan onset infeksi pada bayinya.
3.      Tanda dan gejala
Sebagian besar infeksi tidak menimbulkan gejala, tetapi sekitar 155 orang dewasa yang terinfeksi memperlihatkan sindrom mirip mononukleosis infeksiosa yang ditandai oleh demam, aringitis, limfadenopati dan poliarteritis. Wanita dengan gangguan imunitas mungkin mengalami miokarditis,pneumonitis, hepatitis, retinitis, gastroenteritis atau meningoensefalitis.
4.      Manifestasi klinik (gejala yang timbul)
Pada manusia sehat  dengan kehamilan atau imunokompeten penyakit infeksi CMV sering sekali asymptomatik. Gejala yang kadang timbul berupa gejala mirip mononukleus tanpa disertai faringitis tonsilitis, atau limfedenopati. Peularan secara veritikal pada infeksi primer maupun sekunder/rekuren belum dapat di prediksi. Janin dalam kandungan tidak atau dapat terinfeksi baik pada infeksi primer ataupun sekunder/rekuren. Pada infeksi CMV kongenital symtomatik diagnosisnya dapat diperlukan secara klinis manifestasi klinisnya antara lain berupa retardasi pertumbuhan, intrauterin, kuning, hepatosplenomegali, asites, petekie, atau pupura, pneumonitis, trombositopenia, hepatitis, hiperbilirubinemi, anemia hemolitik.
5.      Infeksi sitomegalovirus pada kehamilan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi primer terjadi pada semua trimester dengan sekitar 37% neonatus lahir dengan infeksi kongenital. Tidak jelas mengapa pada kasus lainnya infeksi primer tidak menembus plasenta, tetapi karena mayoritas neonatus yang terinfeksi tidak mengalami penyakit ini, risiko ibu yang menderita infeksi primer untuk memiliki bayi yang terkena sitomegalovirus kongenital hanya sekitar 7% (Griffiths 2001). Telah dikemukakan bahwa infeksi primer maternal itu sendiri tidak dapat dijadikan kriteria untuk melakukan aborsi elektif (Griffiths & Baboonian 1984).
Wanita sudah imun terhadap sitomegalovirus sebelum kehamilan masih dapat melahirkan bayi yang menderita infeksi sitomegalovirus kongenital (Rutter et al 1985). Pada kasus semacam ini, jenis infeksi kambuhan tidak mungkin dapat dibedakan; dalam hal ini, infeksi cenderung terjadi karena reaktivasi sitomegalovirus laten maternal bukan karena reinfeksi dar sumber lain, misalnya dari ayah.
Insiden penularan veritikal dengan infeksi kambuhan dapat bervariasi antara 0,15% dan 1,5% pada wanita seropositif, bergantung pada prevalensinya. Hal ini menunjukkan bahwa sirkulasi sitomegalovirus dikomunitas merupakan faktor risiko terjadinya infeksi primer selama kehamilan dan juga infeksi kambuhan pada ibu (Griffithas 2001).
6.      Infeksi janin dan neonatus
Sitomegalovirus merupakan infeksi intrauterus yang paling sering terjadi, menyerang 0,4 hingga 2,3% dari semua kelahiran hidup. Tidak seperti rubella yang memiliki efek teratogenik, sitomegalovirus memungkinkan organ janin berkembang normal, tetapi menyebabkan penyakit akibat perusakan sekunder terhadap sel. Hingga 18% bayi yang lahir dari ibu yang menderita infeksi primer dapat mengalami gejala pada saat lahir. Oleh sebab itu, prognosisnya tidak baik. Lebih dari 90% pasien yang simptomatik mengalami tuli  sensorineural, retardasi mental, korioretinitis dan komplikasi lain pada tahun berikutnya (Fowler et al 1992; Stagno et al 1986). Bayi yang menderita infeksi subklinis prognosisnya lebih baik, tetapi 5-15% akan menderita sukuela yang biasanya tidak begitu berat dibandingkan bayi yang menderita infeksi simptomatik pada saat lahir. Sebagian besar infeksi kongenital simptomatik, dan infeksi yang menyebabkan sekuela terjadi akibat infeksi primer yang didapat selama kehamilan (10-15%), bukan infeksi kambuhan pada wanita hamil (0-2%) (Stagno 2000).
Infeksi perinatal terjadi akibat pajanan sitomegalovirus pada saluran genital maternal saat persalinan atau melalui ASI. Infeksi ini biasanya terjadi dengan adanya antibodi maternal yang didapatkan secara pasif. Sebagian besar bayi yang terkena infeksi bersifat asimptomatik, tetapi terkadang infeksi yang diperoleh pada periode perinatal yang menyebabkan pneumonitis pada bayi prematur dan bayi cukup bulan yang sakit, Sukuela neurologis, dan retardasi psikomotor.
7.      Diagnosis dan pengobatan
Infeksi CMV pada ibu hamil dapt memberikan gejala asimptomatis atau gejala tidak khas dan mempunyai spectrum yang luas sehingga memerlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis. Bila pemeriksaan serologis menunjukkan hasil negatif atau positif maka perlu dilakukan konseling untuk mencegah infeksi CMV baik primer maupun sekunder/rekuren. Pada skrining ibu hamil dengan pemeriksaan serologis digunakan kombinasi anti CMV IgG dan IgM pada ibu hamil kurang dari 12 minggu. Pada ibu seronegatif dilakukan pemeriksaan ulangan pada kehamilan 6-18 minggu. Pada ibu dengan serokonversi atau anti CMV positif dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Penentuan infeksi CMV aktif dapat juga ditentukan oleh pemeriksaan antignmiam, deteksi dan pngukuran dengan pp65 pada lukosit darah tepi hasil pemeriksaan antigenemia mempunyai sensitivitas 60-70%.
Infeksi sitomegalovirus dapat didagnosis dengan metode langsung seperti kultur virus, (dari urine, saliva, ASI, sekresi serviks, biopsi, dan spesimen otopsi), PCR, dan deteksi antigen. Viremia menunjukkan keaktifan penyakit dan prognosis yang buruk, baik pada infeksi primer, infeksi kambuhan, atau infeksi yang tidak diketahui. Metode langsung tidak dapat membedakan antara infeksi primer dan infeksi kambuhan. Cara terbaik untuk membedakan antara infeksi sitomegalovirus kongenital dan infeksi sitomegalovirus perinatal adalah dengan mengisolasi virus dari urine atau saliva selama 2 minggu pertama setelah kelahiran.
Infeksi primer dipastikan dengan serokonversi atau deteksi simultan terhadap antibodi IgG dan IgM. Antibodi IgG dapat terus ada seumur hidup dan peningkatan titer dapat terjadi setelah infeksi primer atau infeksi kambuhan. Antibodi IgM hanya muncul aementara (4-16 minggu) selama fase akut infeksi primer simptomatik atau asimptimatik pada orang dewasa. Metode lain meliputi radioimmunoassay, enzim immunoassay, dan IgM-capture radioimmunoassay.
Gansiklovir dan foskarnet telah digunakan dengan hasil yang baik untuk mengatasi infeksi sitomegalovirus yang membahayakan jiwa penjamu yang menderita gangguan imun. Kedua obat tersebut, bagaimanapun juga bersifat toksik (Stagno 2000). Tindakan lain, seperti penggunaan darah dan produk darah yang bebas dari sitomegalovirus, dan kemungkinan penggunaan organ dari donor yang bebas dari sitomegalovirus, merupakan cara penting mencegah penyakit dan infeksi sitomegalovirus pada pasien yang non-imun.

C.    Rubella
1.      Definisi
Infeksi virus Rubella merupakan penyakit ringan pada anak dan dewasa, tetapi apabila terjadi pada ibu yang sedang mengandung virus ini dapat menembus dinding plasenta dan langsung menyerang janin. Rubella atau dikenal juga dengan nama campak jerman adalah penyakit menular yang disebabkan oleh vius Rubella. Virus biasanya menginfeksi tubuh melalui pernafasan seperti hidung dan tenggorokkan. Anak-anak biasanya lebih cepat sembuh dibandingkan dengan oang dewasa.
Virus ini dapat menukar lewat udara. Selain itu vius Rubella dapat ditularkan melalui urine, kontak pernafasan dan memiliki masa inkubasi 2-3 minggu. Penderita dapat menularkan virus selama seminggu sebelum dan sesudah timbulnya Rush (ruam) pada kulit. Rash Rubella berwarna merah jambu, akan menghilang dalam 2-3 hari, dan tidak selalu muncul dalam setiap kasus infeksi. Sindroma congenital terjadi pada 25% atau lebih pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita Rubella pada trimester pertama. Jika ibu menderita infeksi ini setelah kehamilan berusia lebih dari 2 minggu, jarang terjadi kelainan bawaan pada bayi. Kelainan bawaan yang bisa ditemukan pada bayi baru lahir adalah tuli, katarak, mikrosefalus, keterbelakangan mental, kelainan jantung bawaan dan kelainan lainnya.
Rubella walaupun merupakan penyakit yang tidak berarti diluar kehamilan. Jelas meningkatkan angka kematian perinatal yang sering menyebabkan cacat bawaan pada janin. Yang terakhir terutama dijumpai apabila infeksi terjadi dalam kehamilan triwulan I (30-50%), lebih dini lebih besar kemungkinannya. Diagnosis pasti dapat dibuat dengan isolasi virus, atau dngan ditemukannya titer antibody Rubella dalam serum. Pemeriksaan satu kali saja tidak memberi kepastian karena banyak orang dewasa sudah kebal terhadap Rubella. Apabila titer 1:10 atau lebih, maka ini dapat dianggap bahwa wanita sudah kebal. Apabila titer mula-mula 1:8 atau kurang, pada pemeriksaan 10-14 hari berikutnya ditemukan titer yag 4 kali lebih tinggi, maka kemungkinan viremia sangat besar, walaupun gejala-gejala klinisnya tidak timbul.
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella, walaupun indikasi atau penyakitnya mirip, dengan campak, tetapi penyakit ini disebabkan virus yang berbeda dengan virus campak. Penyakit ini biasa meyerang sekali seumur hidup. Jika terkena pada ibu-ibu hamil, virus Rubella dapat menembus plasenta dan menyerang janin yang sedang tumbuh sehingga menyebabkan janin yang dikandung akan cacat.
Infeksi Rubella berbahaya bila terjadi pada hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan, maka terjadi risioko kelainan adalah 50% sedangkan jika infeksi terjadi pada trimester pertama maka risikonya menjadi 25%.
2.      Tanda dan Gejala
Gejala-gejala Rubella pada dasarnya hampir sama dengan campak biasa yang telah dikenal dengan ciri-ciri panas tinggi, pusing kepala, sakit yang berkesinambungan,dan tenggorokkan kering. Selain itu biasanya juga disertai dengan timbulnya bercak-bercak merah layaknya gejala DBD (Demam Berdarah Dengue).
Gejala-gejala infeksi Rubella: Pembengkakan pada kelenjar getah bening, demam diatas 38o C, maka terasa nyeri, muncul bintik-bintik merah diseluruh tubu, kulit kering, sakit pada persendian, sakit kepala, hilang nafsu makan.
3.      Komplikasi terhadap ibu dan janin
a.       Efek pada janin
Pada trimester I (minggu pertama-13), jika ibu hamil mendapatkan Rubella pada masa ini maka kemungkinan akan brakibat fatal (+ 90%) pada janin. Semakin awal usia kehamilan, maka semakin besar risiko hal ini akan tertular pada janin. Sesudah miggu kesepuluh, risiko cacat fisik dan non-fisik pada janin juga berkurang namun masih dimunkinkan terjadinya cacat non-fisik berupa kurang berfungsinya pendengaran ataupun penglihatan pada bayi yang kemungkinan baru bisa disembuhkan ketika mereka beranjak dewasa. Pada masa ini bisa jadi para dokter kandungan merekomendasikan untuk menggugurkan kandungan. Pada trimester kedua pada minggu ke-14 dan ke-15 pada umumnya risiko penularan ke janin juga semakin kecil. Namun masih dimungkinkan terjadi kecacatan pada pendengaran dan penglihatan. Pada trimester ketiga setalah mibggu ke-16 risiko cacat pada janin boleh dibiang sudah hampir tidak ada. Oleh karena itu sangat disarankan kepada para ibu hamil untuk menghidarai orang yang sedang terkenan Rubella khususnya pada trimester pertama.
Visus tampaknya tidak teratogenik (Siegel,1973). Terjadi peningkatam frekuensi abortus, peralinan kurang bulan, dan berat lahir rendah pada wanita hamil dengan campak (Amerika Academy of Pediatrics,2006; siegel dan Fuerst 1966). Jika seorang wanita terjangkit campak segera sebelum melahirkan, terdapat risiko signifikan infeksi yang serius pada neonatus, khususnya neonatus kurang bulan.

4.      Mendeteksi Infeksi Rubella pada Ibu Hamil dan Janinnya
Lebih dari 50% kasus infeksi Rubella pada ibu hamil bersifat subklinis atau gejala sehingga sering tidak disadar. Karena dapat berdampak negatif bagi janin yang dikandungnya maka deteksi infeksi Rubella pada ibu hamil yang belum memiliki kekebalan terhadap infeksi Rubella sangat penting, risiko tertularnya jain yang dikandung oleh ibu terinfeksi Rubella bervariasi, tergantung kapan ibu terinfeksi. Risiko janin tertular meningkat hingga 100% jika ibu terinfeksi saat usia kehamilan > 36 minggu. Janin yang tertular berisiko mengalami sindrom Rubella Kongenital, terutama bila infeksi terjadi pada usia janin < 4 bulan. Meskipun infeksi dapat terjadi sepanjang kehamilan, namun jarang terjadi kelainan bila infksi terjadi setelah usia kehamilan > 20 minggu.
5.      Pemeriksaan Rubella
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi infeksi Rubella, yang lazimnya dilakukan adalah pemeriksaan anti Rubella IgM dan anti Rubella IgG pada darah ibu. Seorang ibu positif Rubella apabila hasil laboratorium menunjukkan Rubella IgM-nya negatif dan Rubella IgG-nya positif. Pemeriksaan anti Rubella dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil, jika ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan anti-Rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi Rubella bawaan.
Untuk memastikan apakah janin terinfeksi atau tidak, maka dilakukan pendeteksian virus Rubella dengan tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction). Bahan pemeriksaan diambil dari air ketuban (cairan Amnion) atau darah janin. Pengambilan sample air ketuban ataupun darah janin harus dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan kebidanan, dan hanya dapat dilakukan setelah usia diatas 22 minggu. Infeksi terjadi melalui kontak langsung dengan penderita.
6.      Cara pencegahan Rubella
Lakukan peyuluhan kepada masyarakat umum mengenai cara penularan dan pentingnya imunisasi Rublla. Penyuluhan oleh petugas kesehatan sebaiknya menganjurkan pemberian imunisasi rubella untuk semua orang yang rentan. Upaya diarahkan untuk meningkatkan cakupan imunisasi Rubella pada orang dewasa dan berupa muda yang rentan. Memberikan dosis tunggal vaksin hidup, yaitu virus Rubella yang dilemahkan, dosis tunggal ini memberikan antibody yang signifikan, yaitu kira-kira 98-99% dari orang yang rentan. Vaksin dikemas dalam bentuk kering dan sesudah dilarutkan harus disimpan dalam suhu 2-8o C. Jika diketahui adanya infksi alamiah pada awal kehamilan, tindakan aborsi sebaiknya dipertimbangkan karena terjadinya risiko cacat pada janin sangat tinggi. Pada beberapa penelitian yang dilakukan pada wanita hamil yang tidak sengaja diimunisasi, kecacatan kongenital pada bayi yang lahir hidup tidak ditemukan, dengan demikian imunisasi yang terlanjur diberikan pada wanita yang kemudian ternyata hamil tidak perlu dilakukan aborsi tetapi risiko mungkin terjadi dan sebaiknya harus dijelaskan. Keputusan akhir apabila akan dilakukan aborsi diserahkan pada wanita tersebut dan dokter yang merawatnya
7.      Penyakit Rubella pada Kehamilan
Pada umunya sebelum pasangan merencanakan untuk hamil, dianjurkan untuk melakukan test TORCH, dimana salah satu yang ditest adalah memastikan bahwa pasangan yang bersangkutan telah memiliki kekebalan terhadap Rubella.

D.    Varicella
1.      Definisi
Cacar Air, dalam bahasa Inggris disebut sebagai Chickenpox, atau dalam bahasa kedokteran disebut sebagai Varicella. Penyakit yang sangat menular ini disebabkan virus bernama Varicella Zooster Virus (VZV). Varicella atau Cacar Air merupakan infksi akut menular. Cacar air adalah salah satu pnyakit yang umum ditemui pada anak-anak. 90% kasus cacar air terjadi pada anak di bawah sepuluh tahun. Dan lebih dari 90% orang telah mengalami cacar air pada saat mereka berusia 15 tahun. Insiden penyakit ini paling tinggi terlihat pada usia 5-9 tahun. Cacar air terjadi akibat infeksi primer (pertama kali) Varicella Zoster Virus (VZV). Karena disebabkan virus, penyakit ini sembuh dengan sendirinya. Namun setelah sembuh, VZV tidak benar-benar hilang dari tubuh. Virus ini akan menetap dibagian saraf tertentu dan nantinya dapat terakivasi kembali dalam bentuk herpes zoster (cacar ular atau shingles). Herpes zooster ini umumnya terjadi pada usia di atas 60 tahu dan pada sebagian besar kasus hanya terjadi sekali.
2.      Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah oleh infeksi dari virus Varicella-Zoster (VZV), virus ini ditularkan melalui percikan ludah penderita atau melaui benda-benda yang terkontaminasi oleh cairan dari lepuhan kulit. Penderita bisa menularkan penyakitnya mulai dari timbulnya gejala sampai lepuhan yang terakhir telah mengering. Untuk mencegah penularan, sebaiknya penderita diisolasi (diasingkan). Jika seseorang pernah menderita cacar air, maka dia akan memiliki kekebalan dan tidak akan menderita cacar air lagi. Tetapi virusnya bisa tetap tertidur di dalam tubuh manusia, lalu kadang menjadi aktif kembali dan menyebabkan herpes zoster.
3.      Patogenesis
Infeksi virus masuk bersama air borne droplet (udara) masuk ke traktus respiratorius (pernafasan), tidak tetutup kemungkinan penularan juga lewat lesi kuit tapi penyebaran paling efektif melalui sistem respirasi. Selanjutnya virus akan berkembang di dalam sistem retikuloendotelial, kemudian akan terjadi viremia disertai gejala konstitusi yang diikuti dengan munculnya lesi di permukaan virus.
4.      Manifestasi klinik
Masa inkubasi 14-21 hari, penyakit yang umumnya ringan ini ditandai dengan demam ringan dan ruam yang gatal diseluruh tubuh. Seblum ruam tersebut muncul, biasanya dapat mengalami gejala awal (prodrome) seperti demam ringan, sakit kepala, sore throat, rasa lemas, atau pembesaran kelenjar getah bening di leher bagian belakang. Gejala awal ini dapat brlangsung 1-6 hari sebelum ruam cacar muncul.
Ruam cacar air pertama muncul di badan untuk kemudian menyebar ke wajah, lengan, dan tungkai. Ruam awalnya tampak sebagai bintik-bintik merah, lalu menjadi benjolan-benjolan kecil berisi cairan jernih (vesikel), untuk kemudian pecah dan mengering. Ruam ini muncul secara bertahap selama 3-4 hri sehingga pada puncak masa sakit dapat ditemui ruam dalam semua tahapannya (bintik-bintik, benjolan berisi cairan, dan ruam yang mngering). Selain di kulit, ruam juga dapat muncul di selaput mukosa seperti bagian dalam mulut atau vagina.
Umumnya ruam membutuhkan sekitar 7-14 hari untuk sembuh, sementara proses berlangsung muncul lagi vesikel baru sehingga menimbulkan gambaran yang polimorf. Penyebaran Varicella:  (1) biasanya dimulai dari badan (dada), menyebarn ke wajah dan ekstremitas; (2) bentuk makula, papula, vesikula, dan krusta dan dapat terjadi pada waktu yang sama, bila terjadi infeksi sekundr, cairan vesikula yang jernih akan berubah menjadi nanah lymfodenopati.
Infeksi varicella berawal sebagai gejala mirip flu yang berlangsung 1 atau 2 hari, yang diikuti oleh lesi-lesi vesikular gatal yang mengalami krustasi dalam 3 sampai 7 hari. Infeksi cenderung lebih parah pada orang dewas, dan hampir separuh dari kematian akibat varicella terjadi pada orang dewasa non-imun yang jumlahnya 5 persen (Centers for Disease Control and Prevention,1999).
Kematian pertama disebabkan oleh pneumonia varisela, yang diperkirakan lebih parah pada masa dewasa dan terutama pada kehamilan. Harger dkk., (2002) melaporkan bahwa 5% wanita hamil yang terinfeksi mengalami pneumonitis. Angka kematian ibu pada pneumonia telah menurun sebesar 1-2% (Chandra dkk.,1998). Gejala pneumonia biasanya muncul 3-5 hari setelah awitan penyakit. Gejala berupa demam, takipnu, batuk kering, dan nyeri pleuritik. Infiltrat nodular serupa dengan virus pneumonia lainnya. Meskipun resolusi pneumonitis paralel dengan perbaikan lesi kulit namun demam dan gangguan fungsi paru dapat menetap berminggu-minggu.
5.      Efek ibu
Bahkan ibu bisa mengalami komplikasi berupa radang otak atau radang paru. Bagi ibu hamil, cacar air bisa membahayakan kesehatan ibu dan janin dalam kandungan.
Infeksi varicella pada ibu hamil trimester I mungkin menyebabkan cacat bawaan sperti korioretinitis, atrofi korteks selebri, hidronefrosis dan kelainan pada tulang dan kulit. Jika infeksi pada kehamilan kurang dari 13 minggu, cacat bawaan terjadi sebesar 0,2%, jika pada kehamilan 13-20 minggu sebesar 2%, tetapi jika infeksi terjadi setelah 20 minggu umumnya tidak terjadi kelainan. Masa inkubasi varicella virus umumnya kurang dari 2 minggu. Jika persalinan terjadi sebelum masa inkubasi atau pada persalinan , maka karena antibodi pada tubuh ibu belum terbentuk , bayi akan terinfeksi dan menimbulkan cacat pada usus dan susunan saraf pusat. Karena hal tersebut bayi yang lahir dari ibu hamil seperti disampaikan di atas harus disuntik dengan VZIG atau ZIG, meskipun daya proteksinya 60-70%.
6.      Efek janin
Jika ibu hamil terjangkit cacar air akan menambah risiko pada janin : kematian janin atau sindroma varicella kongenital berupa kelainan bentuk dan saraf yang parah sehingga bayi mengalami retardasi mental. Bisa juga bayi lahir prematur. Sekitar 20% janin dari ibu penderita cacar air berisiko meninggal dunia dalam waktu lima hingga sepuluh hari setelah dilahirkan.
Jika cacar air menyerang ibu hamil dalam trimester pertama, bisa saja bayi lahir dengan berat badan rendah atau kelainan janin. Misalnya kelainan mata, otak, kaki, tangan, paru, dan tulang rahang mengecil. Jika terjadi pada trimester kedua dan ketiga, cacar ai umumnya tak menyebabkan kelainan bawaan. Namun kemungkinan bayi lahir prematur atau menderita bintil-bintil berisi air setelah sepuluh hari dilahirkan. Pencegahan hanya bisa dilakukan dengan vaksinasi.
Seorang ibu hamil yang belum pernah terkena penyakit cacar air, dan dia tidak menderita penyakit gangguan imunitas lainnya; jika ia terjangkit penyakit cacar air, virus ditubuh ibunya dapat menulari bayi dalam kandungannya melalui plasenta. Pentig untuk diingat; jika infeksi terjadi dalam 28 minggu pertama kehamilannya dapat terjadi sebuah kelainan bernama congenital varicella syndrome atau fetal variclla syndrome (sindroma cacar air pada bayi dalam perut ibu).
Efek dari penyakit ini bagi sang bayi bermacam-macam tingkat bahayanya, yaitu: kerusakan otak, ensefalitis (radang otak), mikrosefal (perkembangan otak terhambat, sehingga otaknya menjadi kecil), hidrosefal (gangguan sirkulasi cairan otak, sehingga otaknya menjadi besar), aplasia otak, dan lain-lain; kerusakan mata : mikro-oftalmik (ukuran kecil), katarak, korioretinitis, gangguan saraf mata, dan lain-lain; gangguan saraf : kerusakan saraf spinal (tulang belakang), gangguan saraf motorik  (penggerak) dan sensorik (perasa), hilangnya reflex, sindroma Horner, dan lain-lain; kerusakan tubuh : kegagalan pembentukan tungkai tubuh (jari, tangan, kaki), gangguan anus dan otot kandung kencing dan lain-lain; gangguan kulit : timbul jaringan parut (seperti luka dalam), gangguan warna kulit, dan lain-lain.
Infeksi bayi pada usia tua kehamilan atau sesaat setelah lahir disebut sebagai varicella neonatus. Pada usia kehamilan yang lanjut infeksi cacar air berisiko menimbulkan kelahiran prematur.
7.      Pencegahan
Varicella (cacar air) dapat dicegah dengan beberapa cara Vaksinasi: vaksinasi memberikan perlindungan penuh dari cacar air pada 8-9 dari 10 orang. Pada orang tetap mengalami cacar air setelah vaksinasi, cacar ir yang dialami sangat ringan, dengan jumlah ruam dibawah  50, demam ringan atau tanpa demam, dan hanya berlangsung beberapa hari. Vaksinasi diberikan pada kelompok-kelompok berikut: anak dengan usia antara 12-18 bulan yang belum pernah mengalami cacar air harus mendapatkan satu dosis vaksinasi; anak dengan usia antara 19 bulan higga 13 tahun yang belum pernah mengalami cacar air harus mendapatkan satu dosis vaksinasi; orang dewasa yang belum pernah mengalami cacar air dan bekerja atau tinggal di lingkungan di mana penularan cacar air sangat mungkin terjadi, misalnya di sekolah, penitipan anak, rumah sakit, asrama, penjara, atau barak militer.
Wanita usia reproduktif yang belum pernah mengalami cacar air dan tidak dalam keadaan hamil; orang dewasa dan remaja yang belumpernah mengalami cacar air dan tiggal dengan anak-anak; orang yang hendak bepergian ke luar negeri dan  belum pernah mengalami cacar air.
Varicella Zoster Immunoglobulin (VZIG) direkomendasikan oleh CDC and prevention 1996 untuk pencegahan dengan dosis 125 U/10 kgBB, maksimum 625 unit atau 5 vial untuk pencegahan pre atau pascatercemar. Varicella Vaccine (Varivax), merupakan life virus vaksin terapi tidak direkomendasikan pada perempuan hamil. Terjadinya infeksi virus ini pada kehamilan 13-20 minggu akan menyebabkan terjadinya cacat bayi pada 0,4-2% dari kehamilan. Kelainan dapat merupakan korioretinitis, atrofi kortek selebri, hidronefrosis, dan cacat pada kulit serta kaki. Jika infeksi terjadi sesaat sebelum dan sesudah persalinan juga berbahaya bagi bayi karena antibodi ibu belum terbentuk (masa inkubasi virus ini umunya kurang dari 14 hari). Karena itu bayi yang lahir dari ibu hamil dengan infeksi virus ini 5 hari sebelum dan sesudah persalinan harus segera divaksin dengan VZIG atau ZIG (zoster immunoglobulin). Dengan pemberian vaksin ini 30-40% bayi masih bisa mengalami infeksi, tetapi komplikasi dan kematian sangat dikurangi.


8.      Penanganan (pengawasan dokter)
Karena cacar air pada umumnya ringan dan sembuh dengan sendirinya, penanganan cacar air terutama ditujukan untuk meringankan gejala yang dapat dilakukakn, yaitu: Tirah baring secukupnya, parasetamol untuk menurunkan demam, Calamine dan mandi dengan air suam-suam kuku untuk meringankan rasa gatal, sarung tangan untuk mencegah anak mnggaruk ruam mungkn dibutuhkan pada anak-anak yang sangat kecil; Makanan yang lebih lembut dan menyejukkan jika ada ruam di dalam mulut; sedangkan beberapa penanganan yang tidak dianjurkan adalah , yaitu: Antihistamin yang brsifat sedatif (membuat tidur) seperti chlorpheniramine. Obat golongan ini tidak signifikan untuk menangani rasa gatal pada cacar air; Antivirus tidak direkomendasikan penggunaanya pada cacar air tanpa komplikasi. Bahkan jika mulai diberikan pada hari dimana ruam pertama kali muncul, antivirus hanya mengurangi satu hari dari lamanya sakit. Penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa acyclovir (salah satu antivirus) tidak bermakna dalam menurunkan risiko komplikasi pada cacar air. Selain itu penggunaan antivirus secara teori juga dapat merubahnya respon kekebalan tubuh sehingga virus dapat teraktivasi kembali lebih cepat dalam bentuk herpes zoster (cacar ular). Antivirus dapat diprtimbangkan untuk digunakan pada cacar air dengan komplikasi yang berat, cacar air pada bayi di bawah usia 28 hari, atau pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah. Pemberian antivirus ini harus dilakukan dalam jangka waktu 48 jam setelah ruam pertama kali muncul. Antibiotik hanya dibutuhkan jika ada infeksi kulit oleh bakteri.
Oleh karena sebagian besar orang dewasa  95% seropositif VZV, bahkan wanita hamil tanpa riwayat varisela yang terpajan tetap perlu diperiksa untuk serologi VZV. Paling tidak 70% dari mereka akan seropositif dan karenanya kebal. Wanita hamil yang terpajan dan rentan perlu diberi variZIG dalam 96 jam pajanan untuk mencegah atau memperlemah infeksi varisela.
Wanita hamil yang didiagnosis menderita infeksi varisela primer perlu diisolasi dari wanita hamil lainnya. Pneumonia sering tidak memperlihatkan foto toraks. Sebagian besar wanita hanya memerlukan terapi suportif, tetapi mereka yang memerlukan cairan intravena dan khususnya mereka yang mengidap pneumonia perlu dirawat-inap. Terapi asiklovir intravena diberikan dengan dosis 500 mg/m2 atau 10-15 mg/kg setiap 8 jam.
Suatu vaksin virus hidup yang telah dilemahkan varivax telah disetujui pemakaiannya pada tahun 1995. Dua dosis, yang diberikan terpisah 4-8 minggu, dianjurkan untuk remaja dan dewasa tanpa riwayat varisela. Vaksinasi ini menghasilkan serokonversi 97% (Centers for Disease Control and Prevention,2007e). Imunitas yang dipicu oleh vaksin berkurang seiring waktu, dan angka infeksi breakthrough adalah sekitar 5% pada 10 tahun (Chaves dkk., 2007). Vaksin ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan jangan diberikan pada wanita yang mungkin hamil dalam 1 bulan setelah setiap pemberian dosis vaksin.suatu data tentang 362 kehamilan yang terpajan vaksin tidak melaporkan adanya sindrom varisela kongenital atau malformasi kongenital terkait lainnya (Shields dkk.,2001). Virus yang telah dilemahkan tersebut tidak disekresikan di air susu. Karena itu, vaksinasi pascapartum jangan ditunda dengan alasan menyusui (Bohlke dkk., 2003).
Vaksin untuk mencegah herpes  zoster-zostavax- mendapat lisensi pada tahun 2006 tetapi saat ini tidak dianjurkan untuk orang yang berusia kurang dari 60 tahun (Centers for Disease Control and Prevention,2007a).

E.     Toxoplasmosis
1.      Definisi
Infeksi toksoplasmosis dapat menyerang pada manusia akibat termakannya spora toksoplasma gondii. Penyebab dari infeksi tersebut adalah : makan daging mentah yang mengandung telur (ookista) toksoplasma; sayuran terkontaminasi telur (ookista) toksoplasma; melalui tangan yang terkontaminasi (misalkan pada petugas laboratorium, perkebunan, peternakan, dan lain-lain); kontak yang tidak sengaja dengan tinja kucing; bermain-main dengan kucing selama hamil.
To xsoplasma gondii memiliki daur hidup kompleks dengan tiga bentuk; 910 suatu tokizoit yang mnginvasi dan bereplikasi didalam sel selama infeksi, (2) suatu bradizoit, yang membentuk kista di jaringan selama infeksi laten dan (3) suatu sporozoit yang ditemukan dalam ookista yang tahan terhadap pengaruh lingkungan (Jones dkk., 2001). Protozoa yang ditemukan di mana-mana ini ditularkan melalui konsumsi daging mentah atau setengah matang yang telah terinfeksi oleh kista jaringan atau melalui kontak dengan ookista tinja kucing yang terinfeksi dalam air, tanah, atau sampah yang tercemar.
2.      Tanda dan gejala
Tidak menunjukkan tanda-tanda yang jelas. Kadang-kadang hanya ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher disertai rasa nyeri, sakit tenggorokan, gangguan pada kulit dan juga demam. Diagnosis toksoplasmosis pada orang dewasa sangat sulit karena penyakit ini biasanya tidak disertai gejala-gejal. Karena gejala klinisnya kurang spesifik, diagnosis pada umunya didapat melalui uji serulogik rutin pada kehamilan muda.
3.      Komplikasi pada ibu dan janin
a.       Efek janin
Kelainan pada saraf mata dan infeksi mata yang berat, kelainan sistemik seperti pucat, kuning, demam, pembesaran hati dan limpa atau perdarahan, encephalus 9tidak memiliki tulang tengkorak), hydrocephalus (pembesaran kepala), pertumbuhan janin terhambat. Keterlambatan perkembangan psikomotor dalam bentuk retardasi mental, dang gangguan bicara, kelainan kongenital, kematian.
b.      Efek ibu
Abortus, kelahiran prematur, kematian janin, partus prematurus, kematian neonatal, kelainan kongenital pada bayi.
4.      Penanganan
Infeksi toksoplasmosis dapat kita cegah melalui: hindari makan-makanan yang dimasak setengah matang dan mentah, bersihkan sayuran dan buah-buahan sebelum dimakan dengan benar, bila anda membersihkan sampah atau tempat sampah jangan lupa menggunakan sarungan tangan, sebaiknya serahkan tugas ini pada anggota keluarag lain, pakailah sarung tangan bila anda ingin mengerjakan pekerjaan kebun atau pekarangan anda, untuk menghindari kontak langsung dari kotoran terinfeksi, konseling yang berkaitan dengan infeksi toksoplasmosis risikon terhadap fungsi reproduksi dan hasil konsepsi, dapat dilakukan dengan rawat jalan, selama kehamilan ibu dapat diterapi dengan spiramisin atau setelah kehamilan 14 minggu ibu diterapi dengan pirimethamin dan sulfonamide, evaluasi kondisi antigen dan titer immunoglobin toksoplasma, upayakan persalinan pervaginam dan apabila terjadi disproporsi kepala panggul yang disebabkan oleh hidrosefalus, lakukan kajian ultrasonografi ketebalan kortek untuk pilihan penyelesaian masalah.















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tetapi masih merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyerang seluruh organ tubuh termasuk sistem peredaran darah, syaraf dan dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, sehingga menyebabkan kelainan bawaan pada bayi tersebut. Sifilis sering dikenal sebagai lues, Raja Singa.
Cytomegalovirus atau lebih sering disebut dengan CMV adalh infeksi oportiunistik yang berhubungan dengan HIV. Virus ini dibawa oleh sekitar 50% populasi dan 90% penderita dengan HIV. Cytomegalovirus juga merupakan anggota keluarga virus herpesyang biasa disebut dengan herpes viridae. CMV sering disebut dengan sebagai “virus paradoks” karena bila menginfeksi seseorang dapat berakibat fatal, atau dapat juga hanya diam di dalam tubuh penderita seumur hidupnya.
Infeksi virus Rubella merupakan penyakit ringan pada anak dan dewasa, tetapi apabila terjadi pada ibu yang sedang mengandung virus ini dapat menembus dinding plasenta dan langsung menyerang janin. Rubella atau dikenal juga dengan nama campak jerman adalah penyakit menular yang disebabkan oleh vius Rubella. Virus biasanya menginfeksi tubuh melalui pernafasan seperti hidung dan tenggorokkan. Anak-anak biasanya lebih cepat sembuh dibandingkan dengan oang dewasa.
Cacar Air, dalam bahasa Inggris disebut sebagai Chickenpox, atau dalam bahasa kedokteran disebut sebagai Varicella. Penyakit yang sangat menular ini disebabkan virus bernama Varicella Zooster Virus (VZV). Varicella atau Cacar Air merupakan infksi akut menular. Cacar air adalah salah satu pnyakit yang umum ditemui pada anak-anak. 90% kasus cacar air terjadi pada anak di bawah sepuluh tahun.
Infeksi toksoplasmosis dapat menyerang pada manusia akibat termakannya spora toksoplasma gondii. Penyebab dari infeksi tersebut adalah : makan daging mentah yang mengandung telur (ookista) toksoplasma; sayuran terkontaminasi telur (ookista) toksoplasma; melalui tangan yang terkontaminasi (misalkan pada petugas laboratorium, perkebunan, peternakan, dan lain-lain); kontak yang tidak sengaja dengan tinja kucing; bermain-main dengan kucing selama hamil.































Daftar Pustaka
MMK,Ai yeyeh Rukiyah,S.Si.T.MMK,Lia Yulianti,Am.keb.2010.Asuhan Kebidanan 4 (Patologi).Jakarta:Trans Info Media
Gunggingham,F.Gary.2012.Obstetri Williams edisi 23.Jakarta:EGC
Fraser,Diane M.Cooper,Margaret A.2009.Buku Ajar Bidan Myles.Jakarta:EGC
Sarwono Prawirohardjo.2010.Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar