Selasa, 25 Februari 2014

Penyakit ginjal,asma,Tb paru pada kehamilan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Gagal ginjal
1.      Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan  fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal  ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Menurut Nursalam (2006), gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal. Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah) (Smeltzer dan Bare, 1997 dalam Suharyanto dan Madjid, 2009).
Menurut Brunner & Suddarth (2002), gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal ginjal kronis menurut  The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009 adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih tiga bulan
dengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/men./1,73 m2 (Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2003).
Gagal ginjal kronis (Chronic Renal Failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal), (Nursalam, 2006).
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan  irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia ( Smeltzer, Suzanne C, 2002).
Menurut Doenges, 1999, Chronic Kidney Disease biasanya berakibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap. Penyebab termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vascular (nefrosklerosis), proses obstruktif (kalkuli), penyakit kolagen (lupus sistemik), agen nefrotik (aminoglikosida), penyakit endokrin (diabetes). Bertahapnya sindrom ini melalui tahap dan menghasilkan perubahan utama pada semua sistem tubuh.
Gagal ginjal kronik (Chronic Renal Failure) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan yang cocok untuk kelangsungan hidup, yang bersifat irreversible, (Baradero, Mary).
Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang irreversible dan berlangsung 8 lambat sehingga ginjal tidak mampu mempertahankan metabolisme tubuh dan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyebabkan uremia.
2.      Etiologi
Menurut Price dan Wilson (2005) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut :
a)      Penyakit infeksi tubulointerstitial:  Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
b)      Penyakit peradangan: Glomerulonefritis
c)      Penyakit vaskuler hipertensif:  Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna, Stenosis arteria renalis
d)     Gangguan jaringan ikat:  Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
e)      Gangguan congenital dan herediter:  Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal
f)       Penyakit metabolik: Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
g)      Nefropati toksik: penyalahgunaan analgesi, nefropati timah.
h)      Nefropati obstruktif: Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma, fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra)
3.      Patofisiologis
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab pada akhirnya akan terjadi kerusakan nefron. Bila nefron rusak maka akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus dan terjadilah penyakit gagal ginjal kronik yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan dan fungsi non-eksresi. Gangguan fungsi non-eksresi diantaranya adalah gangguan metabolism vitamin D yaitu tubuh mengalami defisiensi vitamin D yang mana vitamin D bergunan untuk menstimulasi usus dalam mengabsorpsi kalsium, maka absorbs kalsium di usus menjadi berkurang akibatnya terjadi hipokalsemia dan menimbulkan demineralisasi ulang yang akhirnya tulang menjadi rusak. Penurunan sekresi eritropoetin sebagai factor penting dalam stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tulang menyebabkan produk hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga peningkatan oksigen oleh hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang maka tubuh akan mengalami keadaan lemas dan tidak bertenaga.
Gangguan clerence renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi.penurunan laju filtrasi glomerulus di deteksi dengan memeriksa clerence kretinin urine tamping 24 jam yang menunjukkan penurunan clerence kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Retensi cairan dan natrium dapat megakibatkan edema, CHF dan hipertensi. Hipotensi dapat terjadi karena aktivitasbaksis rennin angiostenin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.  Kehilangan garam mengakibatkan resiko hipotensi dan hipovolemia. Muntah dan diare 20menyebabkan perpisahan air dan natrium sehingga status uremik memburuk. Asidosis metabolic akibat ginjal tidak mampu menyekresi asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekrsi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu menyekresi ammonia (NH3-) dan megapsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan eksresi fosfat dan asam organic yang terjadi.
Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status  uremik pasien terutama dari saluran pencernaan. Eritropoietin yang dipreduksi oleh ginjal menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah dan produksi eritropoitein menurun sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai dengan keletihan, angina dan sesak nafas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolism. Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya, kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parahhormon dari kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal terhadap peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang menurun, menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang. (Nurlasam, 2007).
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti olehpeningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis reninangiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal juga yang dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.  Kemudian secara perlahan tapi pasti,  akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada   seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan  berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia. gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikataan sampai pada stadium gagal ginjal.
4.      Anatomi dan fisiologis ginjal

Anatomi ginjal menurut price dan Wilson (2005) dan Smletzer dan Bare (2001), ginjal merupakan organ berbentuk  seperti kacang yang terletak pada kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena tekanan ke bawah oleh hati. Katub atasnya terletak setinggi iga kedua belas. Sedangkan katub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas. Ginjal dipertahankan oleh bantalan lemak yang tebal agar terlindung dari trauma langsung, disebelah posterior dilindungi oleh iga dan otot-otot yang meliputi iga, sedangkan  anterior dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Ginjal kiri yang berukuran normal biasanya tidak teraba pada waktu pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas permukaan anterior ginjal tertutup oleh limfa, namun katub bawah ginjal kanan yang berukuran normal dapat diraba secara bimanual.
Ginjal terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal sebagai kapsula renis. Disebelah anterior ginjal dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya oleh lapisan peritoneum. Disebelah posterior organ tersebut dilindungi oleh  dinding toraks bawah. Darah dialirkan kedalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam ginjal melalui vena renalis.  Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis membawa darah kembali kedalam vena kava inferior.
Apabila dilihat melalui potongan longitudinal, ginjal terbagi menjadi dua bagian yaitu korteks bagian luar dan medulla di bagian dalam. Medulla terbagi-bagi menjadi biji segitiga yang disebut  piramid, piranidpiramid  tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut  kolumna bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.  Papilla (apeks)dari piramid membentuk  duktus papilaris bellini  dan masukke dalam perluasan ujung pelvis ginjal yang disebut  kaliks minor dan bersatu membentuk  kaliks mayor, selanjutnya membentuk pelvis ginjal. Gambar penampang ginjal dapat dilihat pada gambar. 3

Ginjal tersusun dari beberapa nefron. Struktur halus ginjal terdiri atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal, jumlahnya sekitar satu juta pada setiap ginjal yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowmen yang mengintari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, 12lengkung henle dan tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula bowman dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan nama ruang bowmen atau ruang kapsular. Kapsulabowman dilapisi oleh sel - sel epitel. Sel epitel parielalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula, sel epitel veseralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari rumbai kapiler. Sel viseral membentuk tonjolan - tonjolan atau kaki -kaki yang dikenal sebagai pedosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak- jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel. Daerah - daerah yang terdapat diantara pedosit biasanya disebut celah pori - pori.


Vaskilari ginjal terdiri dari arteri renalis dan vena renalis.setiap arteri renalis bercabang waktu masuk kedalam hilus ginjal. Cabang tersebut menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara pyramid dan selanjutnya membentuk arteri arkuata yang melengkung melintasi basis pyramid-piramid ginjal. Arteri arkuat kemudian membentuk arteriolaarteriola interlobaris yang tersusun oleh parallel dalam korteks, arteri ini selanjutnya membentuk arteriola aferen dan berakhir pada rumbai-rumbai kapiler yaitu glomerolus. Rumbai-rumbai kapiler atau glomeruli bersatu membentuk arteriola eferen yang bercabang-cabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan kapiler peritubular.
Darah yang mengalir melalui system portal akan dialirkan ke dalam jalinan vena menuju vena intelobaris dan vena renalis selanjutnya mencapai vena kava inferior. Ginjal dilalui oleh darah sekitar 1.200 ml permenit atau 20%-25% curah jantung (1.500 ml/menit).
5.      Fungsi ginjal
Menurut Price dan Wilson (2005), ginjal mempunyai berbagai macam fungsi yaitu ekskresi dan fungsi non-ekskresi. Fungsi ekskresi diantaranya adalah :
a.       Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah-ubah ekskresi air.
b.       Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal.
c.       Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3.
d.      Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolism protein, terutama urea, asam urat dan kreatinin.
Sedangkan fungsi non-ekresi ginjal adalah :
a.       menghasilkan rennin yang penting untuk pengaturan tekanan darah.
b.      Menghasilkan eritropoetin sebagai faktor penting dalam stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tulang.
c.       Metabolism vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
d.      Degradasi insulin.
e.       Menghasilkan prostaglandin.
6.      Perubahan pada Saluran Kemih Akibat Kehamilan
Perrubahan signifikan struktur dan fungsi yang berlangsung di saluran kemih selama kehamilan normal. Ginjal menjadi lebih besar, dilatasi kaliks ginjal dan ureter dapat dapat sangat mencolok. Sebagian dilatasi terjadi sebelum 14 minggu dan kemungkinan disebabkan oleh relaksasi otot yang dipicu oleh progesteron. Dilatasi yang lebih nyata tampak pada awal pertengahan kehamilan karena penekanan ureter, terutama disisi kanan (Faundes,dkk., 1998). Selama kehamilan sedikit banyak juga terjadi refluks vesikoureter. Konsekuensi penting dari perubahan-perubahan fisiologis ini adalah meningkatnya risiko infeksi saluran kemih bagian atas dan kadang-kadang kesalahan interpretasi terhadap pemeriksan-pemeriksaan yang dilakukan untuk mengevaluasi obstruksi.
Bukti hipertrofi fungsional mulai terlihat segera setelah konsepsi. Glomerulus menjadi lebih besar, meskipun jumlah sel tidak meningkat (Stevens, dkk., 2003). Vasodiltasi intrarenal yang dipicu oleh kehamilan meningkatkan aliran plasma ginjal efektif dan filtrasi glomerulus. Pada usia gestasi 12 minggu, laju filtrasi glomerulus sudah meningkat 20% di atas nilai-non hamil (Hladunewich, dkk.,2004). Pada akhirnya. Aliran plasma dan filtrasi glomerulus meningkat masing-masing 40 dan 65 persen. Karenanya konsentrasi kreatinin dan urea serum menurun secara subtansial sepanjang kehamilan, dan nilai-nilai dalam kisaran normal pada keadaan tak-hamil mungkin menjadi abnormal selama kehamilan (lihat Apendiks). Perubahan lain adalah yang berkaitan dengan pemeliharaan homeostasis asam-basa normal, osmoregulasi dan retensi elektrolit.
7.      Penilaian Fungsi Ginjal Selama Kehamilan
Urinalis pada hakikatnya tidak berubah selama kehamilan, kecuali kadang-kadang terjadi glukosuria. Meskipun normalnya meningkat, eksresi protein jarang mencapai kadar yang terdeteksi oleh metode pemeriksaan penyaring biasa. Higby, dkk (1994) melaporkan eksresi proteni 24 jam adalah 115 mg dengan interval kepercayaan 95 % di 260 mg/hari (lihat Apendiks). Tidak terdapat perbedaan signifikan berdasarkan trimester. Albumin hanya membentuk sebagian kecil dari eksresi protein total dan berkisar dari 5 sampai 30 mg/hari. Dari ulasan mereka, Airoldi dan Weinstein (2007) menyimpulkan bahwa proteinuria harus melebihi 300 mg/hari untuk dianggap abnormal. Sebagian besar menganggap patokan 500 mg/hari penting pada hipertensi gestasional.
  Stehman-Breen dkk., (200) mendapatkan bahwa 3% dari 4.589 nulipara mengidap hematuria idiopatik yang didefinisikan sebagai darah 1+ atau lebih pada pemeriksaan dipstick sebelum 20 minggu. Mereka juga melaporkan ahwa para wanita ini memiliki peningkatan risiko preeklamsia dua kali lipat. Dalam penelitian lain terhadap 1.000 wanita yang diperiksa selama kehamilan, Brown, dkk. (2005) melaporkan insiden hamaturia dipstick sebesar 15%. Sebagian besar wanita tersebut hanya memperlihatkan trace hematuria dan angka positif-palsu mencapai 40 persen.
Jika kreatini serum terus melebihi 0,9 mg/dl (75µmol/L) maka perlu dicurigai adanya penyakit ginjal intrinsik. Pada kasus-kasus ini, sebagian menentuka ersihan kreatinin sebagai perkiraan untuk laju filtrasi glomerulus. Sonografi memberikan gambaran ukuran dan konsistensi relatif ginjal, serta elemen-elemen obstruksi. Pielografi intravena sekuens lengkap tidak dilakukan secara rutin, tetapi penyuntikan medium kontras disertai satu atau dua kali radiografi abdomen dapat dilakukan sesuai indikasi klinis. Tindakan sistoskopi juga sesuai indikasi. Semin., dkk. (2009) melaporkan angka penyulit 8% dalam ulasan mereka terhadap 14 laporan uteroskopi yang dilakukan untuk mengangkut batu pada 108 kehamlian.
Meskipun biopsi ginjal relatif dapat dengan aman dilakukan selama kehamilan, tindakan ini biasanya ditunda kecuali jika dapat mengubah terapi. Lindheimer dkk,. (2008) menganjurkan untuk mempertimbangkannya jika terjadi perburukan cepat fungsi ginjal tanpa sebab jelas atau untuk sindrom nefrotik simtomatik. Kami mendapatkan bahwa biopsi bermanfaat pada  beberapa kasus, dan Chen dkk., (2001) melaporkan 15 wanita dimana biopsi membantu  mengarahkan penatalaksanaa. Steven, dkk (2003) melakukan biopsi ginjal pada 12 volunter hamil normal dan melaporkan bahwa lima memperlihatkan endoteliosis glomerulus derajat ringan sampai sedang. Sebaliknya seluruh dari 27 wanita dengan hipertensi proteinurik memperlihatkan endoteliosis, dan pada semuanya kecuali satu, derajatnya sedang sampai parah.
8.      Infeksi Saluran Kemih
Ini adalah infeksi bakteri tersering selama kehamilan. Meskipun bakteriuria asimtomatik adalah yang tersering, dapat terjadi infeksi simtomatik berupa sistitis atau infeksi yang mengenai kaliks, pelvis dan parenkim ginjal-pielonefritis.
Organisme yang dapat menyebabkan infeksi kemih adalah organisme yang berasal dari flora perineum normal. Sekitar 90% galur Escherichia coli yang menyebabkan pielonefritis non-obstruktif memiliki adhesin, misalnya fimbrae-P dan S yang meningkatkan virulensi kuman ini (Dodson, dkk., 2001; Lugering dkk., 2003). Adhesin ini mendorong pengikatan ke sel vagina dan uroepitel melalui ekspresi gen papG yang menyandi ujung P fimbria  serta melalui produksi hemolusin (Hooton dkk., 2000). Ekspresi kelompok gen dra (dra gene cluster) dilaporkan berkaitan dengan E.coli resisten-ampisilin (Hart dkk.,2001). Meskipun kehamilan itu sendiri tidak meningkatkan faktor virulensi ini, stasis kemih dan refluks vesikoureter mempermudah terjadinya infeksi saluran kemih atas simtomatik (Twickler dan rekan, 1994). Pengidap diabetes sangat rentan terhadap timbulnya pielonefritis.
Pada masa nifas, terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah seorang wanita terkena infeksi kemih. Sensitivitas kandung kemih terhadap tekanan cairan intravesika sering berkurang akibat trauma persalinan serta analgesia konduksi. Sensasi peregangan kandung kemih juga dapat berkurang oleh rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh episiotomi, laserasi periuretra atau hematoma dinding vagina. Diuresis pascapartum normal mungkin memperburuk peregangan berlebihan kandung kemih. Kateterisasi untuk mengurangi retensi dan peregangan sering menyebabkan infeksi saluran kemih, tetapi tampaknya tidak terjadi sekuele jangka-panjang (Yip dkk., 2002).
a.       Bakteriuria Asimtomatik
Hal ini merujuk pada bakteri yang persisten dan secara aktif bermultiplikasi di dalam saluran kemih tenpa menimbulkan gejala. Prevalensinya pada wanita tak-hamil adalah 5-6% dan bergantung pada paritas, ras dan status sosioekonomi (Hooton, dkk., 2000). Insiden tertinggi adalah pada wanita multipara Amerika-Afrika dengan sifat sel sabit , dan insiden terendah adalah pada wanita kulit putih golongan mampu dengan paritas rendah. Karena kebanyakan wanita mengalami bakteriuria rekuren atau persisten maka hal ini sering dijumpai pada perawatan pranatal. Insiden pada kehamilan serupa dengan pada wanita tak-hamil dan bervariasi dari 2-7%.
Bakteriuria biasanya ditemukan pada saat kunjungan pranatal pertama dan jika biakan awal urin positif ini diterapi maka kurang dari 1% wanita akan mengalami infeksi saluran kemih (Whalley, 1967). Spesiemen clean-voided yang mengandung lebih dari 100.000 organisme permililiter bersifat diagnostik. Tampaknya akan lebih baik jika konsentrasi yang lebih rendah juga diterapi karena pielonefritis terjadi pada wanita dengan hitung koloni 20.000-50.000 organisme/mL (Lucas dan Cunningham,1993).
Infeksi saluran kemih banyak terjadi selama kehamilan dan Escherichia coli merupakan organisme penyebabnya tersering. Semua wanita harus menjadi skrining bakteriuria dengan menggunakan spesimen urine bersih pada pemeriksaan antenatal mereka yang pertama. Diagnosis bakteruria asimtomatik (asymtomatic bacteriuria (ASB) ) ditetapkan jika ditemukan lebih dari 100.000 bakteri per mililietr urine. ASB terjadi pada 2-10% wanita hamil sebagia akibat dari perubahan fisiologis saluran kemih selama kehamilan. Jika ASB tidak diidentifikasi dan diobati, akan terjadi infeksi, 20-30% dari wanita hamil tersebut akan mengalami infeksi saluran kemih simptomatik, misalnya sistitis atau pielonefritis. Infeksi ini dapat menimbulkan risiko yang signifikan pada ibu dan janin dan terdapat data yang menunjukkan bahwa infeksi tersebut berperan dalam terjadinya kehamilan prematur. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengobati ASB dengan antibiotik; wanita yang menderita infeksi saluran kemih berulang akan membutuhkan pengobatan dengan antibiotik profilaksis (Smail 2001).
Terapi Bakteriurea berespons terhadap terapi empiris dengan salah satu dari regimen antimikroba . meskipun pemilihan dapat didasarkan pada pemeriksaan sensitivitas in vitro, namun berdasarkan pengalaman kami yang cukup banyak, terapi oral empiris selama 10 hari dengan makrokristal nitrofurantoin, 100 mg sebelum tidur malam, biasanya efektif. Lumbiganon dkk., (2009) melaporkan hasil memuaskan dengan nitrofurantoin 100 mg dua kali sehari selama seminggu. Terapi antimikroba dosis-tunggal juga pernah dilaporkan keberhasilannya untuk bakteriuria. Peringatan yang penting diketahui adalah bahwa, apapun regimen yang diberikan, angka kekambuhan adalah sekitar 30%. Hal ini mungkin menunjukkan infeksi saluran atas yang tersamar dan perlunya terapi yang lebih lama. Untuk kasus yang kambuh,kami memperoleh hasil baik dengan nitofurantoin 100 mg/oral menjelang tidur selama 21 hari (Lucas dan Cunningham,1994). Bagi wanita dengan bakteriuria yang sering kambuh, dapat diberikan terapi supresif sepanjang kehamilan. Kami secara rutin menggunakan nitrofurantoin, 100 mg per oral menjelang tidur. Meskipun jarang, obat ini dapat menyebabkan reaksi paru akut yang mereda setelah obat dihentikan (Boggess dkk., 1996).
b.      Sistitis dan Uretritis
Infeksi saluran kemih bawah selama kehamilan dapat terjadi tanpa didahului oleh bakteriuria tersamar (Harris dan Gilstrap, 1981). Sistitis ditandai oleh disuria, urgensi dan peningkatan frekuensi berkemih, tetapi jarang disertai oleh gejala sistemik. Biasanya dijumpai piuria dan bakteriuria. Hematuria mikroskopik sering ditemukan dan kadang terjadi hematuria makroskopik karena sistitis hemoragik (Fakhoury, dkk., 1994). Meskipun sistitis biasanya tidak menimbulkan penyulit, saluran kemih dapat mengalami  infeksi asendens. Sekitar 40% wanita hamil dengan pielonefritis akut sebelumnya mengalami gejala-gejala infeksi saluran kemih bawah (Gilstrap dkk.,1981a).
Terapi, wanita dengan sistitis berespons baik terhadap berbagai regimen pengobatan. Sebagian besar dari regimen tiga hari biasanya efektif 90% (Fih,2003). Terapi dosis tunggal kurang efektif, dan jika digunakan maka pielonefritis harus benar-benar telah disingkirkan, Gejala saluran kemih bawah disertai piuria, tetapi dengan biakan urin steril, mungkin disebabkan uretritis akibat chlamydia trachomatis. Biasanya juga terdapat sevitis mukopurulen, dan terapi eritromisin biasanya efektif.
c.       Pielonefritis akut
Infeksi ginjal adalah penyulit medis serius yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Dalam suatu penelitian Calipornia Pregnancy Complication Surveilance System oleh Scott dkk., (1997), infeksi kemih kelamin adalah indikasi kedua rawat inap wanita hamil non-inpartum. Angkanya adalah 4 per 100 untuk hampir 150.000 kehamilan. Dalam sebuah studi terhadap lebih dari 70.000 kehamilan dalam suatu organisasi asuransi kesehatan, Gazmararian dkk., (2002) melaporkan bahwa 3,5% rawat inap antepartum adalah karena infeksi saluran kemih. Potensi keseriusan hal ini digaris bawahi oleh pengamatan Mabie dkk., (1997).
Infeksi ginjal sering terjadi pada trimester 2, dan faktor risiko terkait adalh nuliparitas dan usia muda (Hill dkk.,2005). Infeksi ini unilateral dan terjadi diginjal kanan pada lebih dari separuh kasus, dan bilateral seperempat kasus. Biasanya terjadi demam dengan awitan yang cukup mendadak, menggigil dan nyeri pegal di satu atau kedua regio lumbal. Aneroksia, mual, dan muntah dapat memperparah dehidrasi. Perkusi satu atau kedua sudut kostovertebra dapat memicu rasa nyeri. Sedimen urin mengandung banyak leukosit, sering menggumpal dan banyak bakteri. Bakteremia dibuktikan terjadi pada 15-20% dari para wanita ini. E.coli ditemukan dalam urin atau darah pada 70-80% infeksi, Klebsiella pneumoniae pada 3-5%, Enterobacter atau Proteus pada 3-5%, dan organisme positif gram termasuk Streptococcus grup B pada hampir 10 % kasus (Hill dkk, 2005; Wing dkk., 2000). Diagnosis banding mencakup antara lain, persalinan, korioamnionitis, apendisitis, solusio plasenta, atau infark leiomioma. Tanda-tanda sindrom sepsis sering dijumpai.
Pielonefritis akut mempersulit hampir 1% dari seluruh kehamilan (Norman et al 2001). Ibu yang menderita pielonefritis biasanya merasa sangat tidak sehat. Tanda dan gejala pielonefritis meliputi: pireksi yang dapat mencapai 40oC, rigor, takikardia, mual dan muntah yang dapat menyebabkan dehidrasi. Biasanya terdapat nyeri dan nyeri tekan pada area pinggang yang dapat disertai dengan kaku otot. Nyeri senderung terjadi sepanjang ureter dan menyebar ke area suprapubik. Kemungkinan ibu juga mengeluh adanya disuria dan sering kemih. Pemeriksaan urine menunjukkan tampilan yang keruh dan organisme penginfeksi yang sering ditemukan adalah E.coli.
Penatalaksanaan wanita hamil dengan Pielonefritis akut adalah :
a)      Rawat inap,
b)     lakukan pemeriksaan urin dan darah,
c)      evaluasi hemogram, kreatinin serum dan elektrolit.
d)     Pantau tanda vital secara berkala, termasuk cura urin, pertimbangkan kateter tetap.
e)      Upayakan curah urin >50 mL/jam dengan kristaloidintravena.
f)       Berikan terapi anti mikroba intravena.
g)      Lakukan foto toraks jika terjadi dispneu atau takipneu.
h)     Ulangi pemeriksaan hematologi dan kimia dalam 48 jam.
i)        Ubah ke antimikroba oral jika sudah tidak demam.
j)       Pulangkan setelah afebris 24 jam, pertimbangkan terapi antimikroba selama 7-10 hari.
k)     Ulangi biakan urin 1-2 minggu setelah terapi antimikroba dihentikan.
Ibu yang menderita pielonefritis akut dapat mengalami komplikasi yang signifikan, misalnya persalinan prematur , sindrom distres pernapasan akut, sepsis dan syok (Gilstrap & Ramin 2001). Oleh sebab itu, jika mengalami tanda dan gejala pielonefritis, ibu harus segera diperiksa dokter. Spesimen urine aliran tengah perlu diambil dan dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan kultur dan sensitivitas. Hospitalisasi banyak dilakukan untuk memberikan antibiotik intravena sesegera mungkin. Jika pireksia sudah hilang, antibiotik oral dapat diberikan.
             Selama tahap awal penyakit, ibu akan mengalami sakit yang cukup berat dan hal ini akan menyebabkan tetap berada ditempat tidur. Mual dan muntah yang berat dapat menyebabkan dehidrasi sehingga diperlukan pemberian cairan intravena. Pencatatan yang akurat tentang keseimbangan cairan harus dibuat  untuk mengkaji fungsi ginjal. Bidan harus memberikan asuhan keperawatan umum, termasuk observasi suhu, dan nadi setiap 4 jam. Penurunan suhu mungkin harus dilakukan dengan menggunakan  tipid sponging dan antipiretik. Aktivitas uterus harus dipantau untuk  mendeteksi awitan persalinan prematur. Bidan juga harus melakukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya komplikasi imobilitas, misalnya trombosis vena dalam; hal tersebut memerlukan penggunaan stoking antitrombolitik dan dokter mungkin akan memberikan terapi heparin dosis rendah.
Terapi antibiotik dipertahankan selama 10 hari. Kultur ulang harus dilakukan 2 minggu setelah pengobatan selesai dan setiap bulan hingga kelahiran untuk memastikan bahwa tidak terjadi kekambuhan. Urografi eksresi tindak lanjut sering kali dilakukan 3 bulan pascanatal karena infeksi persisten atau kambuhan dengan atau tanpa gejala yang dapat berkaitan dengan abnormalitas saluran ginjal.
d.      Nefropati Refluks
Ini adalah nefritis interstisium kronik yang secara klasik  diperkirakan disebabkan oleh infeksi, yaitu pielonefritis kronik. Karena jaringan parut (yang terdeteksi secara radiografis) sering disertai oleh refluks ureter  ketika berkemih maka hal ini disebut nefropati refluks. Penyulit jangka panjang adalah hipertensi, yang mungkin cukup parah jika terjadi kerusakan ginjal (Kohler dkk., 2003). Pada kebayakan kasus, infeksi ginjal pada masa anak terbukti mendahului kelainanini. Setelah koreksi bedah, separuh dari wanita ini mengalami bakteriuria ketika hamil (Mor dkk., 2003). Kurang dari separuh wanita memperlihatkan riwayat sistitis, pielonefritis akut atau penyakit obstruktif yang jelas sebelumnya. Jelaslah hanya sedikit orang dengan infeksi saluran kemih berulang yang mengalami kelainan ginjal progresif.
Prognosis ibu dan janin bergantung pada tingkat kerusakan ginjal. El-khatib (1994), Jungers (1996), Kohler dk., (2003), melaporkan hasil akhir dari 939 kehamilan pada 379 wanita dengan nefropati refluks. Gangguan fungsi ginjal dan pembentukan jaringan parut ginjal bilateral dilaporkan berkaitan dengan peningkatan penyulit pada ibu.
9.      Nefrolitasis
Batu ginjal terbentuk pada 7% wanita sepanjang hidup mereka dengan usia awitan rerata pada dekade ketiga (Asplin dkk., 2008). Garam kalsium membentuk sekitar 80% dari batu, dan hampir separuh dari wanita yang terkena mengalami hiperkalsiuria idiopatik familial. Hiperparatiroidisme perlu disingkirkan. Meskipun batu kalsium oksalat pada wanita muda tak hamil adalah yang tersering yang dijumpai namun Ross dkk., (2008). Mendapatkan bahwa 75% batu pada wanita hamil adalah batu kalsium fosfat (hidroksiapatit). Pasien yang mengidap batu biasanya membentuk batu baru setiap 2-3 tahun.
Berbeda dari ajaran terdahulu, diet rendah kalsium ternyata mendorong pembentukan batu. Yang saat ini dianjurkan untuk mencegah kekambuhan adalah hidrasi dan diet rendah natrium dan protein (Asplin dkk., 2008). Diuretik tiazid juga mengurangi pembentukan batu. Secara umum, obstruksi, infeksi, nyeri yang tak teratasi, dan perdarahan berat adalah infeksi untuk mengangkat batu.. pengangkatan dengan basket lentur melalui sistoskopi, meskipun lebih jarang digunakan dibandingkan dahulu, masih merupakan pilihan yang layak bagi wanita hamil. Pada sebagian besar kasus pasien tak hamil, perusakan batu dengan litotripsi lebih disukai daripada pembedahan. Informasi tentang pemakaian prosedur ini selama kehamilan masih terbatas, dan prosedur ini tidak direkomendasikan.
Penyakit batu selama kehamilan dalam suatu studi berbasis populasi di negara bagian Washington, Swartz dkk., (2007) melaporkan bahwa rawat inap untuk nefrolitiasis terjadi pada 1,7 per 1000 kehamilan.
Penatalaksanaan terapi tergantung pada gejala dan usia gestasi hidrasi intravena dan analgesik selalu diberikan. Separuh dari wanita hamil dengan batu simtomatik juga mengalami infeksi, yang harus diterapi dengan gencar. Meskipun batu jarang menyebabkan obstruksi simtomatik selama kehamilan namun pielonefritis persisten seyogianya mendorong segera dilakukannya pencarian ada tidaknya obstruksi oleh batu.
Pada sekitar 2/3 wanita dengan gejala, terjadi perbaikan dengan trapi konservatif dan batu biasanya keluar spontan. Sepertiga lainnya memerlukan prosedur invasif seperti stenting ureter, uteroskopi, nefrostomi perkutis, litotripsi laser transuretra atau ekstruksi basket.
10.  Penyakit ginjal kronik
Penyakit ginjal kronik adalah proses patofisiolos yang akhirnya menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (endstage renal desease, ESRD) melalui pengurangan progresif jumlah dan fungsi nefron. Keadaan ini dapat disebabkan oleh beragam etiologi dan harus ada selama paling sedikit  3 bulan sebelum dapat dianggap kronik. Menurut Skorecki dkk., (2005), penyebab tersering ESRD adalah diabetes-33%, hipertensi 24%, glomerulonefritis 17% dan penyakit ginjal polikistik 15%.
Untuk menentukan dampak kehamilan pada wanita yang menderita penyakit ginjal kronis, berikut ini beberapa faktor yang pelu dipertimbangkan (Skaredorf & Besinger 1996) :
·         Jenis penyakit ginjal yang pernah terjadi
·         Status kesehatan umum ibu
·         Ada tidaknya hipertensi
·         Fungsi ginjal saat ini
·         Terapi obat prakehamilan
Jika penyakit ginjal berada dalam pengobata, kondisi ibu dan janinnya biasanya akan baik, pada beberapa kasus, fungsi ginjal dapat memburuk dan menyebabkan komplikasi kehamilan. Jika keadaan ini disertai dengan hipertensi, hal tersebut akan menigkatkan cadangan kapiler glomerulus dan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Penyakit ginjal yang disertai dengan hipertensi biasanya berkaitan dengan restriksi pertumbuhan janin, kelahiran prematur, dan penigkatan mortalitas perinatal. Ibu hamil yang menderita insufisiensi ginjal ringan (kreatinin serum (SCR)  <125 µmol/L) hanya mengalami komplikasi kehamilan yang relatif sedikit. Insufisiensi ginjal sedang atau berat (Scr 125-250 µmol/L) pada kehamilan tampaknya akan mempercepat perkembanga penyakit dan mengurangi kemampuan janin bertahan hidup. Komplikasi sering terjadi dan meliputi peningkatan hipertensi, proteinuria tinggi (eksresi urin >3 g dalam 24 jam) serta hilangnya fungsi ginjal yang dapat berlangsung hingga 1 tahun setelah kelahiran. Sepuluh persen dari kasus  tersebut akan berkembang menjadi gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan dialisis selama atau sesaat setelah kehamilan; hal ii cenderung terjadi jika scr >250 µmol/L di awal kehamilan (Epstein 1996, Jones & Hayslett 1996).
Asuhan dan penatalaksanaan, pengkajian fungsi ginjal sebelum konsepsi penting dilakukan untuk memberikan saran kepada pasangan tentang risiko yang mungkin muncul jika kehamilan terjadi. Tujuan asuhan kehamilan pada ibu yang menderita penyakit ginjal kronis adalah mencegah memburuknya fungsi ginjal. Hal ini akan menyebabkan diperlukannya pemeriksaan antenatal yang lebih sering dan kerja sama antara bidan, spesialis kebidanan dan spesialis ginjal. Fungsi ginjal dapat dikaji secara teratur dengan mengukur kadar urat serum, elektrolit serum dan urea, bersihkan kreatinin 24 jam, serta kreatinin serum. Urinalis dilakukan untuk mendeteksi adanya glikosuria, proteinuria, dan hematuria. Kultur urine yang dilakukan secara teratur akan mendeteksi adanya infeksi saluran kemih, dan saran mengenai tanda dan gejala tersebut harus diberikan sehingga ibu dapat mencari pertolongan dan pengobatan medis secara dini jika hal tersebut terjadi. Kemunculan dan beratnya hipertensi serta pre-eklamsia dipantau dengan mengukur tekanan darah, urinalisis, dan dengan melakukan tes skrining darah pre-eklamsia. Hitung darah lengkap akan mendeteksi adanya anemia karena pada penyakit ginjal kronis produksi eritropoietin mengalami penekanan. Pemantauan janin meliputi pemindaian ultrasound setiap 2 minggu sejak usia kehamilan 24 minggu, pemeriksaan Doppler dan pembuatan grafik aktivitas janin harian. Hospitalisasi dianjurkan jika terdapat tanda-tanda memburuknya kondisi janin, fungsi ginjal memburuk dan proteinuria meningkat atau tekanan darah menigkat. Jika kondisi ibu semakin membahayakan, risiko dan keuntungan meneruskan kehamilan harus didiskusikan bersama ibu dan keluarganya.
11.  Wanita dengan hemodialisi/dialisis peritoneal
Dialisis merupakan prosedur yang dilakukan untuk mengambil alih fungsi ginjal ketika ginjal tidak dapat melakukan fungsinya karena penyakit atau cidera. Pada hemodialisis, darah dialirkan dari tubuh melalui pembuluh darah besar di lengan, melewati mesin untuk filtrasi, kemudian kembali kesirkulasi pasien. Pada dialisis peritoneal, peritoneum berperan sebagai membran yang berdifusi dan bersama dengan larutan dialisat diinfuskan kedalam rongga peritoneum yang memungkinkan terjadinya transfer elektrolit dan pembuangan produk sisa.
Kedua prosedur ini menyebabkan gangguan yang signifikan pada gaya hidup seseorang dan munculnya beberapa komplikasi, terutama infeksi. Kebanyakan wanita yang menjalani dialisis menjadi infertil. Namun demikian, mereka yang berhasil hamil tetap meneruskan kehamilannya dengan dialisis sangat berisiko mengalami perburukan kondisi ibu dan janin. Beberapa wanita yang menderita gagal ginjal tahap akhir selama kehamilan juga memerlukan dialisi. Kehamilan akan meningkatkan durasi dan frekuensi dialisis dalam rangka mencapai kadar urea serum dibawah 20 mmol/L/ Kadar yang lebih tinggi berhubungan dengan penigkatan risiko kematian janin (Norman et al 2001). Selama dialisis, mencegah kelebihan cairan dan munculnya hipertensi yang akan dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya ketidakseimbangan elektrolit, nerupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Anemia pada penyakit ginjal kronis akan memburuk dan memerlukan  terapi eritropoietin (Epo) dan transfusi darah untuk mengatasinya. Hipertensi dan re-eklamsia merupakan komplikasi maternal yang banyak terjadi. Kebanyakan kehamilan pada pasien yang didialis berakhir dengan aborsi spontan di awal kehamilan, aborsi terapeutik dan kelahiran prematur dengan hanya 40-50% kehamilan yang berhasil dengan baik (Davison 2001).
12.  Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal, endokrin dan fungsi seksual yang abnormal sehingga kebanyakan wanita bisa hamil setelah transplantasi ginjal. Anjuran prakonsepsi merupakan hal yang sangat penting karena ibu harus berada pada kesehatan yang optimal sebelum memulai kehamilan. Perlu juga dianjurkan kepada ibu untuk menunggu minimal 2 tahun sebelum berusaha untuk hamil dalam rangka memberi kesempatan dilakukannya evaluasi keberhasilan graft dan agar kehamilan tersebut memiliki hasil yang lebih baik (Davison 2001). Selama kehamilan, ibu dipantau secara ketat oleh tim multidisiplin dan dibutuhkan kerjasama yang erat antara bidan, spesialis obstetrik, dan spesialis ginjal. Kunjungan keklinik biasanya menjadi lebih sering, dan pada saat kunjungan tersebut dilakukan, pengkajian fungsi ginjal, termasuk urinalisis, tekanan darah, kadar hemoglobin, dan status graft. Pemantauan yang ketat terhadap janin juga perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya restriksi pertumbuhan janin. Terapi imunosupresif biasanya diteruskan selama kehamilan meskipun efeknya terhadap kehamilan dan janin belum diketahui (Davison 2001). Namun demikian, keadaan ini menyebabkan ibu rentan terhadap infeksi. Bayi yang baru lahir juga bisa rentan terhadap infeksi karena terapi imunosupresif mengurangi transmisi antibodi ibu ke janin.
Kuvacic et al (2000) mengidentifikasi faktor-faktor spesifik berikut ini yang tampaknya menyebabkan peningkatan angka aborsi terapeutik dan aborsi spontan, kelahiran prematur, dan bayi dengan berat badan lahir rendah pada kehamilan yang terjadi  setelah transplantasi ginjal :
·         Interval transplantasi kehamilan kurang dari 2 tahun
·         Hipertensi maternal
·         Peningkatan kadar kreatinin serum
·         Bakteriuria asimptomatik.
B.Tuberkulosis Paru
1.      Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit parenkim paru (Brunner & Suddarth, 2002). Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Santa, dkk, 2009).
Menurut Depkes (2007) Tuberkulosis  adalah penyakit menular langsung  yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (Siswato, 2008).
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh basil tuberkel, Myobacterium tuberculosis. Paru-paru merupakan organ yang paling sering terinfeksi, meskipun sebenarnya penyakit ini dapat menyerang berbagai organ. Penyakit ini ditransmisikan melalui inhalasi droplet terinfeksi yang ada di udara dari individu yang menderita TB aktif. Penyakit ini juga dapat diperoleh dari ternak yang terinfeksi melalui susu dan prosuk susu yang tidak terpasteurisasi. Insiden TB menuru selama beberapa dekade hingga akhir-akhir ini jumlah kasusu tersebut meningkat kembali. Peningkatan dengan persentase terbesarbterjadi pada mereka yang berusia 25-44 tahun; oleh karena itu, TB menjadi semakin sering terjadi pada wanita usia subur (Vo et al 2000). Sejumlah wanita tersebut terdiagnosis terinfeksi TB untuk pertama kalinya saat kehamilan; angka prevalensi 143,3 per eksi HIV. Peningkatan 100.000 persalinan dikemukakan oleh Liewelyn et al (2000) pada studi prospektifnya.semua bentuk TB dikemukakan dalam Public Health (Control of Disease) Act 1984 sehingga perawat komunitas, bidan dan petugas kesehatan rumah menjadi orang yang pertama kali terlibat dalam pencegahan, skrining, dan pengobatan TB (ITC of thet British Troracic Society 2000). Faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan insiden TB meliputi : (1) wanita dan anak-anak yang berimigrasi ke Inggris dari area endemik TB, terutama Asia Selatan dan subkontinental India, negara Afrika, terutama Somalia, Rusia, Eropa Timur dan negar Baltik. (2) berkembangnya organisme yang resisten terhadap berbagai obat, (3) meningkatnya jumlah orang dewasa dan anak-anak yang terinfeksi HIV. Peningkatan persentase TB yang terbesar terjadi di area kota tempat berbagai faktor sosial lain, misalnya kemiskinan, tidak memiliki tempat tinggal penyallahgunaan zat, nutrisi buruk, dan kondisi perumahan yang penuh sesak berperan dalam penularan panyakit ini (Scowen  2001).
2.      Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru. kuman ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki konsentrasi tinggi seperti paru-paru.  Kuman  ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur lama) selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru. kuman ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki konsentrasi tinggi seperti paru-paru.  Kuman  ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur lama) selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).
3.      Tanda dan gejala
Gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan yang sering ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan sakit sekitar dada.
4.    Faktor Risiko
Cara penularan
         Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
         Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentukpercikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
         Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
         Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
         Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
         Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
         percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
5.      Pengaruh tuberculosis terhadap kehamilan
Kehamilan dan tuberculosis merupakam dua stressor yang berbeda pada ibu hamil. Stressor tersebut secara simultan memperngaruhi keadaan fisik mental ibu hamil. Lebih dari 50% kasus TB paru adalah perempuan dan data RSCM pada tahun 1989-1990 diketahui 4.300  wanita hamil, 150 diantaranya adalah pengidap tb PARU (m IQBAL, 2007).pe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan TB. Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis maternal merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal.
Usia kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa merupakan faktor yang pentig dalam menentukan kesehatan maternal dalam kehamilan dengan TB. Jika pengobatan tuberkulosisi diberikan awal kehamilan, dijumpai hasil yang sama dengan pasien yang tidak hamil, sedangkan diagnosa dan perawatan terlambat dikaitkan dengan meningkatnya resiko morbiditas obstetric, sebanyak 4x lipat dan meningkatnya resiko preterm labor sebanyak 9x lipat. Status sosial-ekonomi yang jelek, hypo-roteinaemia, anemia dihubungkan ke morbiditas ibu.
Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana peningkatan diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru bagian bawah mengalami kolaps yang disebut pneuma-perotoneum. Pada awal abad 20, induksi aborsi direkomendasikan pada wanita hamil dengan TB.
Selain paru-paru, kuman TB juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga organ reproduksi, kemungkinan akan memengaruhi tingkat kesuburan (fertilitas) seseorang. Bahkan, tb pada samping kiri dan kanan rahim bisa menimbulkan kehmandulan. Jal ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap TB atau yang pernah mengidap TB, Khusunya wanita usia reproduksi. Jika kuman sudah menyerang organ reproduksi wanita biasanya wanita tersebut mengalami kesulitan untuk hamil karena uterus tidak.
Pengaruh TBC pada kehamilan tergantung dari beberapa faktor antara lain: lokasi penyakit (intra atauekstrapulmonal), usia kehamilan, status gizi ibu dan ada tidaknya penyakit penyerta. Beberapa studi menyatakan terdapat hubungan antara TBC dan meningkatya risiko berat badan lahir rendah, kelahiran preterm, kehidupan perinatal sampai pada kematian bayi. Jika pemberian OAT dimulai pada awal kehamilan akan memeberikan hasil yang sama seperti pasien yang tidak hamil, tetapi bila diagnosis dan penanganan terlambat terjadi peningkatan angka morbiditas bayi 4 kali lipat dan peningkatan kelahiran preterm sebesar 9x lipat. Selana kehamilan dapat terjadi transmisi basil TBC ke janin. Transmisi biasanya terjadi secara limfatik, hematogen atau secara langsung. Janin dapat terinfeki melalui darah yang berasal dari infeksi plasenta melalui vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion, komplikasi seperti inijarang terjadi. TBC yang terjadi disebut sebagai TBC kongenital. TBC kongenital harus dibedakan dengan TBC postnatal. Cantwell et al mengemukakan tentang kriteria diagnosis TBC pada bayi dengan salah satu kriteria berikut yaitu adanya lesi, kompleks primer dihati, infeksi TBC pada plasenta atau endometrium pada minggu pertama kehidupan serta dapat disingkirkannya transmisi postnatal.
Gejala mungkin terlihat saat lahir tetapi biasanya pada minggu kedua dan ketiga. Pada pemeriksaan fisis didapatkan hepatomegali (76%), gangguan pernafasan (72%), demam (48%) dan limfadenopati (38%). Gambaran foto toraks mungkin normal segera setelah lahir tetapi berjalan progresif dengan cepat disertai pembentukan kavitas. Apabila memungkinkan dilakukan biakan tuberkel basil pada plasenta. Uji tuberkulin tidak banyak membantu karena hasil negatif pada awalnya dan menjadi positif dalam waktu 1-2 bulan. Pemeriksaan lain seperti basil tahan asam (BTA) dan biakan pada jaringan atau cairan lambung. Deteksi TBC pada ibu merupakan hal penting untuk pemberian pengobatan adekuat sehingga risiko serius yang terjadi pada janin dan bayi baru lahir dapat dikurangi.
6.      Cara Penularannya
Cara penularan penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bateri mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC batuk, dan pada anak-anaknya sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang lebih rendah), dan dapat menyebar melaui pembuluh darah atau kelenjar getah bening dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru )Siswanto,2007).
Saat mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkulen pada pemeriksaan foto roentgen (Siswanto,2007).
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkulen bertambah banyak. Tuberkulen yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkulen berlebih dan positif terinfksi TBC (Siswanto,2007).
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antar lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC (Siswanto,2007
7.      Diagnosis Tuberkulosis pada kehamilan
Diagnosis TBC pada kehamilan sama dengan TBC tanpa kehamilan. Diagnosis mungkin terlambat ditegakkan karena manifestasi klinis yag tidak khas, tertutup oleh gejala-gejalaa pada kehamilan. Good et al melaporkan bahwa dari 27 wanita hamil dengan pemeriksaan biakan sputum yang positif, didapatkan 74% gejala batuk, 41% penurunan berat badan, 30% demam, malaise dan lelah, 19% batuk darah dan 20% tanpa gejala. Oleh karena itu perlu dilakukan penapisan pada perempuan hamil dengan risiko tinggi terkena TBC melalui pemeriksaan antenatal. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah uji tuberkulin, sputum BTA dan pemeriksaan biakan..
8.      Efek pada Ibu
Awitan TB primer sering kali bersifat laten dan gejalanya tidak spesifik: keletihan, malaise, kehilangan nafsu makan, berat badan menurun, perubahan pola defekasi, dan demam ringan. Gejala tersebut dapat diinterpretasikan sebagai gejala yang biasa terjadi pada kehamilan. Gejala klasik, seperti batuk kronis, keringat dimalam hari, hemoptisis, dispnea, dan nyeri dada muncul cukup lambat pada proses penyakitnya dan sering kali tidak terjadi pada TB ekstrapulmoner. Hal ini menyebabkan terlambatnya diagnosis yang diperburuk dengan keengganan ibu dan dokter melakukan sinar-X dada pada kehamilan. Pemeriksaan mikroskopis dan kultir sputum juga diperlukan untuk mengonfirmasikan adanya infeksi mikrobakterial dan mengidentifikasi sensitivitas oabat (Ormerod 2001).
9.      Efek pada janin
 kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit risiko terhadap janin.Untuk meminimalisasi risiko,biasanya diberikan obat-obatan TB yang aman bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika TB juga menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan mengalami masalah setelah lahir. Penelitian yang dilakukan oleh Narayan Jana, KalaVasistha, Subhas C Saha, Kushagradhi Ghosh, 1999  tentang efek TB ekstrapulmoner tuberkuosis, didapatkan hasil bahwa tuberkulosis pada limpha tidak berefek terhadap kahamilan, persalinan dan hasil konsepsi. Namun juka dibandingkan dengan kelompok wanita sehat yang tidak mengalami tuberculosis selama hamil mempunyai resiko hospitalisasi lebih tinggi (21% : 2%), bayi dengan APGAR skore rendah segera setelah lahir (19% : 3%), berat badan lahir rendah (<2500 ). Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB Congenital). Gejala TB congenital biasanya sudah bisa diamati pada minggu ke 2-3 kehidupan bayi,seperti prematur, gangguan napas, demam, berat badan rendah, hati dan limpa membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum jelas,apakah bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir.
10.  Penatalaksanaan
Semua wanita hamil yang menderita TB harus berada dibawah perawtan dokter yang menatalaksanakan aspek klinis pengobatan ibu dan perawat spesialis yang ahli dalam menangani penyakit ini. Kerjasama antara bidan, dokter umum, dan spesialis obstetrik juga diperlukan untuk meningkatkan kontinuitas asuhan. Kunci keberhasilan dalam penanganan penyakit ini adalah memastikan bahwa ibu mematuhi pengobatan yang diberikan. Figueroa-Damian & Arredondo Garcia (1998,2001) menemukan bahwa morbiditas dan mortalitas maternal secara signifikan lebih tinggi pada TB aktif yang tidak diobati dan jika pengobatan baru dimulai di akhir kehamilan. Selain itu, bayi dari ibu yang menderita TB berisiko tinggi mengalami prematuritas, kematian perinatal, dan berta badan lahir kurang dari 2500 gr.
JTC (2000) dan Bothamley (2001) menganjurkan digunakannya terapi anti tuberkulosis standar untuk mengobati TB pada kehamilan. TB diobati dalam dua fase.Fase pertama melibatkan penggunaan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid yang diminum setiap hari selama 2 bulan pertama. Fase kedua (lanjutan), rifampisin dan isoniazid diminum selama 4 bulan berikutnya. Obat ini dianggap aman dan tidak berhubungan dengan malformasi janin. Tuli kongenital pernah dilaporkan terjadi pada bayi yang terpajan streptomisin in utero sehingga obat antituberkulosis ini sebaiknya dihindari pada kehamilan. Bagian dari peran bidan pada periode ini adalah memastikan bahwa ibu mematuhi terapi obat tesebut dan memahami pentingnya mematuhi program pengobatan untuk menyembuhkan penyakit ini dan mencegah terbentuknya basil yang resisten terhadap obat. Asuhan direncanakan secara individual sehingga mereka yang berisiko tidak patuh terhadap pengobatan harus menjalani directly observed therapy (DOTS) tiga kali seminggu, yaitu petugas kesehatan mengobservasi ibu secara langsung ketika meminum obat dan mengevaluasi kemajuannya. Sebagian wanita tersebut hanya memerlukan pengawasan yang meminum dan peninjauan setiap bulan sudah cukup dapat memantau perkembangannya (JTC 2000).’
Penekanan harus ditujukan pada istirahat, nutrisi yang baik, dan penyuluhan tentang pencegahan penyebaran penyakit ini. TB biasanya dinyatakan tidak infeksius setelah 2 minggu pengobatan. Jika memungkinkan, sebaiknya pengobatan dilakukan di rumah agar tidak terlalu mengganggu keluarga. Sebgaian pasien perlu dihospitalisasi karena beratnya penyakit, atau efek samping obat, karena alasan obstetrik seperti awitan persalinan, karena alasan sosial atau untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pengkajian kecenderungan penularan dan tuberkulosis yang resisten terhadap obat harus dilakukan untuk menentukan tingkat barier keperawatan yang diperlukan (JTC 2000).
Penatalaksanaan pasien TBC pada kehamilan tidak berbeda dengan TBC tanpa kehamilan. Hal-hal yang harus diperhatika adlah pemberian OAT yang bisa menimbulkan efek teratogenik terhadap janin. Penatalaksanaan secara umum terbagi atas penderita dengan TBC aktif dan TBC laten. Wanita hamil dengan TBC aktif biasanya diterapi dengan tidak mempertimbangkan trisemester kehamila. OAT yang digunakanm tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Golongan utama OAT seperti isoniazid, rifampisis, etambutol digunakan secara luas pada wanita hamil. Obat-obat tersebut dapat melalui plasenta dalam dosis rendah dan tidak menimbulkan efek teratogenik pada janin. Pada pemberian isoniazid sebaiknya dibserikan pridoksin 50 mg/hari untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Pemeriksaan fungsi hati sebaiknya dilakukan saat pemberian isonizid dan rifampisin. Pemberian vitamin K dilakukan pada akhir trimester ketiga kehamilan dan bayi baru lahir. Pada kasus multidrug resistant (MDR) digunakanmm pirazinamid, akan tetapi parazinamid tidak digunakanm secara rutim pada wanita hamil karena terdapat efek teratogenik. Paraamino salisilat (PAS) telah digunakan secara aman pada wanita hamil akan tetapi obat tersebut ditoleransi tubuh secara buruk.
Tuberkulosis laten adalah pasien dengan uji tuberkulin positif dan secara klinis tidak ada tanda-tanda terjadi tuberkulosis aktif. Terapi pada TBC laten  bergantung faktor risiko dan hasil konversi uji tuberkulin. Pemberian terapi pada TBC laten biasanya  ditunda sampai 2-3 bulan setelah kelahiran. Pada pasien yang mempunyai risiko kontak dengan individu BTA positif dan infeksi HIV, terapi diberikanm setelah trimester pertama pada kehamilan dengan konversi uji tuberkulin positif dalam 2 tahun terakhir. Sedangkan pada wanita hamil dengan TBC laten yang sebelumnya telah diterapi secara adekuat tidak memerlukan terapi profilaksis isoniazid (300 mg selama 6-12 bulan).
Penatalaksanaan TBC pada wanita hamil harus diberikan secara tepat dan adekuat, serta mencegah timbulnya efek samping teratogenik pada janin. Pasien TBC aktif dengan sputum BTA positif diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol dan piridoksin selama 9 bulan pada populasi risiko TBC rendah. Pada populasi dengan risiko TBC rendah. Pada populasi dengan risiko TBC tinggi dan adanya resisten obat anti TBC tinggi perlu penambahan pirazinamid.
Pasien dengan uji tuberkulin positif, sputum BTA negatif, biakan negatif dan foto toraks menunjukkan infiltrat atau adanya kavitas, diberikan isoniazid, rifampisis, etambutol dan piridoksin selama 9 bulan. Sedangkan bila pada foto toraks terlihat proses penyakit yang telah menyembuh (terdapat kalsifikasi pada kelenjar getah bening dan lesi parenkim), dilakukan observasi pada pasien. Pengobatan diberikan secara tepat setelah melahirkan atau diberi pengobatan profilaksis dengan isoniazid dan piridoksin selama 9 bulan yang dimulai pada trimester kedua kehamilan.
Pasien dengan resistensi organisme maka diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid sesuai dengan uji sensitivitas. Pada pasein dengan ketidakmampuan mentoletransi isoniazid dan rifampisin, maka diberikanm etambutol atau obat lain yang tersedia.
11.  Obat Antituberkulosis selama kehamilan
OAT yang diberikan dibagi atas 2 golongan yaitu obat lini pertama (first line) dan obat lini kedua (second line). Rifampisin merupakan obat lini pertama yang terutama bekerja pada sel yang sedang tumbuh, tetpai juga memperlihatkan efek pada sel yang sedang tidak aktif (resting cell). Bekerja dengan menghambat sintesa RNA M. Tuberculosis sehingga menekan proses awal pembentukan rantai dalam sintesa RNA. Bekerja di intra dan ekstra sel. Pada konsentrasi 0,005-0,2 mg/l akan menghambat pertumbuhan M. tuberculosis secara in vitro. Obat ini juga menghambat bebrapa Mycobacterium atipikal, bakteri gram negatif dan gram positif. Secara in vitro, rifampisin dapat menibgkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M.tuberculosis dan juga mempunyai mekanisme post antibiotic effect terhadap bakteri gram negatif.
Diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna, absorpsi rifampisin dapat berkurang bila diberikan bersama makanan. Absorpsi rifampisin akan berkurang 30% jika diberikan bersama dengan antasida. Pemberian antasida akan meningkatkan PH lambung dan akan mengurangi proses dissolution rifampisin sehingga akan menghambat aobsorpsi. Rifampisin dengan mudah didistribusikan ke sebagian besar organ, jaringan, tulan, cairan serebrospinal dan cairan tubuh lainnya termasuk eksudat serta kavitas tuberkulosis paru. Obat ini menimbulkan warna orange sampai merah bata pada urin, saliva, feses, sputum, air mata dan keringat. Volume distribusi 1 L/kg BB, ikatan protein plasma 60-80%, waktu paruh 1-6 jam dan akan memanjang bila terhadap gangguan fungsi hepar. Metabolisme terjadi melalui deasetilasi dan hidrolisis, sedangkan eksresinya terutama melalui empedu. Dapat melewati barier plasenta dan dapat dijumpai konsentrasi rendah di ASI.
Rifampisin melewati plasenta dengan kadar yang sama dengan ibu. Pada akhir trimester ke 3 rasio konsentrasi pada tali pusat dan ibu besarnya 0,12-0,33. Studi yang dilakukan pada tikus, hewan pengeret dan kelinci dengan pemberian dosis 2,5-10 kali dosis yang masuk ke uterus tidak menunjukkan peningkatan kelainan kongenital. Pada 442 perempuan hamil yang minum rifampisin, termasuk 119 perempuan yang terpanjan selama trimester pertama tidak terdapat peningkatan kelainan janin secara bermakna. Beberapa studi yang menunjukkan insidens malformasi rata-rata 1,8-4,4% pada 204 kehamilan. Pada kelinci telah dilaporkan terjadi spina bifida dan cleft palates.
Efek samping ringan dapat timbul pada pemberian rifampisin antara lain: sindrom kult seperti gatal-gatal kemerahan, sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri tulang dan sindrom perut nyeri perut, mual, muntah, dan kadang-kadang diare. Efek samping yang berta tetapi jarang terjadi adalah sindrom respirasi, purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapt sembuh sendiri atau hanya memerlukan.pengobatan simtomatik. Efek samping pada bayi baru lahir juga didapatkan hemmorrhagic disease of the newborn sehingga dianjurkan pemberian profilaksis viitamin K.
Isoniazid (INH) menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsuur penting dinding sel Mycobacterium. Menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari Mycobacterium. Hanya kuman yang peka yang menyerap obat kedalam selnya dan proses ini merupakan proses aktif. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. INH mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kelarutan INH dalam lemak tinggi, berat molekul rendah dan melalui plasenta serta mudah mencapai janin dengan kadar hampir sama dengan ibu. Pada penelitian, setelah pemberian INH dosis 100 mg jangka pendek sebelum kelahiram didapatkan rasio konsentrasi tali pusat dan ibu sebesar 0,73. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Dihati, INH terutama mengalami asetilasi, dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik (asetilator cepat/lambat) yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya. Waktu paruh berkisar 1-3 jam. Mudah berdifusi kedalam sel dan semua cairan tubuh. Antara 75-95% dieksresikam melalui urin dalam wantu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. Isoniazid tidak bersifat teratogenik janin, meskipun konsentrasi yang melewati plasenta cukup besar. Pada studi yang dilakukan pada hewan tidak menunjukkan retardasi pertumbuhan serta peningkatan malformasi pada tikus dan kelinci dengan dosis 60 kali dosis manusia.

12.  Asuhan Pascanatal
Setelah kelahiran, bayi yang lahir dari ibu yang menderita TB infeksius harus dilindungi dari penyakit tersebut dengan menggunakan sirup isoniazid 5 mg/kg/hari selama 6 minggu sebagai profilaktik, setelah itu bayi harus dites tuberkulin. Jika hasilnya negatif, vaksinasi BCG harus diberikan dan terapi obat tidak teruskan. Jika tes tuberkulin positif, bayi harus dikaji untuk adanya infeksi kongenital atau perinatal dan terapi obat dilanjutkan jika kedua infeksi tersebut tidak ditemukan (JTC 2000, Ormerod 2001). Obat antituberkulosis dianggap tidak memengaruhi pemberian ASI dan pemberian ASI hanya dikontraindikasikan jika ibu mendeita TB aktif karena penyakit ini ditularkan juga melalui ASI (Ormerod 2001).
Mengasuh anak dirumah merupakan tuntunan yang besar bagi ibu yang menderita TB dan jika mungkin, bidan dapat mengatur pemberian bantuan tambahan untuk ibu. Bidan harus menjelaskan bahwa nutrisi yang buruk, stres, dan kelelahan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya kembali penyakit yang aktif. Saran tentang keluarga berencana merupakan bagian integral asuhan pascanatal dan prakonsepsi, dan wanita yang menderita TB dianjurkan untuk menghindari kehamilan berikutnya sampai penyakit tersebut tidak berkembang setidaknya selama 2 tahun.ketika memilih metode keluarga berencana, ibu harus mewaspadai bahwa pengguanaan rifampisisn dapat mengurangi efektifitas  kontrasepsi oral (BMA and RPS 2001). Tindak lanjut medis dan sosial jangka panjang perlu dilakukan untuk memantau perkembangan penyakit dan respon nya terhadap pengobatan , juga untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak beruntung, baik secara ekonomi maupun sosial.
Akibat adanya perubahan demografis di masa yang akan datang, kehamilan dan tuberkulosis tidak hanya akan lebih sering terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara maju sehingga tim asuhan kesehatan primer harus meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit ini. Hasil yang baik bagi ibu dan janin dapat diperoleh dengan diagnosis dini dan pengobatan yang efektif. Bidan adalah orang yang paling tepat dalam memastikan kepatuhan ibu dalam terapi obat dan memberikan penyuluhan kesehatan umum selama kehamilan untuk mengurangi insiden TB, baik pada populasi kebidanan maupun populasi umum.

C. Gangguan pernapasan (asma)
1.             Definisi
Serangan asma semua kelompok umur tetapi sering dimulai pada masa kanak-kanak. Ini adalah penyakit yang ditandai dengan serangan berulang sesak napas  yang bervariasi dalam tingkat keparahan dan frekuensi dari orang ke orang. Dalam sebuah individu, mereka mungkin terjadi dari jam ke jam dan hari ke hari.
Kondisi ini disebabkan peradangan saluran udara di paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas ujung saraf di saluran napas sehingga mereka menjadi mudah teriritasi. Dalam sebuah serangan, lapisan bagian membengkak menyebabkan saluran udara untuk mempersempit dan mengurangi aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru.
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik. Ciri ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktuk saluran napas.
Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat patogenesisnya tidak jela, asma didefinisikan ecara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napa, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.
Karena dasar penyakit asma adalaj inflamasi, maka obat-obat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi maupun sistemik.
Asma merupakan gangguan pernapasan yang paling sering terjadi dengan insiden 3% dari populasi umum; keadaan ini dapat mempersulit 0,4-1,3% dari seluruh kehamilan (Mabie 1996). Kehamilan tidak selalu mempengaruhi status asmatik maternal; beberapa wanita tidak mengalami perubahan gejala asma, sementara beberapa wanita lainnya mengalami perburukan penyakit tersebut (James 2001). Wanita yang menderita asma berat dan mereka yang tidak dapat mengendalikan asmanya tampak mengalami peningkatan insiden hasil maternal dan janin yang buruk, termasuk kelahiran dan persalinan prematur, penyakit hipertensi  pada kehamilan, bayi terlalu kecil usian gestasinya, abrupsio plasenta, korioamnionitis dan kelahiran seksio sesaria (Demissie et al 1998, Liu et al 2001). Sebaliknya diketahui bahwa asma yang terkontrol berhubungan dengan hasil perinatal yang baik (Schatz 1999).
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan  berarti serangan nafas pendek . Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan  tanda dan gejala  wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai  berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari  (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat  reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat  asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah  disingkirkan
2.    Patofisiologis
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlahfaktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),  terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16--24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mastmisalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2 . Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.
3.      Faktor Risiko
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan  faktor lingkungan.
a.              Faktor Genetik
1)      Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
2)      Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
3)      Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
4)       Ras/etnik
5)      Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,  penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
b.      Faktor lingkungan
1)      Alergen dalam rumah  (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
2)      Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)
c.       Faktor lain
1)      Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
2)      Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
3)      Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
4)      Ekspresi emosi berlebih Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat  memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
5)      Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
6) Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
7) Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
8) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
9)  Status ekonomi.
Asma tidak bisa disembuhkan, tapi bisa dikontrol. Faktor risiko terkuat untuk mengembangkan asma adalah eksposur, terutama dalam masa pertumbuhan, terhadap alergen dalam ruangan (seperti tungau rumah tangga di tempat tidur, karpet dan boneka furnitur, kucing dan kecoak) dan riwayat keluarga asma atau alergi. Sebuah studi di Atlantik Selatan Pulau Tristan da Cunha, di mana satu dari tiga dari 300 penduduk memiliki asma, menemukan anak-anak dengan orang tua penderita asma lebih mungkin untuk mengembangkan kondisi tersebut.
Paparan asap tembakau dan paparan iritasi kimia di tempat kerja merupakan faktor risiko tambahan. Faktor risiko lain termasuk obat-obatan tertentu (aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid lainnya), berat badan lahir rendah dan infeksi pernapasan. Cuaca (udara dingin), ekspresi emosional yang ekstrim dan latihan fisik dapat memperburuk asma.
Urbanisasi tampaknya berkorelasi dengan peningkatan asma. Sifat risiko tidak jelas karena penelitian belum diperhitungkan alergen dalam ruangan meskipun ini telah diidentifikasi sebagai faktor risiko yang signifikan.
Para ahli sedang berjuang untuk memahami mengapa tingkat di seluruh dunia, rata-rata, meningkat sebesar 50% setiap dekade. Dan mereka bingung dengan insiden yang terisolasi yang melibatkan ratusan orang di kota, yang menderita alergi seperti demam, tetapi yang belum pernah menderita asma, tiba-tiba sedang tertimpa oleh serangan asma begitu parah mereka membutuhkan perawatan rumah sakit darurat.
Satu insiden seperti di London, Inggris, pada bulan Juni 1994 melihat 640 orang dilarikan ke bagian gawat darurat dalam pergolakan serangan asma full-blown. Kejadian serupa terjadi di Melbourne, Australia. Banyak ahli menyalahkan kondisi iklim seperti badai, yang memecah serbuk sari, melepaskan granula pati yang memicu serangan. Tapi mereka tidak tahu mengapa penderita hay fever-biasa mengembangkan kondisi yang mengancam jiwa tanpa peringatan.
WHO mengakui asma sebagai penyakit utama penting kesehatan masyarakat dan memainkan peran unik dalam koordinasi upaya-upaya internasional melawan penyakit. Tindakan internasional diperlukan untuk:
meningkatkan kesadaran masyarakat dari penyakit untuk membuat pasien yakin dan profesional kesehatan mengenali penyakit dan menyadari beratnya masalah yang terkait; mengatur dan koordinasi surveilans epidemiologi global untuk memantau tren global dan regional pada asma;  mengembangkan dan menerapkan strategi yang optimal untuk manajemen dan pencegahan (banyak penelitian telah menunjukkan bahwa hal ini akan mengakibatkan kontrol asma pada kebanyakan pasien), dan  merangsang penelitian penyebab asma untuk mengembangkan strategi kontrol baru dan teknik pengobatan.

4.      Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.
5.      Tanda dan Gejala Asma
-          Perubahan dalam pola pernapasan ]
-          Bersin-bersin
-          Perubahan suasana hati (moodiness)
-          Batuk
-          Gatal-gatal pada tenggorokan
-          Sering merasa capek
-          Lingkaran hitam di bawah mata
-          Susah tidur
-          Turunnya toleransi tubuh terhadap kegiatan olahraga.
-          Napas berat yang berbunyi “ngik-ngik”
-          Batuk-batuk
-          Napas pendek tersengal-sengal
-          Sesak dada
-          Frekuensi napas cepat
-          Produksi sputum
-          Sering batuk, terutama pada malam hari
-          Merasa sangat lelah atau lemah saat berolahraga

6.      Pengaruh Asma  terhadap kehamilan
Pada ibu-ibu hamil yang menderita asma mendapatkan bahwa hiperemesis, perdaraha, toksemia gravidarum, induksi persalinan dengan komplikasi dan kematian ibu secara bermakna lebih sering terjadi dibandingkan dengan ibu-ibu hamil tampa penyakit asma. Hal ini dapat diduga erat hubungannya dengan obat-obat anti asma yang diberikan selama kehamilan ataupun akibat efek langsung daripada memberatnya asma.
Hal yang sangat penting diperhatikan di dalam penatalaksanaan asma pada ibu-ibu hamil ialah disamping untuk keselamatan ibunya sendirir adalahy juga untuk keselamatan janin. Oksigenasi pada janin hendaknya dipertahankan supaya adekuat, obat-obatan hendaknya dipilihg yang bisa menjamin keselamatan janin didalam kandungan.
7.      Asuhan antenatal
Pada pemeriksaan awal, bidan harus dapat mendiskusikan dengan ibu tentang frekuensi dan keparahan asmanya, riwayat keluarga, pemicu asma yang diketahuinya, dan pengobatan saat ini. Informasi mengenai interaksi kehamilan dengan asma dan bagaimana keadaan ini ditatalaksanakan sangat efektif jika diberikan melalui pendekatan multidisiplin. Idealnya, asuhan diberikan melalui  kerjasama antara bidan, dokter umum, spesialis paru, dan spesialis obstetrik agar konsentensi penatalaksanaan dapat dikomunikasikan kepada semua profesiomal kesehatan yang terlibat. Kecemasan utama bagi ibu dan mereka yang memberikan asuhan biasanya berkaitan dengan penggunaan obat dan ketakutan bahwa obat tersebut akan membahayakan janin. Semua obat yang biasa digunakan dalam menangani asma, termasuk steroid sistemik, dianggap aman dan penting bagi ibu untuk tetap melakukan terapi selama kehamilan guna mencegah memburuknya kondisi ibu dan kelainan kehamilan.
Prinsip penatalaksanaan asma pada ibu hamil tidak berbeda dengan penatalaksanaan asma pada wanita yang tidak hamil, tetapi pada ibu hamil , tentu saja penatalaksanaan tersebut ditambah dengan pemantauan janin. Penatalaksanaan yang tepat adalah dengan menggunakan peak expiratory flow rates (PEFR) untuk memantau tingkat rsistensi pada jalan napas yang disebabkan oleh inflamasi dan/atau bronkospasme. Rentang nilai normal dapat diprediksi pada setiap orang berdasarkan jenis kelamin, tinggi badan, dan usia. Pengetahuan tentang PEFR-nya yang biasa dan pemantauan diri di rumah dapat membuat penderita asma mampu menentukan kapan ia harus menggunakan atau meningkatkan dosis obatnya dan kapan ia harus mencar pertolongan medis.
Penanganan rumah sakit biasanya diperlukan jika PEFR kurang dari 50% nilai normal dan ibu sulit untuk berbicara karena terlalu sesak. Jika selama kehamilan terdapat kesulitan dalam mengendalikan asma, ibu harus dirawat di rumah sakit. Panduan penatalaksanaan asma Inggris (BTS 1997) memberikan saran multidisiplin yang komprehensif tentang praktik perawatan asma yang terbaik.
8.      Asuhan Intrapartum
Peningkatan kortison dan adrenalin (epinefrin) dari kelenjar adrenal selama persalinan dianggap dapat mencegah serangan asma selama persalinan (de Swiet 1995). Jika serangan asma terjadi harus ditangani dengan pengobatan dan kecepatan yang sama dengan serangan di luar kehamilan. Terdapat obat tertentu yang harus dihindari selama kehamilan dan persalinan karena memiliki efek bronkospasme; obat tersebut adalah prostaglandin intravena, intraamniotik dan trasservikal (Schatz 1999). Ibu yang pernah menerima kortikosteroid selama kehamilan harus ditingkatkan dosisnya guna mengatasi stres persalinan, dan biasanya diberikan hidrokortison 100 mg secara intramuskular setiap 6 jam dan selama 24 jam setelah kelahiran (Landon & Samuels 1996).
9.      Asuhan Pascanatal
Ibu harus dianjurkan untuk menyusui , terutama karena menyusui dapat melindungi bayi dari penyakit alergi tertentu (Kelnar & Harvey 1995). Tidak ada satupun obat asma yang disekresikan ke dalam ASI dalam jumlah yang cukup untuk membahayakan neonatus.
Kesimpulannya, asma merupakan hal yang banyak terjadi pada wanita hamil. Meskipun secara umum kehamilan dapat berhasil, kontrol yang baik terhadap asma ibu akan mempperbaiki kualitas ibu dan janin. Oleh karena itu, merupakan hal yang sangat penting bahwa ibu dan profesional kesehatan mengetahui pentingnya rumatan penatalaksanaan asma selama kehamilan untuk mencegah kemungkinan terjadinya kondisi yang dapat membahayakan nyawa ibu dan janin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar